KAJIAN ILMU KEPOLISIAN 21
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Kamis, 26 Oktober 2017
SEJARAH KEPOLISIAN INDONESIA
1.
Periode Sejarah Kepolisian Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Kepolisian
kita yang saat ini dikenal dengan Polri merupakan sistem birokrasi yang telah
ada sejak jaman kolonial Belanda. Kepolisian pada masa itu ditujukan untuk
melayani penjajah Belanda. Tujuan kepolisian saat itu adalah sebagai pelindung,
baik manusia, harta benda dan kekayaan lainnya dari ancaman pencurian,
penjarahan dan hal lainnya yang merugikan pihak Belanda. Pendudukan Belanda,
Polri berorientasi membela kepentingan penguasa dan elite pribumi (G. Ambar
Wulan 2009 : 9). Pada masa pemerintahan Jepang, kedudukan dan fungsi tetap
sama, meskipun sebagian besar anggota polisinya berasal dari penduduk pribumi.
Perbedaannya hanya pada penggunaan senjata, kalau pada masa Jepang, polisi
pribumi boleh menggunakan senjata api. Pemerintah Jepang di Indonesia memberikan
kewenangan kepada organisasi kepolisian untuk menggunakan senjata secara resmi.
sementara jaman Belanda, hanya polisi dari unsur Belanda saja yang boleh
menggunakan senjata api. Kepolisian di zaman Jepang juga mempunyai departemen
sendiri yaitu Keimubu (Departemen
Kepolisian). Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang
pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang
(sidookaan) yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi (G. Ambar
Wulan, 2009: 80).
Kita
ketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia lahir pada tanggal 1 Juli
1946, atau sering disebut hari Bhayangkara dikarenakan tanggal 1 Juli 1946
dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara
yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada awalnya lembaga
Kepolisian berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri, namun karena
kewenangan Kepolisian yang sangat luas ini menjadi sangat terbatas serta
mendapat kendala struktural dan operasionalnya. Lembaga Kepolisian akhirnya
bertanggungjawab langsung di bawah Perdana Menteri yang sederajat dengan
Kejaksaan dan Kehakiman Republik Indonesia (Awaloedin Djamin, 2006: 129).
Perjalanan sejarah perkembangan lembaga Kepolisian mengalami beberapa perubahan-perubahan
status dan struktur organisasinya. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan
kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri
Ir. Djuanda diganti dengan sebutan Menteri Pertama, maka RS Seokanto memperoleh
kedudukan sebagai Menteri Muda Kepolisian RI. Kedudukan POLRI masih tetap di
bawah Menteri Pertama sampai keluarnya Keputusan Presiden No. 153/1959, di mana
Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara.
Menurut
Keputusan Presiden No 154/1959 tanggal 10 Juli 1959, berisi tentang Kepolisian
Negara dimasukkan dalam Bidang Keamanan/Pertahanan yang dikepalai oleh Menteri
Muda Kepolisian/KKN Said Soekamto Tjokrodiatmojo. Tanggal 26 Agustus 1959,
menurut surat edaran Menteri Pertama (Menpama) No.1/MP/RI/1959, berisi tentang
pergantian nama dari nama Kementrian diganti dengan Departemen, sehingga
Djawatan Kepolisian Negara diganti menjadi Departemen Kepolisian Menteri/ KKN.
Pada tahun 1960 terjadi perubahan pada status Kepolisian menjadi angkatan
bersenjata menuru Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960, berisi tentang dimasukkannya
Departemen Kepolisian ke dalam Bidang Keamanan Nasional, bersama dengan AD, AL
dan AU. Maka dibentuklah Undang-undang Kepolisian yaitu Undang-Undang No.13
tahun 1961, yang berisi tentang Ketentuanketentuan Pokok Kepolisian Negara RI.
Menurut Keppres No. 94/1962, pada tanggal 11 November 1962, Kepolisian Negara
diubah menjadi AKRI dengan disertai perubahan susunan dan pola organisasinya
serta dalam Keputusan Pressiden RI No. 134/ 1962 (Memet Tanumidjaja, 1971:
121–122). Selajutnya dalam keputusan Presiden No. 290/1964, yaitu pada tanggal
12 November 1964, AKRI berintegrasi penuh dengan ABRI, dan Kepalanya disebut
Panglima Angkatan Kepolisian ( PANGAK ), keputusan ini tertera dalam Keputusan
Presiden No. 290 tahun 1964, pasal 3 (Soeparno,1871: 380).
Nama
Orde Baru digunakan untuk membedakan Pemerintahan Soeharto dengan pemerintahan
sebelumnya. Pemerintahan Soekarno kemudian dikenal dengan Orde Lama.
Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak tahun 1966 – 1998, dengan adanya Surat
Perintah Sebelas Maret, yang kemudian disalahartikan sebagai surat pemindahan
kekuasaan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden hal
ini berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai hasil pemilu
ditetapkan pada tanggal 10 Maret 1983, beliau mendapat penghargaan sebagai
Bapak Pembangunan Nasional (Ghalia 1986 : 43).
Karena
pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya
integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun
1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan
Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang
menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,
AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan yaitu
Pangad, Pangal, Pangau, dan Pangak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai
Menhankam/Pangab yang pertama. Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada
tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean
(G. Ambar Wulan 2016 : 277-278). Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi
ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal
memang bukan angkatan perang. Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969
sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961
menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi
Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.(
www.polri.go.id). Tanggal 27 Juni 1969, menurut Keputusan Presiden No. 52 tahun
1969, tentang sebutan, kedudukan organik dan tanggung jawab Kepolisian Negara
sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam Departemen
Pertahanan Keamanan, memutuskan, mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 290 tahun 1964, dengan kata lain sebutan AKRI ( Angkatan Kepolisian
Republik Indonesia ) yang sejenis dengan AD, AL, dan AU yang masih sifat
militer, diubah menjadi POLRI ( Polisi Republik Indonesia ).Hal ini juga di
jelaskan di dalam KePres RI No. 52 Tahun 1969, dalam pasal 1ayat ( 1 dan 2 ),
pasal 3 dan pasal 5 (Soeparno, 1871: 380).
Pada
masa pemerintahan Orde Baru ini, Presiden Soeharto melakukan perubahan dengan
meletakkan lembaga-lembaga tinggi Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan
mengabdi kepada kepentingan nasional yang dilandasi falsafah Pancasila.
Perubahan selanjutnya yang dilakukan Presiden Soeharto, yaitu perubahan pada
lembaga Kepolisian, dengan melakukan peralihan nama, kedudukan dan
tanggungjawab Angkatan Kepolisian menjadi POLRI. Pada tanggal 1 Juli 1968,
dalam peringatan hari Bhayangkara, Presiden Soeharto menekankan agar polisi
kembali pada fungsinya sebagai lembaga Kepolisian seutuhnya. Peralihan ini
terjadi berdasarkan pada ketentuan pokok Kepolisian dalam Undang-undang No. 13
tahun 1961, pasal 1 dan 2, (Koesparmono Irsan, 1995: 14). Penyebab terjadinya
peralihan berikutnya adalah adanya Keputusan Presiden No. 52 tahun 1969, yang
menyebutkan bahwa nama AKRI diubah menjadi POLRI, Keppres No. 79 tahun 1969,
tanggal 5 Oktober 1969, merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 132/1967,
merupakan penegasan lebih lanjut tentang tugas dan tanggung jawab POLRI.
Keppres No.132/1967 tidak mengandung penegasan tugas pokok dan fungsi POLRI
sebagai Penegak Hukum dan penanggung jawab kamtibmas (Dadi Rohaedi, 2013: 14).
Kesejahteraan
anggota polisi pada masa orde baru dapat terlihat dari bagaimana pengaturan
sistem pengawasan bidang keuangan Angkatan Bersenjata. Bidang keuangan yang
diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 132 tahun 1967, pada Bab II, pasal 25
Tentang Keuangan HANKAM dan Kepres RI No.52 tahun 1969, dalam pasal 2. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa kesejahteraan polisi sebelum dan setelah terjadi
peralihan dari AKRI menjadi POLRI pada masa Orde Baru boleh dikatakan belum
mencukupi bagi kehidupan keluarga mereka. Hal ini dikarenakan Lembaga
Kepolisian berada didalam ABRI dan mempunyai kedudukan sebagai Angkatan keempat
dan berada di bawah Angakatan Udara, jadi semua hal yang berurusan dengan
POLRI, seperti keuangan, pendanaan, tugas, logistik, dan lain sebagainya harus
diatur oleh ABRI terlebih dahulu sebagai lembaga pertahanan dan keamanan Negara
Republik Indonesia. Selain itu beban hidup yang mereka jalani berbeda-beda
antara satu daerah dengan daerah lainnya, namun demikian gaji mereka tetap sama
di seluruh kawasan wilayah Republik Indonesia. Banyaknya beban tugas POLRI dan
segenap resiko yang harus dihadapi, rasanya tidak sebanding dengan gaji dan
kesejahteraan lain yang diterimanya (Thomas Hutasoit,2004: 380). Berubahnya
status, tugas dan kedudukan polisi menjadi Angkatan Kepolisian yang setara
dengan AD, AL dan AU, yang bertugas untuk mempertahankan Negara dari serbuan
kekuatan asing. Kedudukan polisi yang demikian merupakan salah satu penyebab
mengapa rakyat kurang dekat dengan polisi. Kerenggangan ini membuat polisi
merasa jauh dari rakyat, begitu pula sebaliknya rakyat juga merasa jauh dari
polisi. Dalam melaksanakan tugasnya, POLRI diharapkan mau untuk mengajak
masyarakat agar ikut berpartisipasi. Hal ini akan membuat “ Citra Kepolisian ”
baik dimata masyarakat. Setiap anggota POLRI diharapkan mampu mengembangkan
yang lebih luas agar dapat menjadi panutan masyarakat, seperti anggota POLRI
dapat menjadi sosiolog, psikolog, bahkan dapat menjadi seorang pemuka agama.
