KAJIAN ILMU KEPOLISIAN 21

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 26 Oktober 2017

SEJARAH KEPOLISIAN INDONESIA

1.      Periode Sejarah Kepolisian Pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Kepolisian kita yang saat ini dikenal dengan Polri merupakan sistem birokrasi yang telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Kepolisian pada masa itu ditujukan untuk melayani penjajah Belanda. Tujuan kepolisian saat itu adalah sebagai pelindung, baik manusia, harta benda dan kekayaan lainnya dari ancaman pencurian, penjarahan dan hal lainnya yang merugikan pihak Belanda. Pendudukan Belanda, Polri berorientasi membela kepentingan penguasa dan elite pribumi (G. Ambar Wulan 2009 : 9). Pada masa pemerintahan Jepang, kedudukan dan fungsi tetap sama, meskipun sebagian besar anggota polisinya berasal dari penduduk pribumi. Perbedaannya hanya pada penggunaan senjata, kalau pada masa Jepang, polisi pribumi boleh menggunakan senjata api. Pemerintah Jepang di Indonesia memberikan kewenangan kepada organisasi kepolisian untuk menggunakan senjata secara resmi. sementara jaman Belanda, hanya polisi dari unsur Belanda saja yang boleh menggunakan senjata api. Kepolisian di zaman Jepang juga mempunyai departemen sendiri yaitu Keimubu (Departemen Kepolisian). Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang (sidookaan) yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi (G. Ambar Wulan, 2009: 80).

Kita ketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia lahir pada tanggal 1 Juli 1946, atau sering disebut hari Bhayangkara dikarenakan tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada awalnya lembaga Kepolisian berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri, namun karena kewenangan Kepolisian yang sangat luas ini menjadi sangat terbatas serta mendapat kendala struktural dan operasionalnya. Lembaga Kepolisian akhirnya bertanggungjawab langsung di bawah Perdana Menteri yang sederajat dengan Kejaksaan dan Kehakiman Republik Indonesia (Awaloedin Djamin, 2006: 129). Perjalanan sejarah perkembangan lembaga Kepolisian mengalami beberapa perubahan-perubahan status dan struktur organisasinya. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri Ir. Djuanda diganti dengan sebutan Menteri Pertama, maka RS Seokanto memperoleh kedudukan sebagai Menteri Muda Kepolisian RI. Kedudukan POLRI masih tetap di bawah Menteri Pertama sampai keluarnya Keputusan Presiden No. 153/1959, di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara.

Menurut Keputusan Presiden No 154/1959 tanggal 10 Juli 1959, berisi tentang Kepolisian Negara dimasukkan dalam Bidang Keamanan/Pertahanan yang dikepalai oleh Menteri Muda Kepolisian/KKN Said Soekamto Tjokrodiatmojo. Tanggal 26 Agustus 1959, menurut surat edaran Menteri Pertama (Menpama) No.1/MP/RI/1959, berisi tentang pergantian nama dari nama Kementrian diganti dengan Departemen, sehingga Djawatan Kepolisian Negara diganti menjadi Departemen Kepolisian Menteri/ KKN. Pada tahun 1960 terjadi perubahan pada status Kepolisian menjadi angkatan bersenjata menuru Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960, berisi tentang dimasukkannya Departemen Kepolisian ke dalam Bidang Keamanan Nasional, bersama dengan AD, AL dan AU. Maka dibentuklah Undang-undang Kepolisian yaitu Undang-Undang No.13 tahun 1961, yang berisi tentang Ketentuanketentuan Pokok Kepolisian Negara RI. Menurut Keppres No. 94/1962, pada tanggal 11 November 1962, Kepolisian Negara diubah menjadi AKRI dengan disertai perubahan susunan dan pola organisasinya serta dalam Keputusan Pressiden RI No. 134/ 1962 (Memet Tanumidjaja, 1971: 121–122). Selajutnya dalam keputusan Presiden No. 290/1964, yaitu pada tanggal 12 November 1964, AKRI berintegrasi penuh dengan ABRI, dan Kepalanya disebut Panglima Angkatan Kepolisian ( PANGAK ), keputusan ini tertera dalam Keputusan Presiden No. 290 tahun 1964, pasal 3 (Soeparno,1871: 380).

Nama Orde Baru digunakan untuk membedakan Pemerintahan Soeharto dengan pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan Soekarno kemudian dikenal dengan Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak tahun 1966 – 1998, dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret, yang kemudian disalahartikan sebagai surat pemindahan kekuasaan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden hal ini berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai hasil pemilu ditetapkan pada tanggal 10 Maret 1983, beliau mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional (Ghalia 1986 : 43).

Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan yaitu Pangad, Pangal, Pangau, dan Pangak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama. Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean (G. Ambar Wulan 2016 : 277-278). Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang. Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.( www.polri.go.id). Tanggal 27 Juni 1969, menurut Keputusan Presiden No. 52 tahun 1969, tentang sebutan, kedudukan organik dan tanggung jawab Kepolisian Negara sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam Departemen Pertahanan Keamanan, memutuskan, mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 290 tahun 1964, dengan kata lain sebutan AKRI ( Angkatan Kepolisian Republik Indonesia ) yang sejenis dengan AD, AL, dan AU yang masih sifat militer, diubah menjadi POLRI ( Polisi Republik Indonesia ).Hal ini juga di jelaskan di dalam KePres RI No. 52 Tahun 1969, dalam pasal 1ayat ( 1 dan 2 ), pasal 3 dan pasal 5 (Soeparno, 1871: 380). 

Pada masa pemerintahan Orde Baru ini, Presiden Soeharto melakukan perubahan dengan meletakkan lembaga-lembaga tinggi Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan mengabdi kepada kepentingan nasional yang dilandasi falsafah Pancasila. Perubahan selanjutnya yang dilakukan Presiden Soeharto, yaitu perubahan pada lembaga Kepolisian, dengan melakukan peralihan nama, kedudukan dan tanggungjawab Angkatan Kepolisian menjadi POLRI. Pada tanggal 1 Juli 1968, dalam peringatan hari Bhayangkara, Presiden Soeharto menekankan agar polisi kembali pada fungsinya sebagai lembaga Kepolisian seutuhnya. Peralihan ini terjadi berdasarkan pada ketentuan pokok Kepolisian dalam Undang-undang No. 13 tahun 1961, pasal 1 dan 2, (Koesparmono Irsan, 1995: 14). Penyebab terjadinya peralihan berikutnya adalah adanya Keputusan Presiden No. 52 tahun 1969, yang menyebutkan bahwa nama AKRI diubah menjadi POLRI, Keppres No. 79 tahun 1969, tanggal 5 Oktober 1969, merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 132/1967, merupakan penegasan lebih lanjut tentang tugas dan tanggung jawab POLRI. Keppres No.132/1967 tidak mengandung penegasan tugas pokok dan fungsi POLRI sebagai Penegak Hukum dan penanggung jawab kamtibmas (Dadi Rohaedi, 2013: 14).

Kesejahteraan anggota polisi pada masa orde baru dapat terlihat dari bagaimana pengaturan sistem pengawasan bidang keuangan Angkatan Bersenjata. Bidang keuangan yang diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 132 tahun 1967, pada Bab II, pasal 25 Tentang Keuangan HANKAM dan Kepres RI No.52 tahun 1969, dalam pasal 2. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kesejahteraan polisi sebelum dan setelah terjadi peralihan dari AKRI menjadi POLRI pada masa Orde Baru boleh dikatakan belum mencukupi bagi kehidupan keluarga mereka. Hal ini dikarenakan Lembaga Kepolisian berada didalam ABRI dan mempunyai kedudukan sebagai Angkatan keempat dan berada di bawah Angakatan Udara, jadi semua hal yang berurusan dengan POLRI, seperti keuangan, pendanaan, tugas, logistik, dan lain sebagainya harus diatur oleh ABRI terlebih dahulu sebagai lembaga pertahanan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Selain itu beban hidup yang mereka jalani berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, namun demikian gaji mereka tetap sama di seluruh kawasan wilayah Republik Indonesia. Banyaknya beban tugas POLRI dan segenap resiko yang harus dihadapi, rasanya tidak sebanding dengan gaji dan kesejahteraan lain yang diterimanya (Thomas Hutasoit,2004: 380).              Berubahnya status, tugas dan kedudukan polisi menjadi Angkatan Kepolisian yang setara dengan AD, AL dan AU, yang bertugas untuk mempertahankan Negara dari serbuan kekuatan asing. Kedudukan polisi yang demikian merupakan salah satu penyebab mengapa rakyat kurang dekat dengan polisi. Kerenggangan ini membuat polisi merasa jauh dari rakyat, begitu pula sebaliknya rakyat juga merasa jauh dari polisi. Dalam melaksanakan tugasnya, POLRI diharapkan mau untuk mengajak masyarakat agar ikut berpartisipasi. Hal ini akan membuat “ Citra Kepolisian ” baik dimata masyarakat. Setiap anggota POLRI diharapkan mampu mengembangkan yang lebih luas agar dapat menjadi panutan masyarakat, seperti anggota POLRI dapat menjadi sosiolog, psikolog, bahkan dapat menjadi seorang pemuka agama. Sehingga masyarakat akan merasa dilindungi, diayomi, dan dilayani kepentingannya sesuai dengan prosedur polisi yang berlaku. (Thomas Hutasoit, 2004: 379). 



2.      Refleksi Historis

Kita ketahui bersama bahwa kepolisian pada masa Orde Baru sangat kental dengan unsur militeristik. Pada masa pemerintahan Orde Baru Kepolisian Republik Indonesia dibenamkan dalam sebuah satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang bergerak dalam pengaruh budaya militer. Militeristik begitu mengikat karena masa lebih dari 30 tahun kepolisian dibalut dengan budaya militer tersebut. Hingga pada tahun 1998 tuntutan masyarakat begitu kuat dalam upaya membangun sebuah pemerintahan yang bersih dan mempunyai keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat.