Sehingga masyarakat akan merasa dilindungi, diayomi, dan dilayani
kepentingannya sesuai dengan prosedur polisi yang berlaku. (Thomas Hutasoit,
2004: 379).
2.
Refleksi Historis
Kita
ketahui bersama bahwa kepolisian pada masa Orde Baru sangat kental dengan unsur
militeristik. Pada masa pemerintahan Orde Baru Kepolisian Republik Indonesia
dibenamkan dalam sebuah satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
yang bergerak dalam pengaruh budaya militer. Militeristik begitu mengikat
karena masa lebih dari 30 tahun kepolisian dibalut dengan budaya militer
tersebut. Hingga pada tahun 1998 tuntutan masyarakat begitu kuat dalam upaya
membangun sebuah pemerintahan yang bersih dan mempunyai keberpihakan terhadap
kepentingan masyarakat.
Dahalu
pada masa Orde Baru Polri lebih condong menerapkan hukum yang bersifat militan
seperti yang digunakan Combatan karena bergabung dalam satu lingkup ABRI dan
sering digununakan untuk kepentingan politik penguasa pada masa itu. Namun
untuk sekarang setelah melalui masa orde baru Polri dituntut untuk menjalankan
tugasnya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku bukan lagi menggunakan cara
militeristik. Profesionalitas Polri pada saat ini dituntut untuk lebih baik
untuk tidak digunakan sebagai ajang politik melainkan demi tercapainya azas
keadilan negeri ini, seperti yang terjadi saat ini dalam kasus “Ahok” Polri
dituntut untuk lebih professional dan independen tidak berpihak kepada penguasa
melainkan tetap bekerja profesional sesuai dengan kaidah dan koridor hukum yang
beraku. Integritas Polri juga terus
dituntut oleh masyarakat yang tak menghendaki ketidakjujuran, penyelewengan
wewenang, ketidak berpihakan pada kepentingan umum, atau tindakan yang
merugikan rakyat. Masyarakat masih prihatin terhadap wewenang dan
penyalahgunaan yang menyebabkan rapuhnya dukungan publik terhadap kepolisian.
Citra yang ternoda akan berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap
kompetensi polisi melaksanakan tugasnya secara efektif. Pentingnya persatuan
dalam semangat korps Kepolisian Republik Indonesia menjadi kekuatan yang
dibutuhkan bagi lembaga yang bertanggung jawab pada tertib hukum dan tertib
keadaan umum. Akuntabilitas polisi menjadi ukuran dalam menjamin
terselenggaranya pembaruan yang telah dirancang dalam cetak biru Reformasi
Polri. (G Ambar Wulan Dosen Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana UI Tulisan ini
disalin dari Kompas, 8 April 2010).
Tugas
dari suatu Lembaga Kepolisian adalah bagian dari pada tugas negara,
perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib, ketentraman dan
keamanan, menegakkan negara, menanamkan pengertian ketaatan dan kepatuhan.
Terdapat 3 tugas utama polisi yaitu :
1)
Menjaga keamanan dan ketertiban umum.
2)
Menegakkan hukum.
3)Memberi
pelayanan, perlindungan dan pengayoman.
Tugas-tugas
Polisi sendiri diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia sebagai berikut:
1.
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1961, tentang ketentuan pokok Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 52
tahun 1969, dalam Pasal 4.
3.
Keppres No. 79 tahun 1969, tanggal 5
Oktober 1969, merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 132/1967, merupakan penegasan
lebih lanjut tentang tugas dan tanggung jawab POLRI.
Lembaga
Kepolisian pada masa Orde Baru bersama-sama dengan ABRI bertugas untuk
menghadapi pemberontakan G 30 S PKI ( 1965 ). Bisa kita refleksikan pada masa
sekarang bahwa Polri dalam menghadapi berbagai ancaman kemananan selalu
bekerjasama dengan TNI contohnya dalam menghadapi terorisme di Poso, dan yang
masih hangat yaitu bersama sama dalam melaksanakan pengamanan demo “Ahok” yang
terjadi di ibukota DKI Jakarta. Hal itu tidak lepas dari kerjasama dan terdapat
ikatan persaudaraan yang telah terjalin sejak dulu pada masa Orde Baru saat
Polri dan TNI bersatu dalam ABRI.
Bergabungnya Polri
dalam ABRI saat masa Orde Baru memiliki dampak positif maupun negatifnya. Dari
segi Positif:
1. Kedudukan polisi di
dalam ABRI setara dengan AD, AL, dan AU
2. Polisi terlibat dalam
berbagai operasi keamanan bersama tentara dalam menjaga keutuhan NKRI dari
berbagai gangguan, baik gangguan dari dalam maupun dari luar.
Dari segi Negatif:
1. Polisi tidak professional
dan dijauhi masyarakat.
2. Pekerjaan polisi banyak
yang diselesaikan secara militer.
3. Polisi sulit berkembang.
4. Ruang gerak polisi di
pengaruhi oleh budaya militer.
Hal ini
mengakibatkan polisi kurang berkembang tidak bisa menjadikan dirinya sebagai polisi
sipil, tetapi lebih menunjukkan militeristik karena ketatnya integrasi dan
secara umum polisi bukan merupakan angkatan perang. Namun kita bisa mengambil
hikmah serta nilai-nilai pelajarannya bahwa seyogyanya masyarakat rindu akan
kehadiran polisi ditengah-tengah masyarakat yang bersifat humanis yang bisa
membawa ketentraman dan bisa melindungi, mengayomi semua lapisan masyarakat
baik dari kalangan bawah sampai atas. Hal itu akan tercermin pada masa sekarang
dengan Polri menerapkan kebijakan Grand Strategi Polri yaitu :
a. Periode 2005 – 2010 Terhadap Trust
Building.
Masyarakat cenderung lebih mendambakan rasa aman dan rasa keadilan dari
pemerintah, peningkatan service quality focus pada kebutuhan tersebut.
b. Periode 2010 – 2015 Tahap Partnership
Tingkat kepuasan terhadap rasa aman dan keadilan diharapkan semakin
baik, tuntutan masyarakat akan melebar pada manajemen rasa aman dan adil yang
akuntabel, transparan, open dan patuh rule of law.
c. Periode 2016 – 2025 Tahap Strive for
Excellence
Tahap ini kebutuhan masyarakan akan lebih mengharapkan multi dimensional
service quality yang efektif dan efisien ditengah globalisasi kejahatan yang
makin canggih.
Pasca
Orde Baru tumbang dimulailah masa Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 yang telah
mengubah kondisi politik yang ada. Nilai demokrasi yang berkembang turut
menjadi faktor yang mengubah pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan
nasional Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah supremasi sipil.
Kekuasaan sipil adalah yang utama. Supremasi sipil membuat kekuatan bersenjata
sebagai penjaga hukum dan konstitusi, yang berarti mendukung, menjaga, dan
mempertahankan militer sebagai institusi pertahanan negara, dan juga menjaga
kondisi yang telah terbentuk dengan baik dalam negara . Tentara tunduk kepada
kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum
yang bebas dan rahasia, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan
dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Sementara kepolisian
berfungsi di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat . Namun yang
terjadi kemudian adalah kemunculan konflik yang terus menerus antara kelompok
TNI melawan kelompok Polri sampai sekarang. banyak Argumen yang berpendapat
bahwa pola hubungan TNI – Polri yang memburuk setelah pemisahan Polri dari ABRI
bersifat sistemik, bukan bersifat kasuistik. Terlihat dari sebaran konflik yang
hampir diseluruh wilayah Indonesia. Faktor struktur dan kepentingan TNI dan
Polri memicu konflik yang terjadi. Penyelenggaraan pertahanan negara dan
keamanan dalam negeri ternyata memunculkan persoalan pada tataran peran dan
kewenangan antara TNI dan Polri.
Namun
semuanya perlahan-lahan bisa diselesaikan baik secara kekeluargaan maupun
secara hukum yang berlaku baik Polri menggunakan hukum sipil dan TNI yang
mengunakan hukum peradilan militer. Hal tersebut tidak lepas dari terdapatnya
saling memiliki sifat tenggangrasa dan saling berkeluarga sejak zaman Orde Baru
bahwa TNI dan Polri yang bergabung menjadi satu dalam wadah ABRI, persaudaraan
tua yang dulu pernah terjalin pada saat ini mulai dipupuk kembali dengan
diadakannya berbagai macam kegiatan secara bersama-sama, pelaksaan tugas secara
bersama-sama sehingga bisa saling bahu-membahu dan bisa melengkapi satu sama
lain. Ditambah lagi dengan pemerataan kesejahteraan yang sama baik dari pihak
TNI dan Polri yang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang membuat sifat korsa
dan kompak dalam menjaga dan mengamankan negeri ini kian kokoh serta dalam
mewujudkan Negara Indonesia yang adil dan sejahtera.
DAFTAR
PUSTAKA
Ambar Wulan G. (2009). Polisi
dan Politik: Intelejen Kepolisian pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949.
Jakarta: Rajawali Press.
Awaloedin Djamin.(2006). Sejarah
Perkembangan Kepolisian diIndonesia Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang.
Jakarta: Yayasan Brata Bhakti POLRI.
Awaloedin Djamin dan G. Ambar Wulan. 2016. Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo : Bapak Kepolisiian Negara
RI Peletak Dasar Kepolisian Nasional Yang Profesional dan Modern. Jakarta :
PT Kompas Media Nusantara.