Dahalu pada masa Orde Baru Polri lebih condong menerapkan hukum yang bersifat militan seperti yang digunakan Combatan karena bergabung dalam satu lingkup ABRI dan sering digununakan untuk kepentingan politik penguasa pada masa itu. Namun untuk sekarang setelah melalui masa orde baru Polri dituntut untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku bukan lagi menggunakan cara militeristik. Profesionalitas Polri pada saat ini dituntut untuk lebih baik untuk tidak digunakan sebagai ajang politik melainkan demi tercapainya azas keadilan negeri ini, seperti yang terjadi saat ini dalam kasus “Ahok” Polri dituntut untuk lebih professional dan independen tidak berpihak kepada penguasa melainkan tetap bekerja profesional sesuai dengan kaidah dan koridor hukum yang beraku.  Integritas Polri juga terus dituntut oleh masyarakat yang tak menghendaki ketidakjujuran, penyelewengan wewenang, ketidak berpihakan pada kepentingan umum, atau tindakan yang merugikan rakyat. Masyarakat masih prihatin terhadap wewenang dan penyalahgunaan yang menyebabkan rapuhnya dukungan publik terhadap kepolisian. Citra yang ternoda akan berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi polisi melaksanakan tugasnya secara efektif. Pentingnya persatuan dalam semangat korps Kepolisian Republik Indonesia menjadi kekuatan yang dibutuhkan bagi lembaga yang bertanggung jawab pada tertib hukum dan tertib keadaan umum. Akuntabilitas polisi menjadi ukuran dalam menjamin terselenggaranya pembaruan yang telah dirancang dalam cetak biru Reformasi Polri. (G Ambar Wulan Dosen Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana UI Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 April 2010).

Tugas dari suatu Lembaga Kepolisian adalah bagian dari pada tugas negara, perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib, ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan pengertian ketaatan dan kepatuhan. Terdapat 3 tugas utama polisi yaitu :
1) Menjaga keamanan dan ketertiban umum.
2) Menegakkan hukum.
3)Memberi pelayanan, perlindungan dan pengayoman.

Tugas-tugas Polisi sendiri diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai berikut:
1. Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1961, tentang ketentuan pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2.   Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 52 tahun 1969, dalam Pasal 4.
3.   Keppres No. 79 tahun 1969, tanggal 5 Oktober 1969, merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 132/1967, merupakan penegasan lebih lanjut tentang tugas dan tanggung jawab POLRI.

Lembaga Kepolisian pada masa Orde Baru bersama-sama dengan ABRI bertugas untuk menghadapi pemberontakan G 30 S PKI ( 1965 ). Bisa kita refleksikan pada masa sekarang bahwa Polri dalam menghadapi berbagai ancaman kemananan selalu bekerjasama dengan TNI contohnya dalam menghadapi terorisme di Poso, dan yang masih hangat yaitu bersama sama dalam melaksanakan pengamanan demo “Ahok” yang terjadi di ibukota DKI Jakarta. Hal itu tidak lepas dari kerjasama dan terdapat ikatan persaudaraan yang telah terjalin sejak dulu pada masa Orde Baru saat Polri dan TNI bersatu dalam ABRI.
     
Bergabungnya Polri dalam ABRI saat masa Orde Baru memiliki dampak positif maupun negatifnya. Dari segi Positif:
1. Kedudukan polisi di dalam ABRI setara dengan AD, AL, dan AU
2. Polisi terlibat dalam berbagai operasi keamanan bersama tentara dalam menjaga keutuhan NKRI dari berbagai gangguan, baik gangguan dari dalam maupun dari luar.
Dari segi Negatif:
1. Polisi tidak professional dan dijauhi masyarakat.
2. Pekerjaan polisi banyak yang diselesaikan secara militer.
3. Polisi sulit berkembang.
4. Ruang gerak polisi di pengaruhi oleh budaya militer.
Hal ini mengakibatkan polisi kurang berkembang tidak bisa menjadikan dirinya sebagai polisi sipil, tetapi lebih menunjukkan militeristik karena ketatnya integrasi dan secara umum polisi bukan merupakan angkatan perang. Namun kita bisa mengambil hikmah serta nilai-nilai pelajarannya bahwa seyogyanya masyarakat rindu akan kehadiran polisi ditengah-tengah masyarakat yang bersifat humanis yang bisa membawa ketentraman dan bisa melindungi, mengayomi semua lapisan masyarakat baik dari kalangan bawah sampai atas. Hal itu akan tercermin pada masa sekarang dengan Polri menerapkan kebijakan Grand Strategi Polri yaitu :
a. Periode 2005 – 2010 Terhadap Trust Building.
Masyarakat cenderung lebih mendambakan rasa aman dan rasa keadilan dari pemerintah, peningkatan service quality focus pada kebutuhan tersebut.
b. Periode 2010 – 2015 Tahap Partnership
Tingkat kepuasan terhadap rasa aman dan keadilan diharapkan semakin baik, tuntutan masyarakat akan melebar pada manajemen rasa aman dan adil yang akuntabel, transparan, open dan patuh rule of law.
c. Periode 2016 – 2025 Tahap Strive for Excellence
Tahap ini kebutuhan masyarakan akan lebih mengharapkan multi dimensional service quality yang efektif dan efisien ditengah globalisasi kejahatan yang makin canggih.

Pasca Orde Baru tumbang dimulailah masa Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 yang telah mengubah kondisi politik yang ada. Nilai demokrasi yang berkembang turut menjadi faktor yang mengubah pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah supremasi sipil. Kekuasaan sipil adalah yang utama. Supremasi sipil membuat kekuatan bersenjata sebagai penjaga hukum dan konstitusi, yang berarti mendukung, menjaga, dan mempertahankan militer sebagai institusi pertahanan negara, dan juga menjaga kondisi yang telah terbentuk dengan baik dalam negara . Tentara tunduk kepada kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Sementara kepolisian berfungsi di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat . Namun yang terjadi kemudian adalah kemunculan konflik yang terus menerus antara kelompok TNI melawan kelompok Polri sampai sekarang. banyak Argumen yang berpendapat bahwa pola hubungan TNI – Polri yang memburuk setelah pemisahan Polri dari ABRI bersifat sistemik, bukan bersifat kasuistik. Terlihat dari sebaran konflik yang hampir diseluruh wilayah Indonesia. Faktor struktur dan kepentingan TNI dan Polri memicu konflik yang terjadi. Penyelenggaraan pertahanan negara dan keamanan dalam negeri ternyata memunculkan persoalan pada tataran peran dan kewenangan antara TNI dan Polri.

Namun semuanya perlahan-lahan bisa diselesaikan baik secara kekeluargaan maupun secara hukum yang berlaku baik Polri menggunakan hukum sipil dan TNI yang mengunakan hukum peradilan militer. Hal tersebut tidak lepas dari terdapatnya saling memiliki sifat tenggangrasa dan saling berkeluarga sejak zaman Orde Baru bahwa TNI dan Polri yang bergabung menjadi satu dalam wadah ABRI, persaudaraan tua yang dulu pernah terjalin pada saat ini mulai dipupuk kembali dengan diadakannya berbagai macam kegiatan secara bersama-sama, pelaksaan tugas secara bersama-sama sehingga bisa saling bahu-membahu dan bisa melengkapi satu sama lain. Ditambah lagi dengan pemerataan kesejahteraan yang sama baik dari pihak TNI dan Polri yang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang membuat sifat korsa dan kompak dalam menjaga dan mengamankan negeri ini kian kokoh serta dalam mewujudkan Negara Indonesia yang adil dan sejahtera.
           
     




DAFTAR PUSTAKA


Ambar Wulan G. (2009). Polisi dan Politik: Intelejen Kepolisian pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949. Jakarta: Rajawali Press.

Awaloedin Djamin.(2006). Sejarah Perkembangan Kepolisian diIndonesia Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang. Jakarta: Yayasan Brata Bhakti POLRI.
Awaloedin Djamin dan G. Ambar Wulan. 2016. Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo : Bapak Kepolisiian Negara RI Peletak Dasar Kepolisian Nasional Yang Profesional dan Modern. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara. 

Dadi Rohaedi. (2013).“ Kepolisian Negara RI 1945 – Sekarang ”.Makalah, Diskusi tentang sejarah lahirnya Lembaga Kepolisian.Jakarta: Museum POLRI.
Ghalia Indonesia,1986. Ketetapan-ketetapan MPR, 1983-1988, 1978-1983. Jakarta.

Hutasoit, Thomas. (2004). Menjadi Polisi yang Dipercaya Masyarakat: Tahapan Perjalanan Reformasi Polisi. Jakarta: Mabes POLRI.
Koesparmono Irsan. (1995). “Inovasi Struktur Kelembagaan dalam Menciptakan rofesionalisme POLRI”. dalam Banurusman (Ed).Polisi, Masyarakat dan Negara. Yogyakarta: Bigraf Pubilshing.

Memet Tanumidjaja. (1971). Sejarah Perkembangan Angkatan Kepolisian. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.


Soeparno. (1871). Sejarah Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.

SISTEM KEPOLISIAN YANG SESUAI DI INDONESIA

I.         PENDAHULUAN

Sebelum penulis menguraikan system kepolisian yang cocok atau sesuai dengan Negara Republik Indonesia penulis ingin menjelaskan terlebih dahulu pentingnya kepolisian terhadap suatu Negara berdaulat. Belajar dari sejarah dunia, keberadaan suatu lembaga kepolisian di dalam sebuah negara adalah mutlak diperlukan. Semua negara di dunia ini pasti mempunyai lembaga kepolisian masing-masing. Demikian juga Indonesia, memiliki lembaga kepolisian yang bernama Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kita kenal dengan Polri. Namun lembaga kepolisian yang dimiliki oleh masing-masing negara tersebut belum tentu menggunakan sistem kepolisian yang sama. Adanya pengaruh dari faktor sistem politik/pemerintahan yang dianut serta mekanisme sistem kontrol sosial yang berlaku dalam negara tersebut yang membentuk sistem kepolisian di sebuah negara. Meskipun beberapa negara tersebut sama-sama menganut paham demokratis dalam pemerintahannya, namun belum tentu menggunakan sistem kepolisian yang sama. Kepolisian dinegara manapun selalu berada dalam sebuah dilema kepentingan kekuasaan yang selalu menjadi garda terdepan perbedaan pendapat antara kekuasaan dengan masyarakatnya. Sistem Kepolisian suatu Negara sangat dipengaruhi oleh Sistem Politik serta control sosial yang diterapkan. Berdasarkan konsep diatas dapat dikatakan bahwa secara umum negara merupakan sebuah bentuk kesatuan supra sistem yang terdiri dari berbagai sistem yang saling terkait dan bergerak dinamis didalamnya, antara lain adalah sistem pemerintahan dan sistem sosial dengan tujuan tercapainya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat.