Dadi Rohaedi. (2013).“ Kepolisian Negara RI 1945 – Sekarang
”.Makalah, Diskusi tentang sejarah lahirnya Lembaga Kepolisian.Jakarta: Museum
POLRI.
Ghalia Indonesia,1986. Ketetapan-ketetapan
MPR, 1983-1988, 1978-1983. Jakarta.
Hutasoit, Thomas. (2004). Menjadi
Polisi yang Dipercaya Masyarakat: Tahapan Perjalanan Reformasi Polisi.
Jakarta: Mabes POLRI.
Koesparmono Irsan. (1995). “Inovasi Struktur Kelembagaan dalam
Menciptakan rofesionalisme POLRI”. dalam Banurusman (Ed).Polisi, Masyarakat dan
Negara. Yogyakarta: Bigraf Pubilshing.
Memet Tanumidjaja. (1971). Sejarah
Perkembangan Angkatan Kepolisian. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.
Soeparno. (1871). Sejarah
Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern. Jakarta: Pusat Sejarah
ABRI.
SISTEM KEPOLISIAN YANG SESUAI DI INDONESIA
I.
PENDAHULUAN
Sebelum penulis menguraikan system kepolisian yang cocok atau sesuai
dengan Negara Republik Indonesia penulis ingin menjelaskan terlebih dahulu
pentingnya kepolisian terhadap suatu Negara berdaulat. Belajar dari sejarah
dunia, keberadaan suatu lembaga kepolisian di dalam sebuah negara adalah mutlak
diperlukan. Semua negara di dunia ini pasti mempunyai lembaga kepolisian
masing-masing. Demikian juga Indonesia, memiliki lembaga kepolisian yang
bernama Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kita kenal dengan Polri.
Namun lembaga kepolisian yang dimiliki oleh masing-masing negara tersebut belum
tentu menggunakan sistem kepolisian yang sama. Adanya pengaruh dari faktor
sistem politik/pemerintahan yang dianut serta mekanisme sistem kontrol sosial
yang berlaku dalam negara tersebut yang membentuk sistem kepolisian di sebuah
negara. Meskipun beberapa negara tersebut sama-sama menganut paham demokratis
dalam pemerintahannya, namun belum tentu menggunakan sistem kepolisian yang
sama. Kepolisian dinegara manapun selalu berada dalam sebuah dilema kepentingan
kekuasaan yang selalu menjadi garda terdepan perbedaan pendapat antara
kekuasaan dengan masyarakatnya. Sistem Kepolisian suatu Negara sangat
dipengaruhi oleh Sistem Politik serta control sosial yang diterapkan.
Berdasarkan konsep diatas dapat dikatakan bahwa secara umum negara merupakan
sebuah bentuk kesatuan supra sistem yang terdiri dari berbagai sistem yang
saling terkait dan bergerak dinamis didalamnya, antara lain adalah sistem
pemerintahan dan sistem sosial dengan tujuan tercapainya keteraturan dan
ketertiban dalam masyarakat.
Pemahaman tentang negara demokratis dimana dalam sistem
penyelenggaraan negara terfokus pada tercapainya tujuan negara dalam rangka
kesejahteraan rakyat dengan menjunjung tinggi kemerdekaan/Hak Asasi Manusia
untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Sehingga dalam suatu supra sistem
negara demokratis yang terdiri dari sistem-sistem fungsi penyelenggaraan negara
dan selalu berorientasi pada terjaminnya keamanan dan ketertiban dalam dinamika
sistem itu sendiri. Adapun sebagai pelaksana fungsi keamanan dan ketertiban
dibentuk sebuah sistem didasarkan pada konstitusi yang berlaku dan harus
mendapatkan dukungan dari masyarakatnya. Hampir seluruh negara di dunia
melegitimasi sebuah struktur kepolisian sebagai penanggungjawab terciptanya
keamanan dan ketertiban itu sendiri untuk menjalankan peran dan fungsinya
sesuai dasar hukum yang telah di tentukan. Secara universal, ada tiga kategori
sistem kepolisian yang dikenal secara umum sesuai dengan karakteristik fundamental
dari setiap negara demokratis yang menganutnya, antara lain:
1. Sistem
Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing),
2. Sistem
Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing) dan
3. Sistem
Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing).
Ketiga sistem
tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa model besar penerapan hukum yang di
gunakan di dunia, yaitu model eropa kontinental atau civil law yang di gunakan
di beberapa negara eropa di antaranya negara Perancis, Belanda dan Jerman, dan
model anglo saxon atau common law yang di gunakan di negara Inggris, Amerika
Serikat dan Australia. Sistem Kepolisian Terpisah atau Fragmented System of
Policing di terapkan oleh beberapa negara antara lain Belgia, Kanada, Belanda,
Zwistzerland dan Amerika Serikat. Kemudian untuk Sistem Kepolisian Terpusat
atau Centralized System of Policing di terapkan oleh negara Perancis, Italia,
Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark dan Swedia. Sedangkan Sistem Kepolisian Terpadu
atau Integrated System of Policing di terapkan oleh negara Jepang, Australisa,
Brasilia dan Inggris.
Sistem kepolisian tersebut tentunya memiliki kelebihan
dan kelemahannya masing-masing. Kelebihan dan kekurangan dari masing masing
sistem inilah yang memberikan ciri berbeda dari sistem kepolisian tersebut,
sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa ”tidak ada satu pun sistem kepolisian
di dunia ini yang sempurna”. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengkaji
lebih dalam terkait dengan berbagai kelebihan maupun kekurangan dari masing-masing
sistem kepolisian tersebut, melalui suatu metode perbandingan antar sistem
kepolisian. Hal ini guna mendapatkan pemahaman secara integral dan spesifik
tentang perbedaan yang ada, antara suatu sistem kepolisian yang di terapkan
pada suatu negara dengan sistem kepolisian yang di terapkan oleh negara
lainnya. Tujuan yang hendak dicapai dari hasil pembandingan sistem-sistem
kepolisian tersebut antara lain agar dapat diambil suatu manfaat dari suatu
sistem kepolisian yang di terapkan oleh negara tertentu bagi negara lainnya.
Manfaat itu antara lain berupa bentuk penataan dan pengembangan organisasi
serta pengembangan potensi kerjasama yang dapat di lakukan oleh Kepolisian
Indonesia dengan lembaga kepolisian dari negara lain.
Dalam tulisan ini, penulis ingin membahas secara tentang
perbandingan sistem kepolisian yang di terapkan di Indonesia di bandingkan
dengan yang di terapkan di negara Amerika Serikat dan Jepang yang di kenal
memiliki sistem kepolisian yang baik dan dinilai dapat di jadikan pembanding yang
baik untuk dapat diterapkan pada sistem kepolisian di Indonesia serta mewakili
dari masing-masing bentuk sistem kepolisian yang ada, sehingga nanti penulis
bias memilih system kepolisian yang mana yang cocok diterapkan di Indonesia.
Negara Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menerapkan Sistem
Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing), kemudian Negara Jepang
merupakan salah satu negara yang menerapkan Sistem Kepolisian Terpadu
(Integrated System of Policing), sedangkan Indonesia sendiri saat ini oleh
banyak kalangan masih di anggap termasuk dalam negara yang menerapkan Sistem
Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing). Sistem Kepolisian yang di
terapkan oleh Negara Amerika Serikat dan Negara Jepang juga di nilai memiliki nilai
positif yang dapat di tiru dan di aplikasikan bagi upaya peningkatan
profesionalisme lembaga kepolisian di Indonesia.
Pemahaman Konsep
Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan
bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama
berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko
Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Fokus pembentukan/penerapan sistem
kepolisian di negara-negara demokratis berdasar pada, bagaimana memyeimbangkan
antara pengendalian kejahatan dengan terjaminnya kebebasan dan keadilan. Di
dunia terdapat 3 ( tiga ) kelompok sistem kepolisian, yaitu:
A. Fragmented
System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri)
Disebut juga system
Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran
terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan
pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu
Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat. Beberapa negara yang
besar dan sudah maju menerapkan sistem kepolisian ini. Salah satunya adalah
Negara Amerika Serikat yang merupakan negara demokratis modern. Sistem
kepolisian terpisah atau Fragmented System of Policing, yaitu suatu sistem
kepolisian yang terpisah atau berdiri sendiri, disebut juga sebagai sistem
desentralisasi yang ekstrim atau tanpa sistem. Oleh karena itu di dalam sistem
tersebut cenderung terjadi kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu
organisasi polisi yang otonom. Sehingga dalam penerapan paradigma sistem
dimaksud senantiasa diiringi dengan dilakukannya pembatasan terhadap kewenangan
polisi. Dalam penerapan sistem kepolisian dengan paradigma Fragmented System of
Policing tentunya tetap memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan atau
kebaikan dari sistem kepolisian ini antara lain :
1. Polisi dalam
sistem ini relatif dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat
setempat. Dalam sistem kepolisian yang berbasis model anglo saxon atau common law,
lembaga kepolisian dalam sistem ini tumbuh dari dalam masyarakat sendiri karena
diawali oleh adanya kepentingan masyarakat akan suatu lembaga kepolisian.
Sehingga dengan dasar itu polisi akan otomatis berusaha untuk dapat lebih peka
terhadap berbagai situasi dan kondisi yang terjadi di dalam masyarakat,
mengingat mereka di bentuk oleh rakyat dan untuk melayani kepentingan
masyarakat yang membentuknya.
2. Polisi dalam
sistem ini memiliki hak otonom, yaitu dalam hal melakukan pengaturan terhadap
segala kegiatannya, baik dalam bidang administrasi maupun operasional sesuai
dengan struktur masyarakatnya. Antara lembaga kepolisian yang satu dengan yang
lainnya tidak terikat dalam suatu kesatuan struktur organisasional atau
kelembagaan yang terpusat secara National. Hal ini mebuat masing-masing lembaga
kepolisian memiliki aturan kerja masing-masing. Dengan bentuk lembaga
kepolisian dengan Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing),
mereka memiliki otonomi yang besar dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan
maupun tindakan kepolisian dengan senantiasa tetap menyesuaikan terhadap
struktur masyarakat setempat, dan pertanggungjawabannya pun kepada masyarakat
setempat itu sendiri.
3. Kemudian
juga, kecil kemungkinannya untuk terjadi penyalahgunaan kewenangan dari
organisasi polisi yang ada oleh penguasa secara nasional karena sifat
pengawasannya yang secara lokal/setempat. Dalam sistem kepolisian ini,
pengawasan secara penuh di lakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat daerah
setempat. Mereka melakukan pengawasan terhadap kinerja yang di lakukan oleh
lembaga kepolisian di daerah tersebut. Keberadaannya di dalam satu daerah yang
secara struktural menjadi bagian dari pemerintah daerah, maka akan ada
kedekatan secara struktural dalam hal sistem pengawasan yang di lakukan karena
bersifat lokal kedaerahan. Hal ini tentunya dapat menjadi pengaruh yang kuat
sebagai salah satu bentuk kontrol sosial yang di lakukan oleh pemerintah daerah
dan masyarakatnya terhadap terselenggaranya kinerja lembaga kepolisian
tersebut, yang pada akhirnya dapat mewujudkan suatu bentuk pemerintahan yang
sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yaitu ”Partisipasi, Penegakan
Hukum, Transparansi, Kesetaraan, Daya Tanggap, Wawasan ke Depan, Akuntabilitas,
Pengawasan, Efisiensi dan Efektifitas, Profesionalisme”.
4. Birokrasinya
bersifat praktis, yang artinya tidak terlalu panjang dan bertele-tele, namun
dapat lebih cepat, terutama dalam hal pengusulan anggaran yang akan di
pergunakan untuk membiayai kegiatan operasional kepolisian, karena langsung
diajukan kepada pemerintah daerah setempat. Dalam sistem ini, segala kegiatan
yang dilakukan oleh lembaga kepolisian di tanggung oleh anggaran yang dimiliki
oleh pemerintah daerah setempat, sehingga lembaga kepolisian hanya melalui satu
tahap saja dalam melakukan akses pengajuan birokrasi dan penetapan kebijakan
publik terhadap pemerintah daerah setempat. Termasuk dalam hal ini adalah
pengajuan dukungan anggaran kepolisian dan perlengkapannya. Hal ini berbeda
dengan sistem yang di terapkan di Indonesia yaitu Sistem Kepolisian Terpusat
(Centralized System of Policing), dimana terdapat rangkaian birokrasi yang
cenderung panjang dan rumit sehingga di rasa tidak cukup efektif dalam hal
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang akan di lakukan oleh lembaga kepolisian
Sementara itu, di samping kelebihan atau kebaikan yang
di miliki, ada juga beberapa kelemahan yang dimiliki dalam Sistem Kepolisian
Terpisah (Fragmented System of Policing) yang di antaranya adalah :
1.
Dalam sistem kepolisian ini, pelaksanaan kegiatan penegakan hukum
dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri, dan juga kewenangan dari
lembaga kepolisian tersebut terbatas hanya pada lingkup daerah dimana lembaga
kepolisian tersebut berada. Sehingga dalam pelaksanaannya di mungkinkan akan
terjadi hambatan atau dapat menimbulkan dampak kesulitan tersendiri bagi
lembaga kepolisian ketika harus menangani kasus-kasus kejahatan yang melibatkan
wilayah hukum yang luas di luar dari wilayah hukum lokal yang menjadi kewenangan
dari lembaga kepolisian tersebut. Hal ini dikarenakan peraturan
perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar hukum bagi lembaga kepolisian
di suatu daerah tertentu tersebut hanya akan memberikan kewenangan kepolisian,
termasuk dalam hal penegakan hukum, bagi lembaga kepolisian tersebut hanya
meliputi daerah lokal saja dimana lembaga kepolisian tersebut berada. Pembuatan
peraturan perundang-undangan bagi setiap lembaga kepolisian merupakan
kewenangan dari setiap pemerintah daerah dimana suatu lembaga kepolisian
berada.
2.
Tidak adanya suatu standar profesionalisme di bidang kepolisian akibat
dari terjadinya fragmentasi sistem kepolisian di masing-masing daerah. Hal ini
disebabkan karena setiap lembaga kepolisian diatur oleh setiap peraturan
perundang-undangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan
terjadi kesulitan manakala akan dilakukan standarisasi terkait dengan
profesionalisme di bidang kepolisian, mengingat banyaknya peraturan
perundang-undangan tersebut sehingga akan cukup menyulitkan jika harus
dilakukan suatu standarisasi, kecuali dengan jalan merubah semua peraturan
perundang-undangan yang sudah ada lebih dulu yang di dalamnya dilakukan suatu
revisi yang memungkinkan untuk dilakukannya suatu standarisasi profesionalisme
dimaksud. Pelaksanaan pengawasan yang bersifat lokal kedaerahan menyebabkan
tidak dapat dilaksanakannya mekanisme kontrol dengan baik, karena bentuk dari
pengawasan hanya terjadi dalam satu level organisasi daerah, dan tidak terdapat
sistem kontrol pengawasan lagi diatasnya dengan wewenang yang lebih tinggi.
Bentuk pelaksanaan pengawasan yang bersifat lokal memang memiliki dampak yang
positif, dalam mewujudkan keefektifan birokrasi. Namun di sisi lain, bentuk
pengawasan ini memiliki dampak yang
negatif, terutama dikarenakan tidak adanya mekanisme kontrol secara berlapis
atau berjenjang. Sehingga jika sistem pengawasan yang ada ternyata bekerja
tidak optimal dalam menjalankan fungsinya, maka tidak akan ada lagi
koreksi/kontrol dari lapis pengawasan lainnya / di atasnya. Hal ini rawan
karena dapat mengakibatkan antara lain terjadinya suatu penyimpangan yang di
lakukan oleh pengawasan itu sendiri dan lolosnya kesalahan yang di buat dari
pengawasan,yang di lakukan pengawas yang terbatas, sehingga kemungkinan besar selamanya
penyimpangan tersebut tidak akan diketahui oleh publik.
Sistem kepolisian dengan paradigma tersebut memiliki ciri-ciri,
antara lain yaitu :
1. Kewenangan
yang dimiliki lembaga kepolisian dalam sistem ini bersifat terbatas, yaitu
hanya sebatas pada lingkup daerah di mana suatu badan kepolisian itu berada.
Hal ini dikarenakan secara umum, lembaga kepolisian di negara yang menerapkan
sistem kepolisian ini berupa negara-negara bagian yang memiliki otonomi penuh
atas wilayahnya masing-masing. Selain itu, lembaga kepolisiannya memang
dibentuk oleh pemerintah daerah setempat dan diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat itu
sendiri. Sehingga tugas pokok dan wewenang lembaga kepolisiannya pun hanya menjangkau
daerah tersebut. Hal itu juga mempengaruhi bentuk atribut, seragam, serta nama
yang di gunakan oleh lembaga kepolisian yang ada menjadi berbeda-beda, karena
tergantung dari kebijakan dari pemerintah daerah setempat.
2. Dalam sistem
ini pelaksanaan pengawasan terhadap lembaga kepolisian sifatnya lokal, yang
artinya bahwa pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan tugas-tugas serta
wewenang kepolisian dilakukan oleh tiap-tiap struktur lokal yang ditentukan
dalam suatu lembaga kepolisian. Termasuk dalam hal ini pengawasan terutama
dilakukan secara melekat oleh publik atau masyarakat daerah setempat dimana
suatu lembaga kepolisian tersebut berada. Pemerintah pusat tidak mempunyai
kewenangan untuk turut campur dalam permasalahan yang mencakup atau masih dalam
taraf kewenangan dari daerah itu sendiri. Dalam hal ini ada kecenderung karena
dipengaruhi oleh basic model penerapan hukum yang dianut di negara tersebut,
yang kebanyakan adalah model anglo saxon atau common law. Dimana dalam sistem
kepolisian ini, lembaga kepolisian tumbuh atau di bangun dari adanya
kepentingan dalam masyarakat sendiri sehingga representasi polisi dalam model
tersebut dapat dikatakan sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri atau
dapat di katakan juga bahwa polisi adalah sebagai milik masyarakat. Dapat
dikatakan seperti itu karena munculnya lembaga kepolisian pada awalnya bukan
dikarenakan oleh adanya kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat.
3. Dalam sistem
kepolisian ini, pelaksanaan penegakan hukum dilaksanakan secara terpisah atau
berdiri sendiri. Yang dimaksud dalam hal ini yaitu bahwa dalam pelaksanaan
penegakan hukum dalam sistem kepolisian tersebut, suatu lembaga kepolisian pada
daerah tertentu tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah yang lain. Hal ini
disebabkan karena setiap lembaga kepolisian di negara yang menerapkan sistem
kepolisian ini diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yang
ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah setempat, termasuk dalam hal
teknis pelaksanaan penegakan hukumnya. Hal ini berbeda dengan bentuk sistem
Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), yaitu dimana pelaksanaan
penegakan hukum dilaksanakan secara nasional, tidak secara terpisah atau
berdiri sendiri.
B.