Pemahaman tentang negara demokratis dimana dalam sistem penyelenggaraan negara terfokus pada tercapainya tujuan negara dalam rangka kesejahteraan rakyat dengan menjunjung tinggi kemerdekaan/Hak Asasi Manusia untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Sehingga dalam suatu supra sistem negara demokratis yang terdiri dari sistem-sistem fungsi penyelenggaraan negara dan selalu berorientasi pada terjaminnya keamanan dan ketertiban dalam dinamika sistem itu sendiri. Adapun sebagai pelaksana fungsi keamanan dan ketertiban dibentuk sebuah sistem didasarkan pada konstitusi yang berlaku dan harus mendapatkan dukungan dari masyarakatnya. Hampir seluruh negara di dunia melegitimasi sebuah struktur kepolisian sebagai penanggungjawab terciptanya keamanan dan ketertiban itu sendiri untuk menjalankan peran dan fungsinya sesuai dasar hukum yang telah di tentukan. Secara universal, ada tiga kategori sistem kepolisian yang dikenal secara umum sesuai dengan karakteristik fundamental dari setiap negara demokratis yang menganutnya, antara lain:

1.      Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing),
2.      Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing) dan
3.      Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing).

 Ketiga sistem tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa model besar penerapan hukum yang di gunakan di dunia, yaitu model eropa kontinental atau civil law yang di gunakan di beberapa negara eropa di antaranya negara Perancis, Belanda dan Jerman, dan model anglo saxon atau common law yang di gunakan di negara Inggris, Amerika Serikat dan Australia. Sistem Kepolisian Terpisah atau Fragmented System of Policing di terapkan oleh beberapa negara antara lain Belgia, Kanada, Belanda, Zwistzerland dan Amerika Serikat. Kemudian untuk Sistem Kepolisian Terpusat atau Centralized System of Policing di terapkan oleh negara Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark dan  Swedia. Sedangkan Sistem Kepolisian Terpadu atau Integrated System of Policing di terapkan oleh negara Jepang, Australisa, Brasilia dan Inggris.

Sistem kepolisian tersebut tentunya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Kelebihan dan kekurangan dari masing masing sistem inilah yang memberikan ciri berbeda dari sistem kepolisian tersebut, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa ”tidak ada satu pun sistem kepolisian di dunia ini yang sempurna”. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan berbagai kelebihan maupun kekurangan dari masing-masing sistem kepolisian tersebut, melalui suatu metode perbandingan antar sistem kepolisian. Hal ini guna mendapatkan pemahaman secara integral dan spesifik tentang perbedaan yang ada, antara suatu sistem kepolisian yang di terapkan pada suatu negara dengan sistem kepolisian yang di terapkan oleh negara lainnya. Tujuan yang hendak dicapai dari hasil pembandingan sistem-sistem kepolisian tersebut antara lain agar dapat diambil suatu manfaat dari suatu sistem kepolisian yang di terapkan oleh negara tertentu bagi negara lainnya. Manfaat itu antara lain berupa bentuk penataan dan pengembangan organisasi serta pengembangan potensi kerjasama yang dapat di lakukan oleh Kepolisian Indonesia dengan lembaga kepolisian dari negara lain.

Dalam tulisan ini, penulis ingin membahas secara tentang perbandingan sistem kepolisian yang di terapkan di Indonesia di bandingkan dengan yang di terapkan di negara Amerika Serikat dan Jepang yang di kenal memiliki sistem kepolisian yang baik dan dinilai dapat di jadikan pembanding yang baik untuk dapat diterapkan pada sistem kepolisian di Indonesia serta mewakili dari masing-masing bentuk sistem kepolisian yang ada, sehingga nanti penulis bias memilih system kepolisian yang mana yang cocok diterapkan di Indonesia. Negara Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menerapkan Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing), kemudian Negara Jepang merupakan salah satu negara yang menerapkan Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing), sedangkan Indonesia sendiri saat ini oleh banyak kalangan masih di anggap termasuk dalam negara yang menerapkan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing). Sistem Kepolisian yang di terapkan oleh Negara Amerika Serikat dan Negara Jepang juga di nilai memiliki nilai positif yang dapat di tiru dan di aplikasikan bagi upaya peningkatan profesionalisme lembaga kepolisian di Indonesia.