Centralized System of Policing ( Sistem
Kepolisian Terpusat)
Berada langsung
dibawah kendali pemerintah. Sistem ini dahulunya dianut oleh sistem
pemerintahan yang totaliter seperti Jerman pada era Nazi. Negara-negara yang
menganut sistem kepolisian ini antara lain Perancis, Italia, Finlandia, Israel,
Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark dan Swedia. Sistem kepolisian ini memiliki
beberapa kekurangan atau kelemahan, antara lain :
1. Cenderung
dijauhi / kurang didukung masyarakat karena cenderung lebih memihak kepada
penguasa. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian dalam negara dengan sistem
kepolisian terpusat muncul dari adanya kepentingan negara tersebut akan
perlunya suatu lembaga kepolisian sehingga terjadi kecenderungan dimana lembaga
kepolisian akan menjadi alat kekuasaan daripada menjadi pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat. Berbeda halnya dengan negara dengan sistem kepolisian
terpisah dimana lembaga kepolisian muncul dari adanya kepentingan masyarakat
sehingga lembaga kepolisian yang demikian akan lebih peka terhadap situasi dan
kondisi di dalam masyarakat yang pada akhirnya tugas pelayanan dan perlindungan
kepada masyarakat akan dapat terlaksana secara optimal tercapai ketentraman di
dalam masyarakat.
2. Birokrasinya
juga terlalu panjang, mulai dari level paling bawah hingga paling atas terletak
dalam satu rangkaian sistem birokrasi. Hal ini memang masalah yang selalu
melekat pada setiap organisasi dengan rantai birokrasi yang terlalu panjang
karena banyaknya lapis birokrasi yang harus di lewati untuk mengajukan suatu
kebijakan. Hal ini menimbulkan ketidakefektifan maupun ketidakefisienan kinerja
lembaga kepolisian tersebut.
3. Kurang dapat
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, karena panjang dan gemuknya
rentang struktural dalam sistem kepolisian tersebut. Hal ini cenderung
dikarenakan oleh karakteristik penyelenggaraan kebijakan-kebijakanpublik di
bidang kepolisian bersifat top down, tidak bootom up, sehingga seringkali tidak
tepat dan sulit menyesuaikan dengan masyarakat lokal dimana lembaga kepolisian
lokal berada.
4. Terdapat
kerentanan yang tinggi terhadap munculnya intervensi penguasa serta
penyalahgunaan organisasi maupun wewenang kepolisian untuk kepentingan
penguasa. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat
selalu memiliki ketergantungan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa dengan
kekuatan politik pendukungnya sehingga intervensi terhadap lembaga kepolisian
dapat dengan mudah terjadi oleh penguasa ketika lembaga kepolisian tersebut
tidak lagi mengindahkan posisi dan perannya sebagai pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat, melainkan justru menjadi alat kekuasaan karena adanya
kepentingan tertentu.
Sedangkan beberapa kelebihan atau kebaikan dari sistem
kepolisian terpusat (Centralized System of Policing) tersebut, antara lain
yaitu :
1. Mudahnya
sistem komando dan pengendalian karena dapat dilaksanakan secara terpusat. Hal
ini dikarenakan dalam struktur lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian
terpusat terdapat wewenang yang dimiliki oleh struktur teratas untuk melakukan
pengendalian maupun komando tertentu terhadap seluruh kesatuan di bawahnya.
Pusat memiliki wewenang untuk memberikan komando maupun melaksanakan pengawasan
terhadap setiap lapis struktur kesatuan di bawahnya Namun demikian, kelebihan
tersebut juga dapat dipandang sebagai kelemahan mengingat akan terjadi suatu
sistem komando dan pengendalian yang tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas
dari lembaga kepolisian tersebut.
2. Wilayah
kewenangan hukumnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi,
karena kewenangan tersebut bersifat nasional, sehingga tidak terdapat hambatan
terkait dengan hal-hal yurisdiksional terutama terkait dengan pelaksanaan
penegakan hukum.
3. Terdapat
standarisasi profesionalisme, efisiensi dan efektivitas baik dalam bidang
administrasi maupun operasional. Hal ini sangat dimungkinkan dilaksanakan dalam
suatu lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat mengingat seluruh
lembaga kepolisian berada dalam satu wadah lembaga kepolisian nasional yang
diatur berdasarkan satu peraturan perundang-undangan.
4. Ruang
lingkup pengawasan dalam sistem ini sifatnya lebih luas dibandingkan dengan
sistem desentralisasi karena pengawasan tidak hanya pada tataran lokal tapi
secara berjenjang sampai dengan level nasional.
C. Integrated
System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu),
Disebut juga
system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system
control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari
penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam
dalam pelayanan.. Dalam sistem kepolisian bentuk ini terdapat sistem kontrol /
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan agar
dapat dihindari berbagai tindak penyalahgunaan organisasi polisi nasional serta
guna mencapai efektivitas, efisiensi dan keseragaman dalam hal pelaksanaan
pelayanan yang harus di berikan kepada publik atau masyarakat. Negara-negara
yang menganut sistem kepolisian ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris
dan Indonesia. Sesuai dengan bentuk typenya yang terpadu, maka kelebihan maupun
kelemahan yang terdapat dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of
Policing) dapat berasal dari kelebihan atau kelemahan Sistem Kepolisian Terpisah
(Fragmented System of Policing) ataupun dari Sistem Kepolisian Terpusat
(Centralized System of Policing). Dalam sistem kepolisian dengan paradigma
Integrated System of Policing tersebut juga tentunya mempunyai kelebihan atau
kebaikan maupun kekurangan atau kelemahan. Beberapa kelebihan atau kebaikan
dari sistem kepolisian ini, antara lain :
1. Birokrasinya
relatif lebih efektif atau tidak terlalu panjang, karena di dalam sistem
kepolisian ini, pemerintah pusat turut serta dalam hal tanggung jawab terhadap
kepolisian yang ada, di samping pemerintah daerah yang lebih intens bertanggung
jawab terhadap operasional lembaga kepolisian di daerahnya masing-masing. Hal
ini merupakan perpaduan antara Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of
Policing) dengan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing),
yaitu dimana suatu lembaga kepolisian di suatu daerah tertentu, selain di
dukung oleh pemerintah daerah setempat terkait dengan penyelenggaraan kegiatan
operasional kepolisian, termasuk dalam hal dukungan anggarannya, pemerintah
pusat juga turut bertanggung jawab dalam mendukung pelaksanaan tugas lembaga
kepolisian yang ada, terutama untuk kegiatan-kegiatan kepolisian tertentu.
Sehingga dalam hal ini sistem birokrasinya di rasakan lebih efektif dan
efisien.
2. Terdapat
kecenderungan atau adanya standarisasi dalam hal profesionalisme kepolisian
serta tercapainya efektivitas maupun efisiensi dalam bidang administrasi maupun
operasional dari lembaga kepolisian yang ada. Hal ini dimungkinkan dapat
terwujud dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing)
dikarenakan setiap lembaga kepolisian yang ada di setiap daerah meskipun
memiliki sifat otonom, namun tetap berada dalam satu struktur lembaga
kepolisian nasional. Lembaga kepolisian nasional tetap membawahi lembaga
kepolisian daerah meskipun lembaga kepolisian daerah dalam pelaksanaan tugas
operasionalnya lebih intens dengan pemerintah daerah masing-masing. Dengan
begitu, standarisasi profesionalisme kepolisian tetap dapat ditentukan karena
adanya satu peraturan perundang-undangan yang sama yang mengatur lembaga
kepolisian secara nasional.
3. Sistem pengawasannya dapat dilakukan secara
nasional, mengingat terdapat keterlibatan pemerintah pusat di dalam sistem
kepolisian dengan paradigma tersebut. Hal ini dikarenakan dalam sistem
kepolisian yang terpadu, pemisahan hanya terjadi dalam hal-hal yang terkait
dengan fungsionalisasi operasional kepolisian, namun secara struktural tetap
berada dalam satu wadah lembaga kepolisian nasional, sehingga memungkinkan
terjadinya pengawasan oleh pemerintah pusat disamping oleh pemerintah daerah
setempat.
4. Koordinasi
tiap-tiap wilayah mudah dilakukan karena adanya komando yang lebih tinggi di
atas komando lokal. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian yang berada di
daerah-daerah masih berada di bawah satu komando lembaga kepolisian nasional
yang berada di pusat, sehingga secara berjenjang terdapat sistem komando yang
berlapis dari struktur terbawah hingga teratas.
Namun di sisi
lain terdapat pula beberapa kelemahan atau kekurangan dari sistem kepolisian
terpadu (Integrated System of Policing) tersebut, antara lain :
1. Pelaksanaan
penegakan hukum yang dilakukan tetap secara terpisah atau berdiri sendiri
artinya bahwa antara lambaga kepolisian daerah tidak bisa memasuki wilayah
hukum daerah lain dalam menegakkan hukum. Hal ini dikarenakan pelaksanaan
penegakan hukum telah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa
lembaga kepolisian lokal di suatu daerah hanya dapat menangani kasus-kasus
kejahatan dan melakukan penegakan hukum yang terjadi di daerahnya saja.
Sedangkan jika terjadi suatu kasus kajahatan yang melibatkan lebih dari satu
daerah atau mempunyai implikasi terkait kepentingan yang lebih luas, maka
penanganannya dapat dilaksanakan oleh lembaga kepolisian di atasnya. Jadi
disamping hal ini merupakan suatu kelemahan, namun juga terdapat kelebihan
karena adanya pembagian wewenang yang sedikit samar di antara setiap jenjang
struktur lembaga kepolisian yang ada.
2. Kewenangan
kepolisian yang dimiliki juga bersifat terbatas hanya sebatas daerah di mana
polisi tersebut berada atau bertugas. Hal ini tentunya akan menjadi suatu hambatan dalam penanganan suatu kasus
kejahatan manakala terjadi kasus kejahatan yang melibatkan lebih dari satu
yurisdikasi kepolisian lokal. Sehingga penanganan kasus tersebut dikhawatirkan
tidak dapat dilakukan secara cepat.
Pada dasarnya, masyarakat Indonesia sebagai
suatu kesatuan telah lahir jauh sebelum lahirnya (secara formal) masyarakat Indonesia.
Peristiwa sumpah pemuda antara lain merupakan bukti yang jelas. Peristiwa ini
merupakan suatu konsensus nasional yang mampu membuat masyarakat Indonesia
terintegrasi di atas gagasan Bineka Tunggal Ika. Konsensus adalah persetujuan
atau kesepakatan yang bersifat umum tentang nilai-nilai, aturan, dan norma
dalam menentukan sejumlah tujuan dan upaya mencapai peranan yang harus
dilakukan serta imbalan tertentu dalam suatu sistem sosial.Model konsensus atau
model integrasi yang menekankan akan unsur norma dan legitimasi memiliki
landasan tentang masyarakat, yaitu sbb:
1.
Setiap
masyarakat memiliki suatu struktur yang abadi dan mapan
2.
Setiap
unsur masyarakat memiliki fungsinya masing-masing dalam kelangsungan masyarakat
tersebut sebagai suatu sistem keseluruhan
3.
Unsur
dalam masyarakat itu terintegrasi dan seimbang
4.
Kelanjutan
masyarakat itu berasaskan pada kerja sama dan mufakat akan nilai-nilai.
Indonesia merupakan masyarakat multikultural. Hal ini terbukti di
Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang masing-masing mempunyai struktur
budaya yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat dilihat dari bahasa, adat
istiadat, religi, tipe kesenian, dan lain-lain. Pada dasarnya suatu masyarakat
dikatakan multicultural jika dalam masyarakat tersebut memiliki keanekaragaman
dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud antara lain, keragaman
struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang berbeda-beda,
keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit,
rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial
dalam masyarakat.
Berbicara masyarakat multikultural adalah membicarakan tentang
masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti
kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda dalam kesederajatan (C.W. Watson : 1998, dalam Pasurdi Suparlan :
2002 ). Pada hakikatnya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri
atas berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya (culture)
yang berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat
homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial
antarindividu di masyarakat bersifat toleransi dan harus menerima keberadaan
untuk hidup berdampingan secara damai (peace to existence) satu sama lain
dengan perbedaan yang melekat pada tiap etnisitas sosial dan politiknya. Oleh
karena itu, dalam sebuah masyarakat multikultural sangat mungkin terjadi
konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut.
Sebagai contoh, pertikaian yang melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan
juga agama terjadi di berbagai daerah yang terdapat di Indonesia.
Konflik terjadi karena adanya perbedaan yang dapat kita lihat dari
masyarakat multikultural termasuk di Indonesia. Hal ini sering kita lihat
adanya konflik baik di daerah maupun di perkotaan. Masyarakat indonesia dapat
dikatan sebagai masyarakat mutikultural yang belum sempurna, hal ini dapat kita
lihat dari beberapa hal yaitu :
a. Masih terdapat
dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya.
b. Struktur sosial yang
ada lebih banyak menguntungkan pihak yang mendominasi.
c. Konflik sosial yang
muncul masih sering berlanjut dengan kekerasan.
d. Terjadi segmentasi ke
dalam kelompok sub budaya yang saling berbeda.
e.
Memiliki struktur yang terbagi ke dalam lembaga non komplementer Kurang
mengembangkan konsensus di antara anggota terhadap nilai yang bersifat dasar
Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling tergantung
secara ekonomi Adanya dominasi politik suatu kelompok atas kelompok lain.
f.
Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam Lembaga-lembaga yang
besifat nonkomplemeter (Tidak saling
melengkapi).
Sistem sosial budaya Indonesia ialah merupakan sebagai totalitas
nilai, tata sosial, dan tata laku manusia Indonesia harus mampu mewujudkan
pandangan hidup dan falsafah negara Pancasila ke dalam segala segi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Asas yang melandasi pola pikir, pola tindak, fungsi,
struktur, dan proses sistem sosial budaya Indonesia yang diimplementasikan
haruslah merupakan perwujudan nilai- nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, transformasi serta pembinaan sistem social budaya harus tetap
berkepribadian Indonesia. (Muttaqin, Zainal : 2010).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk,
yang hidup tersebar diseluruh tanah air, yang memiliki berbagai macam ragam
budaya. Sehingga menimbulkan keanekaragaman institusi dalam masyarakat.
Institusi adalah suatu konsep sosiologi yang paling luas digunakan, walau
memiliki pengertian yang berlainan:
a)
Digunakan
untuk merujuk suatu badan, seperti universitas dan perkumpulan
b)
Organisasi
yang khusus atau disebut pula institusi total, seperti penjara atau rumah sakit
c)
Suatu pola
tingkah laku yang telah menjadi biasa atau suatu pola relasi sosial yang
memiliki tujuan sosial tertentu
Bronislaw menganggap institusi sosial merupakan
konsep utama untuk memahami masyarakat, yang setiap institusi saling berkaitan
dan masing-masing memiliki fungsinya. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa
institusi itu mengenai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaan yang
terdiri atas tiga wujud, yaitu:
a)
Wujud
idiil
b)
Wujud
kelakuan
c)
Wujud
fisik dari kebudayaan
Koentjaraningrat mengatakan, bahwa seluruh
total dari kelakuan manusia yang berpola tertentu bisa diperinci menurut
fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam
bermasyarakat. Maka pola pikir, pola tindak dan fungsi sistem sosial budaya
Indonesia merupakan institusi sosial, yaitu suatu sistem yang menunjukkan bahwa
peranan sosial dan norma-norma saling berkait, yang telah disusun guna
memuaskan suatu kehendak atau fungsi sosial. Komponen-komponen dari pranata
social adalah Sistem Norma, Manusia, dan Peralatan fisik.
II.
PEMBAHASAN
Dari uraian tersebut di atas, maka ada beberapa pendapat dan
pemikiran penulis untuk menentukan kedudukan kepolisian Indonesia berada dalam
kelompok mana yang sesuai dengan kharakteristik Negara Indonesia sendiri dan
idealnya kepolisian di Indonesia itu bagaimana. Oleh karena itu memerlukan
kajian yang spesifik dan integrated. Kedudukan sistem Kepolisian Indonesia saat
ini dapat dikategorikan sebagai Integrated System of Policing dimana Indonesia
telah menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional
sebagai intstitusi namun juga berkapasitas fragmented (kedaerahan). Mempelajari
sistem kepolisian di sebuah Negara tidak lepas dari sejarah Negara yang
bersangkutan, sejarah kepolisiannya, UUD dan sistem ketatanegaraan, hukum yang
mengatur kepolisian dan hukum yang menetapkan tupoksi serta keadaan
lingkungannya. Menurut Dillip K. Das dalam buku “Police Practices: An
International Review” (1994), kepolisian di suatu negara adalah unik, karena
sistem administrasi kepolisian tidak berdiri sendiri, namun terkait erat dengan
sistem administrasi negara, sistem peradilan pidana dan sistem pertahanan
negara. Di Indonesia, dalam konteks sistem administrasi negara, Polri langsung
berada di bawah presiden (setelah pisah dari TNI), dalam sistem peradilan
diatur dalam KUHAP dan hubungan dengan TNI dan sistem pertahanan diatur dalam
Undang-undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, Undang-undang No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-undang No.
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Negara Republik Indonesia sendiri merupakan suatu negara nusantara
yang terdiri dari berbagai pulau dari sabang sampai merauke, dan masing-masing
daerah mempunyai sifat ke daerahan antara daerah yang satu dan yang lainnya
berbeda baik suku,ras dan agama. Kultur social, kebudayaan dan masalah maslah
social yang dihadapi masing masing daerah di Indonesia pun beragam dan
berbeda-beda. Negara Indonesia merupakan suatu negara yang sangat kompleks akan
keanekaragaman masyarakatnya yang berbeda sifat dan perilaku sosialnya baik itu
di daerah yang terpencil maupun di Kota-kota. Sehingga dibutuhkan system
kepolisian yang mengerti tentang sifat masing – masing daerah yang berada di
Indonesia, tidak bisa disamaratakan system kepolisian di kota dengan yang di
pelosok atau di daerah yang bukan perkotaan.
Sistem kepolisian
di dunia yang saya ketahui ada tiga, yang pertama adalah Sistem Kepolisian
Terpisah (Fragmented Sistem of Policing), Sistem Kepolisian Terpusat
(Centralized Sistem of Policing)dan
Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated Sistem of Policing). Setiap Negara
mempunyai sistem kepolisian yang berbeda-beda, walaupun sebenarnya sistem
kepolisian tidak harus sesuai dengan yang tiga di atas. Jika memang ada sistem
yang lebih baik dari tiga itu, mengapa tidak. Namun lagi-lagi tetap tiga sistem
di atas dipakai oleh banyak Negara. Antara lain Negara Belanda, Belgia, Amerika
Serikat, Kanada dan Swiss memakai sistem yang pertama yaitu Sistem Kepolisian
Terpisah. Beda lagi dengan Negara Australia, Jepang, dan Inggris, mereka
memakai sistem yang moderat yaitu Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated Sistem
of Policing). Sedangkan Indonesia saat ini kepolisian kita lebih memilih Sistem
Kepolisian Terpusat (Centralized Sistem
of Policing).