 Pemahaman Konsep Sistem, adalah suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Fokus pembentukan/penerapan sistem kepolisian di negara-negara demokratis berdasar pada, bagaimana memyeimbangkan antara pengendalian kejahatan dengan terjaminnya kebebasan dan keadilan. Di dunia terdapat 3 ( tiga ) kelompok sistem kepolisian, yaitu:

A. Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri)

           Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat. Beberapa negara yang besar dan sudah maju menerapkan sistem kepolisian ini. Salah satunya adalah Negara Amerika Serikat yang merupakan negara demokratis modern. Sistem kepolisian terpisah atau Fragmented System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpisah atau berdiri sendiri, disebut juga sebagai sistem desentralisasi yang ekstrim atau tanpa sistem. Oleh karena itu di dalam sistem tersebut cenderung terjadi kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi polisi yang otonom. Sehingga dalam penerapan paradigma sistem dimaksud senantiasa diiringi dengan dilakukannya pembatasan terhadap kewenangan polisi. Dalam penerapan sistem kepolisian dengan paradigma Fragmented System of Policing tentunya tetap memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan atau kebaikan dari sistem kepolisian ini antara lain :

1.    Polisi dalam sistem ini relatif dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Dalam sistem kepolisian yang berbasis model anglo saxon atau common law, lembaga kepolisian dalam sistem ini tumbuh dari dalam masyarakat sendiri karena diawali oleh adanya kepentingan masyarakat akan suatu lembaga kepolisian. Sehingga dengan dasar itu polisi akan otomatis berusaha untuk dapat lebih peka terhadap berbagai situasi dan kondisi yang terjadi di dalam masyarakat, mengingat mereka di bentuk oleh rakyat dan untuk melayani kepentingan masyarakat yang membentuknya.

2.    Polisi dalam sistem ini memiliki hak otonom, yaitu dalam hal melakukan pengaturan terhadap segala kegiatannya, baik dalam bidang administrasi maupun operasional sesuai dengan struktur masyarakatnya. Antara lembaga kepolisian yang satu dengan yang lainnya tidak terikat dalam suatu kesatuan struktur organisasional atau kelembagaan yang terpusat secara National. Hal ini mebuat masing-masing lembaga kepolisian memiliki aturan kerja masing-masing. Dengan bentuk lembaga kepolisian dengan Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing), mereka memiliki otonomi yang besar dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan maupun tindakan kepolisian dengan senantiasa tetap menyesuaikan terhadap struktur masyarakat setempat, dan pertanggungjawabannya pun kepada masyarakat setempat itu sendiri.

3.    Kemudian juga, kecil kemungkinannya untuk terjadi penyalahgunaan kewenangan dari organisasi polisi yang ada oleh penguasa secara nasional karena sifat pengawasannya yang secara lokal/setempat. Dalam sistem kepolisian ini, pengawasan secara penuh di lakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat daerah setempat. Mereka melakukan pengawasan terhadap kinerja yang di lakukan oleh lembaga kepolisian di daerah tersebut. Keberadaannya di dalam satu daerah yang secara struktural menjadi bagian dari pemerintah daerah, maka akan ada kedekatan secara struktural dalam hal sistem pengawasan yang di lakukan karena bersifat lokal kedaerahan. Hal ini tentunya dapat menjadi pengaruh yang kuat sebagai salah satu bentuk kontrol sosial yang di lakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakatnya terhadap terselenggaranya kinerja lembaga kepolisian tersebut, yang pada akhirnya dapat mewujudkan suatu bentuk pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yaitu ”Partisipasi, Penegakan Hukum, Transparansi, Kesetaraan, Daya Tanggap, Wawasan ke Depan, Akuntabilitas, Pengawasan, Efisiensi dan Efektifitas, Profesionalisme”.

4.   Birokrasinya bersifat praktis, yang artinya tidak terlalu panjang dan bertele-tele, namun dapat lebih cepat, terutama dalam hal pengusulan anggaran yang akan di pergunakan untuk membiayai kegiatan operasional kepolisian, karena langsung diajukan kepada pemerintah daerah setempat. Dalam sistem ini, segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga kepolisian di tanggung oleh anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah setempat, sehingga lembaga kepolisian hanya melalui satu tahap saja dalam melakukan akses pengajuan birokrasi dan penetapan kebijakan publik terhadap pemerintah daerah setempat. Termasuk dalam hal ini adalah pengajuan dukungan anggaran kepolisian dan perlengkapannya. Hal ini berbeda dengan sistem yang di terapkan di Indonesia yaitu Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), dimana terdapat rangkaian birokrasi yang cenderung panjang dan rumit sehingga di rasa tidak cukup efektif dalam hal penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang akan di lakukan oleh lembaga kepolisian

Sementara itu, di samping kelebihan atau kebaikan yang di miliki, ada juga beberapa kelemahan yang dimiliki dalam Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) yang di antaranya adalah :

1.    Dalam sistem kepolisian ini, pelaksanaan kegiatan penegakan hukum dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri, dan juga kewenangan dari lembaga kepolisian tersebut terbatas hanya pada lingkup daerah dimana lembaga kepolisian tersebut berada. Sehingga dalam pelaksanaannya di mungkinkan akan terjadi hambatan atau dapat menimbulkan dampak kesulitan tersendiri bagi lembaga kepolisian ketika harus menangani kasus-kasus kejahatan yang melibatkan wilayah hukum yang luas di luar dari wilayah hukum lokal yang menjadi kewenangan dari lembaga kepolisian tersebut. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar hukum bagi lembaga kepolisian di suatu daerah tertentu tersebut hanya akan memberikan kewenangan kepolisian, termasuk dalam hal penegakan hukum, bagi lembaga kepolisian tersebut hanya meliputi daerah lokal saja dimana lembaga kepolisian tersebut berada. Pembuatan peraturan perundang-undangan bagi setiap lembaga kepolisian merupakan kewenangan dari setiap pemerintah daerah dimana suatu lembaga kepolisian berada.