Saya lebih memilih Sistem Kepolisan Terpadu karena Sistem ini
menurut saya sangat ideal untuk diterapkan oleh Kepolisian Indonesia. Tapi
sebelum saya menjelaskan mengapa saya memilih sistem terpadu, saya akan sedikit
menjelaskan tentang dua sistem yang lain. Sistem Kepolisian Terpisah
(Fragmented Sistem of Policing) adalah sistem kepolisian yang terpisahatau
berdiri sendiri, disebut juga sebagai sistem desentralisasi yang ekstrim atau
tanpa sistem.Sistem ini akan memungkinkan peraturan, anggaran, dan cara kerja
di atur langsung oleh daerah itu. Dan setiap daerah mempunyai aturan yang
berbeda, namun aturan-aturan yang dibuat melibatkan langsung masyarakat daerah
itu. Sehingga masyarakat bisa menentukan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
Misalkan Di Jawa Tengah ada beberapa Kabupaten, aturan yang dibuat antara
kabupaten yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Kelebihan dari sistem ini
adalah pekerjaan kepolisian sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
masyarakatnya. Misal Masyarakat Purworejo meminta agar ada 5 mobil polisi yang
patrola 24 jam di lingkungan masyarakat, maka kepolisian harus memenuhinya.
Kelemahan dari sistem ini adalah lebih kepada wewenang, jadi wewenang
kepolisian di kabupaten Purworejo hanya berwenang di Purworejo, tidak boleh
beroperasi di Kabupaten lain, belum lagi di daerah-daerah lain di luar puau
jawa.
Adalagi Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized Sistem of Policing) seperti yang ada di
Negara kita Indonesia. Sistem ini terpusat dari atas langsung dan mencakup
semua wilayah, secara komando lebih mudah, tapi kontroling kerja-kerja polisi
dilapangan sulit di lakukan. Selain itu polisi yang memakai sistem ini
kerja-kerjanya terbilang lamban dalam melayani masyarakat. Misal hari ini ada
yang kehilangan motor atau mobil, biasa yang kita lakukan adalah melapor dulu
ke kantor kepolisian, bahkan kita harus menunggu beberapa jam untuk mlapor
saja. Belum lagi disuruh bayar. Setelah laporan polisi bukannya langsung
bertindak, malah kesanya leyeh-leyeh dengan alasan sedang menyelidiki dan
alasan-alasan lainnya. Dan lebih repotnya lagi sudah menunggu berbulan-bulan
tetap saja polisi kesannya tidak melakukan apa-apa. Tentu ini membuat
masyarakat Indonesia Geram dan sudah hilang kepercayaan dengan kepolisian.
Kalau barang hilang ya sudah, mau apalagi. Ini terjadi karena kebanyakan
kepolisian kita menunggu perintah dari atas untuk bertindak, dan kesannya
polisi kita lebih suka nongkrong-nongkrong di kantor polisi dari pada
berpatroli, padahal kalau berpatroli kan kalau ada apa-apa bisa cepat ditangani.
Tapi sangat sedikit sekali polisi kita yang berpatroli, apalagi 24 jam. Padahal
mereka bisa memakai sistem sift-siftan. Sistem Kepolisian Terpusat ini menurut
saya sangat tidak cocok diterapkan di Indonesia yang mempunyai daerah yang
sangat luas. Jika ada yang mengatakan tingkat kenerja polisi semakin bagus
karena berhasil membunuh teroris, maka menurut saya itu hanya nol koma sekian
persen kebutuhan masyarakat yang terlayani. Buktinya coba lihat, ada yang
kehilangan laptop, HP, motor, mobil, walau sudah dilaporkan polisi tetap adem
ayem. Beberapa kali saya menemai teman yang kehilangan, kesannya sungguh sangat
mengecewakan, bukan langsung bertindak, malah lama ngurus laporannya. Sedang pencurinya
sudah pergi entah kemana.
Lalu bagaimana dengan sistem Kepolisian Terpadu, Menurut saya ini
dia solusi untuk system Kepolisian Indonesia yang sesuai dengan kharakteristik
Indonesia sendiri. Sistem Kepolisian Terpadu(Integrated Sistem of Policing)
artinnya bahwa dalam sistem kepolisian yangdemikian terdapat sistem kontrol
/pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan agar
dapat dihindari berbagai penyalahgunaanorganisasi polisi nasional serta guna
mencapai efektivitas, efisiensi dankeseragaman dalam hal pelaksanaan pelayanan
kepada publik. Jadi sistem ini adalah perbaduan antara Sistem Kepolisian
Terpisah(Fragmented Sistem of Policing) dan Sistem Kepolisian Terpadu
(Integrated Sistem of Policing). Walau ada kelemahan pada kewenangan operasi,
namun hal itu bisa disiasati dengan membuat badan yang bisa menjangkau semua
daerah. Kalau di Amerika ada namanya FBI dan di Jepang ada namanya NPA
(National Police Agency). Maka di Indonesia bisa dibuat Badan Nasional yang
bisa manjangkau semua daerah misal PNI (Polisi Nasional Indonesia) ataupun
tetap menakai istilah Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), dan atau
IIC (Intelegent of Indonesia Country) untuk pusat Intelijennya. Jadi tetap
polisi didaerah diberikan otonomi khusus untuk ngurus daerahnya masing-masing,
namun tetap ada control dari pusat. Saya sangat merindukan ada mobil polisi
yang patrol 24 jam, sehingga kalau keluar malam dan ada kegiatan apapun akan
lebih aman. Dan kalau ada perampokkan, pencurian akan cepat diketahui oleh
polisi yang patroli di bantu warga yang sedang jaga pos kamling.
Sebagai kiblat atau
contoh dalam menerapkan system kepolisian di Indonesia dengan system Integrated
System yaitu adalah Negara di Jepang system kepolisiannya menggunakan paradigma
Integrated System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpadu atau
sering disebut juga sistem desentralisasi moderat atau sistem kombinasi (Terri,
1984) atau sistem kompromi (Stead, 1977), artinnya bahwa dalam sistem
kepolisian yang demikian terdapat sistem kontrol /pengawasan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan agar dapat dihindari berbagai
penyalahgunaan organisasi polisi nasional serta guna mencapai efektivitas,
efisiensi dan keseragaman dalam hal pelaksanaan pelayanan kepada publik.
Negara-negara yang menganut sistem kepolisian tersebut selain Jepang, antara
lain : Inggris, Australia dan Brasilia (Bayley, 1985). Oleh karena itu, terkait
dengan kelebihan maupun kelemahan yang terdapat dalam Sistem Kepolisian Terpadu
(Integrated System of Policing) dapat berasal baik dari Sistem Kepolisian
Terpisah (Fragmented System of Policing) dan Sistem Kepolisian Terpusat
(Centralized System of Policing) seperti yang dipakai oleh system Kepolisian
Indonesia saat ini. Polisi Jepang banyak menggunakan teknologi komunikasi baik
kabel, radio dan satelit untuk komando dan kendali saling tukar informasi.
Teknologi maju juga diterapkan dalam mengidentifikasi penjahat seperti : sidik
jari, analisa modus operandi dan identifikasi sasaran. Kepolisian Jepang
disusun dengan struktur organisasi yang terdiri dari NPA (sebagai badan
koordinasi dan pembuat kebijaksanaan kepolisian) dan Badan Kepolisian Prefektur
(sebagai kesatuan penegak hukum) yang hampir sama juga fungsi dan peranannya
dengan Bareskrim Polri yang terdapat di kepolisian Indonesia. Sistem kepolisian
Jepang utamanya mengedepankan Kepolisian Prefektur. Untuk menjamin netralitas
politik dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi maka dibentuk Komisi
Keselamatan Publik pada tingkat nasional dan prefektur hamper sama dengan
Kompolnas (komisi kepolisian nasional) yang terdapat di indonesia.
Di Jepang terdapat
sistem ”koban”. Koban didasari pada prinsip bahwa keselamatan seluruh bangsa
didasarkan pada keselamatan dan ketenteraman masing-masing warga. Sistem ini
terdiri dari dari ”Police Boxes/koban kota” di mana petugas polisi warga
masyarakat bekerja dalam perondaan shift dan ”Police Boxes (Chuzoisho)/ tempat
tinggal” jika di Indonesia bias di aplikasikan melalui Babinkamtibmas yang
terdapat di setiap desa di Indonesia. Di Jepang terdapat kira-kira 15.000 Koban
dan Chuzoisho di seluruh negeri. Sistem ini berperan besar dalam pemeliharaan
keselamatan publik karena petugas polisi terbiasa hadir di tengah-tengah warga
yang menimbulkan kepercayaan dari warga masyarakat kepada polisi hal tersebut juga
sangat penting dilakukan di Indonesia peran polmas yaitu pemolisian masyarakat
sangat dibutuhkan mengingat polisi perlu hadir ditengah tengah masyarakat
Indonesia sendiri. Pertangungjawaban dan tugas polisi di Jepang adalah
melindungi kehidupan, orang dan harta benda individu dan melakukan pencegahan,
penanggulangan, dan penyidikan kejahatan dan lainnya yang berkaitan dengan
pemeliharaan keselamatan dan ketertiban masyarakat. Kegiatan kepolisian
dibatasi secara ketat. Sesuai dengan undang-undang Jepang dalam melaksanakan
tugas polisi harus memegang prinsip tidak berpihak, tidak berprasangka dan
adil, tidak menyalahgunakan kewenangan dengan berbagai cara yang melanggar HAM
dan kemerdekaan individu. Prinsip-prinsip tersebut dikuatkan dalam bentuk
”Sumpah Polisi”. Maka jika di Kepolisian Indonesia dikenal dengan istilah
Tribata pedoman hidup dan Catur Prasetya sebagai pedoman kerja.