2.  Tidak adanya suatu standar profesionalisme di bidang kepolisian akibat dari terjadinya fragmentasi sistem kepolisian di masing-masing daerah. Hal ini disebabkan karena setiap lembaga kepolisian diatur oleh setiap peraturan perundang-undangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan terjadi kesulitan manakala akan dilakukan standarisasi terkait dengan profesionalisme di bidang kepolisian, mengingat banyaknya peraturan perundang-undangan tersebut sehingga akan cukup menyulitkan jika harus dilakukan suatu standarisasi, kecuali dengan jalan merubah semua peraturan perundang-undangan yang sudah ada lebih dulu yang di dalamnya dilakukan suatu revisi yang memungkinkan untuk dilakukannya suatu standarisasi profesionalisme dimaksud. Pelaksanaan pengawasan yang bersifat lokal kedaerahan menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya mekanisme kontrol dengan baik, karena bentuk dari pengawasan hanya terjadi dalam satu level organisasi daerah, dan tidak terdapat sistem kontrol pengawasan lagi diatasnya dengan wewenang yang lebih tinggi. Bentuk pelaksanaan pengawasan yang bersifat lokal memang memiliki dampak yang positif, dalam mewujudkan keefektifan birokrasi. Namun di sisi lain, bentuk pengawasan ini  memiliki dampak yang negatif, terutama dikarenakan tidak adanya mekanisme kontrol secara berlapis atau berjenjang. Sehingga jika sistem pengawasan yang ada ternyata bekerja tidak optimal dalam menjalankan fungsinya, maka tidak akan ada lagi koreksi/kontrol dari lapis pengawasan lainnya / di atasnya. Hal ini rawan karena dapat mengakibatkan antara lain terjadinya suatu penyimpangan yang di lakukan oleh pengawasan itu sendiri dan lolosnya kesalahan yang di buat dari pengawasan,yang di lakukan pengawas yang terbatas, sehingga kemungkinan besar selamanya penyimpangan tersebut tidak akan diketahui oleh publik.

Sistem kepolisian dengan paradigma tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain yaitu :

1.    Kewenangan yang dimiliki lembaga kepolisian dalam sistem ini bersifat terbatas, yaitu hanya sebatas pada lingkup daerah di mana suatu badan kepolisian itu berada. Hal ini dikarenakan secara umum, lembaga kepolisian di negara yang menerapkan sistem kepolisian ini berupa negara-negara bagian yang memiliki otonomi penuh atas wilayahnya masing-masing. Selain itu, lembaga kepolisiannya memang dibentuk oleh pemerintah daerah setempat dan diatur dengan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat itu sendiri. Sehingga tugas pokok dan wewenang lembaga kepolisiannya pun hanya menjangkau daerah tersebut. Hal itu juga mempengaruhi bentuk atribut, seragam, serta nama yang di gunakan oleh lembaga kepolisian yang ada menjadi berbeda-beda, karena tergantung dari kebijakan dari pemerintah daerah setempat.

2.    Dalam sistem ini pelaksanaan pengawasan terhadap lembaga kepolisian sifatnya lokal, yang artinya bahwa pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan tugas-tugas serta wewenang kepolisian dilakukan oleh tiap-tiap struktur lokal yang ditentukan dalam suatu lembaga kepolisian. Termasuk dalam hal ini pengawasan terutama dilakukan secara melekat oleh publik atau masyarakat daerah setempat dimana suatu lembaga kepolisian tersebut berada. Pemerintah pusat tidak mempunyai kewenangan untuk turut campur dalam permasalahan yang mencakup atau masih dalam taraf kewenangan dari daerah itu sendiri. Dalam hal ini ada kecenderung karena dipengaruhi oleh basic model penerapan hukum yang dianut di negara tersebut, yang kebanyakan adalah model anglo saxon atau common law. Dimana dalam sistem kepolisian ini, lembaga kepolisian tumbuh atau di bangun dari adanya kepentingan dalam masyarakat sendiri sehingga representasi polisi dalam model tersebut dapat dikatakan sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri atau dapat di katakan juga bahwa polisi adalah sebagai milik masyarakat. Dapat dikatakan seperti itu karena munculnya lembaga kepolisian pada awalnya bukan dikarenakan oleh adanya kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat.

3.    Dalam sistem kepolisian ini, pelaksanaan penegakan hukum dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri. Yang dimaksud dalam hal ini yaitu bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum dalam sistem kepolisian tersebut, suatu lembaga kepolisian pada daerah tertentu tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah yang lain. Hal ini disebabkan karena setiap lembaga kepolisian di negara yang menerapkan sistem kepolisian ini diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yang ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah setempat, termasuk dalam hal teknis pelaksanaan penegakan hukumnya. Hal ini berbeda dengan bentuk sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), yaitu dimana pelaksanaan penegakan hukum dilaksanakan secara nasional, tidak secara terpisah atau berdiri sendiri.

B.  Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat)

   Berada langsung dibawah kendali pemerintah. Sistem ini dahulunya dianut oleh sistem pemerintahan yang totaliter seperti Jerman pada era Nazi. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian ini antara lain Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark dan Swedia. Sistem kepolisian ini memiliki beberapa kekurangan atau kelemahan, antara lain :

1.    Cenderung dijauhi / kurang didukung masyarakat karena cenderung lebih memihak kepada penguasa. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian dalam negara dengan sistem kepolisian terpusat muncul dari adanya kepentingan negara tersebut akan perlunya suatu lembaga kepolisian sehingga terjadi kecenderungan dimana lembaga kepolisian akan menjadi alat kekuasaan daripada menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Berbeda halnya dengan negara dengan sistem kepolisian terpisah dimana lembaga kepolisian muncul dari adanya kepentingan masyarakat sehingga lembaga kepolisian yang demikian akan lebih peka terhadap situasi dan kondisi di dalam masyarakat yang pada akhirnya tugas pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat akan dapat terlaksana secara optimal tercapai ketentraman di dalam masyarakat.

2.    Birokrasinya juga terlalu panjang, mulai dari level paling bawah hingga paling atas terletak dalam satu rangkaian sistem birokrasi. Hal ini memang masalah yang selalu melekat pada setiap organisasi dengan rantai birokrasi yang terlalu panjang karena banyaknya lapis birokrasi yang harus di lewati untuk mengajukan suatu kebijakan. Hal ini menimbulkan ketidakefektifan maupun ketidakefisienan kinerja lembaga kepolisian tersebut.

3.    Kurang dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, karena panjang dan gemuknya rentang struktural dalam sistem kepolisian tersebut. Hal ini cenderung dikarenakan oleh karakteristik penyelenggaraan kebijakan-kebijakanpublik di bidang kepolisian bersifat top down, tidak bootom up, sehingga seringkali tidak tepat dan sulit menyesuaikan dengan masyarakat lokal dimana lembaga kepolisian lokal berada.

4.  Terdapat kerentanan yang tinggi terhadap munculnya intervensi penguasa serta penyalahgunaan organisasi maupun wewenang kepolisian untuk kepentingan penguasa. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat selalu memiliki ketergantungan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa dengan kekuatan politik pendukungnya sehingga intervensi terhadap lembaga kepolisian dapat dengan mudah terjadi oleh penguasa ketika lembaga kepolisian tersebut tidak lagi mengindahkan posisi dan perannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, melainkan justru menjadi alat kekuasaan karena adanya kepentingan tertentu.

Sedangkan beberapa kelebihan atau kebaikan dari sistem kepolisian terpusat (Centralized System of Policing) tersebut, antara lain yaitu :

1.    Mudahnya sistem komando dan pengendalian karena dapat dilaksanakan secara terpusat. Hal ini dikarenakan dalam struktur lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat terdapat wewenang yang dimiliki oleh struktur teratas untuk melakukan pengendalian maupun komando tertentu terhadap seluruh kesatuan di bawahnya. Pusat memiliki wewenang untuk memberikan komando maupun melaksanakan pengawasan terhadap setiap lapis struktur kesatuan di bawahnya Namun demikian, kelebihan tersebut juga dapat dipandang sebagai kelemahan mengingat akan terjadi suatu sistem komando dan pengendalian yang tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas dari lembaga kepolisian tersebut.

2.    Wilayah kewenangan hukumnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi, karena kewenangan tersebut bersifat nasional, sehingga tidak terdapat hambatan terkait dengan hal-hal yurisdiksional terutama terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum.

3.    Terdapat standarisasi profesionalisme, efisiensi dan efektivitas baik dalam bidang administrasi maupun operasional. Hal ini sangat dimungkinkan dilaksanakan dalam suatu lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat mengingat seluruh lembaga kepolisian berada dalam satu wadah lembaga kepolisian nasional yang diatur berdasarkan satu peraturan perundang-undangan.

4.    Ruang lingkup pengawasan dalam sistem ini sifatnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi karena pengawasan tidak hanya pada tataran lokal tapi secara berjenjang sampai dengan level nasional.

C.  Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu),

 Disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan.. Dalam sistem kepolisian bentuk ini terdapat sistem kontrol / pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan agar dapat dihindari berbagai tindak penyalahgunaan organisasi polisi nasional serta guna mencapai efektivitas, efisiensi dan keseragaman dalam hal pelaksanaan pelayanan yang harus di berikan kepada publik atau masyarakat. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris dan Indonesia. Sesuai dengan bentuk typenya yang terpadu, maka kelebihan maupun kelemahan yang terdapat dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) dapat berasal dari kelebihan atau kelemahan Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) ataupun dari Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing). Dalam sistem kepolisian dengan paradigma Integrated System of Policing tersebut juga tentunya mempunyai kelebihan atau kebaikan maupun kekurangan atau kelemahan. Beberapa kelebihan atau kebaikan dari sistem kepolisian ini, antara lain :

1.    Birokrasinya relatif lebih efektif atau tidak terlalu panjang, karena di dalam sistem kepolisian ini, pemerintah pusat turut serta dalam hal tanggung jawab terhadap kepolisian yang ada, di samping pemerintah daerah yang lebih intens bertanggung jawab terhadap operasional lembaga kepolisian di daerahnya masing-masing. Hal ini merupakan perpaduan