Pemerintah Nasional
Jepang membentuk organisasi ”Polisi Pusat” untuk mengontrol dan melayani
organisasi ”Polisi Prefektur”. Undang-Undang Kepolisian menetapkan bahwa
Pemerintah Nasional akan memberdayakan masing-masing prefektur untuk
melaksanakan tugas sebagai perlindungan kehidupan, orang, benda milik individu
dan pemeliharaan keselamatan dan ketertiban warga masyarakat dalam yurisdiksi
prefektur. Di kepolisian Indonesia juga bisa dibentuk kepolisian pusat atau
memanfaatkan Mabes Polri yang sudah ada sebagai pusat kepolisian Indonesia
ataupun Leading Sectornya
A. Organisasi Kepolisian
Nasional/National Police Organization (NPO)
Di Jepang terdapat
organisasi kepolisian yang berskala nasional yaitu National Public Safety
Commission (NPSC) dan National Police Agency (NPA). NPSC (National Public
Safety Commission) Merupakan suatu badan pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang supervisi administratif terhadap NPA. Meskipun NPSC ini berada di bawah
Perdana Menteri namun Perdana Menteri tidak berwenang untuk memerintah atau
mengendalikan langsung komisi keselamatan publik nasional ini. Komisi bersifat
otonom dan menjamin netralitas Polisi. Komisi ini bertanggung jawab terhadap
semua operasional dan kegiatan kepolisian berkenaan dengan keselamatan publik,
latihan komunikasi, identifikasi penjahat, statistik kriminil dan peralatan
serta berbagai hal yang berkaitan dengan administrasi kepolisian. Komisi hanya
dapat melakukan supervisi terhadap NPA, tetapi tidak berwenang melaksanakan
supervisi terhadap Polisi Prefektur karena kepolisian prefektur memiliki aturan
sendiri yang diawasi oleh komisi keselamatan publik prefektur. Anggota NPSC
terdiri atas 1 orang ketua yang merangkap sebagai menteri negara ditambah 5
orang anggota yang ditunjuk oleh Perdana Menteri dengan persetujuan Dewan. NPSC
dalam melaksanakan tugasnya memelihara hubungan yang erat dengan PPSC
(Prefectural Public Safety Commission) sebagai komisi keselamatan publik di
tingkat prefektur. Sangat bagus jika diterapkan pada system kepolisian yang
teerdapat di Indonesia karena sebagai pengawas yang berada di luar struktur
kepolisian nasional itu sendiri.
NPA (National
Police Agency) Organisasi ini di bawah supervisi dari NPSC. Kepala NPA adalah
seorang Commissioner General of NPA jika di Indonesia merupakan jabatan Kapolri
atau Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Commissioner General of NPA
yang ditunjuk dan diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan Perdana Menteri.
Commissioner General (CG) bertanggung jawab terhadap subjek supervisi NPSC,
mengendalikan urusan-urusan NPA, menunjuk dan memberhentikan personel
bawahannya, mengontrol dan mengawasi kinerja urusan masing-masing Biro Lokal
maupun Tingkat Pusat. NPA bertanggung jawab terhadap perencanaan perundang
undangan kepolisian, standart kegiatan Polisi dan sistem kepolisian. NPA
melakukan koordinasi kegiatan serta memberikan dukungan kepada Polisi Prefektur
baik hardware maupun softwarenya.
Organisasi NPA di
tingkat regional adalah ”Regional Police Bureau” (RPB) jika di Indonesia bisa
di sebut Polda (Kepolisian Daerah). RPB ini berada di bawah NPA yang bertugas
melaksanakan fungsi kepolisian di masing-masing regio. Ditempatkan di kota-kota
besar kecuali Tokyo dan Hokkaido. Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo
mempunyai fungsi khusus dikarenakan karakteristik wilahnya. Demikian juga di
Hokaido di mana Markas Besar Kepolisian Prefektur Hokkaido mempunyai yurisdiksi
seluruh wilayah Hokkaido. Direktur Jenderal dari masing-masing Regio
bertanggung jawab terhadap tugas-tugas Regio dan supervisi personel Regio.
Direktur Jenderal Regio juga melakukan kontrol dan supervisi Markas Besar
Prefektur yang ada di bawah yurisdiksinya atas perintah Commissioner General
NPA (kepala kepolisian jepang). Di samping Tokyo Metropolitan Police Department
dan Hokkaido Prefectural Police Department di Jepang terdapat 7 RPB lainnya
yaitu Tohoku RPB, Kanto RPB, Kinki RPB, Chubu RPB, Chugoku RPB, Shikoku RPB dan
Kyushu RPB.
B. Organisasi Kepolisian
Prefektur
Berdasarkan
Undang-Undang Kepolisian Kota Jepang bahwa masing-masing pemerintahan prefektur
mempunyai kesatuan/organisasi kepolisian sendiri yang mengemban tugas-tugas
kepolisian di wilayahnya. Di tingkat prefektur terdapat Komisi Keselamatan
Publik Prefektur/ Prefectural Public Safety Commission (PPSC) dan Markas Besar
Kepolisian Prefektur termasuk Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo. Jika
sistem kepolisian menyesuaikan dengan wilayahnya akan lebih mudah dalam
mengatur baik urusan internal maupun masalah-masalah yang dihadapi oleh
kepolisian yang terdapat di daerah itu sendiri. Sehingga sangat baik diterapkan
untuk system kepolisian di Indonesia.
PPSC (Prefectural Public
Safety Commission)
PPSC adalah badan
pemerintah prefektur yang bertanggung jawab supervise administrative terhadap
Kepolisian Prefektur. Walaupun PPSC berada di bawah yurisdiksi Gubernur
Prefektur tetapi Gubernur tidak berwenang untuk memerintah dan mengendalikan
secara langsung komisi ini. Komisi PPSC ini melakukan supervise terhadap
Kepolisian Prefektur utamanya berkenaan dengan operasi kepolisian, tetapi bukan
pengendalian terhadap penanganan kasus-kasus atau kegiatan penegakan hukum
khusus. Komisi ini membuat peraturan-peraturan tentang hal-hal yang menjadi
tanggung jawabnya seperti delegasi wewenang menurut undang-undang,
peraturan-peraturan. PPSC terdiri dari 5 anggota untuk prefektur besar dan 3
anggota untuk prefektur kecil. Anggota PPSC ditunjuk oleh Gubernur dengan
persetujuan Dewan Prefektur yang masa jabatannya selama 3 tahun dan dapat
dipilih kembali.
Di setiap prefektur
terdapat Kepolisian Prefektur. Organisasi Kepolisian yang terdapat di prefektur
terdiri dari “Departemen Kepolisian Metropolitan” (MPD) dan “Markas Besar
Kepolisian Prefektur”(PPH). Kepolisian Prefektur bertanggung jawab terhadap
tugas-tugas di wilayah prefektur. Kepolisian Prefektur berada di bawah
supervise dari PPSC. Departemen Kepolisian Metropolitan dikepalai oleh seorang
Superintendent General yang diangkat dan diberhentikan oleh NPSC dengan
persetujuan Perdana Menteri, sedangkan Markas Besar Kepolisian Prefektur
dikepalai oleh seorang Chief Respectively yang diangkat dan diberhentikan oleh
NPSC dengan persetujuan PPSC.
MPD dan PPH dibagi
ke dalam wilayah distrik yang masing-masing merupakan Yurisdiksi Police Station
(PS). Kepala Polisi PS di bawah perintah dan kendali Superintendent General MPD
dan Chief Respectievly PPH. Sebagai unit terdepan di masing-masing prefektur PS
melaksanakan tugas dan menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat. Police
Boxes (Koban) dan Residental Police Boxes (Chuzaisho) berada di bawah PS. Koban
dan Chuzaisho ditempatkan di dalam yurisdiksi PS dan berperan sebagai pusat
keselamatan masyarakat bagi penduduk setempat.
Masing-masing badan
kepolisian prefektur merupakan suatu badan yang otonom yang satu sama lain
dapat saling berhubungan. Bila kepolisian prefektur tidak mampu menangani
kasus-kasus tertentu maka dapat meminta bantuan NPA atau kepolisian prefektur
lainnya. Dalam menghadapi kejahatan terorganisir antar Polisi Prefektur dapat
melakukan kerjasama dengan cara meningkatkan patroli malam, meningkatkan
fasilitas, memperbaiki perlengkapan dan kerjasama yang erat antara Polisi dan
Masyarakat. Sebagai referensi untuk membangun system yang bersifat Integrated
system keepolisian di jepang adalah sangat cocok mengingat bahwa di jepang juga
terdapat system pemerintahan yang menyebar di daerah-daerah begitu halnya
dengan di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam daerah wilayah yang
berbeda beda baik sumber alam, sumber daya manusianya, kharakteristik local
atau kebudyaan dan konflik social yang ditimbulkan berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Awaluddin Djamin, Posisi Polri dalam Kabinet Persatuan,
Jurnal Polisi Indonesia, nomor 4 tahun 2002.
2.
Awaloedin Djamin,2009. Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem
KeTata Negaraan : Dulu,Kini dan Esok.
3.
Awaloedin Djamin, ____. Polri Pasca Amandemen UUD 1945 (antara Ideal
dan Praktek)”
4.
Lutan, Ahwil, Dkk, Perbandingan Sistem Kepolisian di
Negara-Negara Demokratis, Materi Kuliah Mahasiswa PTIK, Jakarta, 2000.
5.
Suparlan, Parsudi, “Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural”, Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi
Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002, 1987
6.
Farouk Muhammad,2003. Menuju Reformasi Polri.
7.
Zainal Muttaqin. 2010. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Banten:
Universitas Serang Raya.
8.
Koentjaraninggrat. 2009. Ilmu Antropologi. Jakarta: Renaka Cipta.
9.
Das, D. K. (Ed.). 1994. Police practices: An international review.
Scarecrow Press.
10.
Undang-undang No. 23 Tahun 1959
tentang Keadaan Bahaya.
11.
Undang-undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
12.
Undang-undang No. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia.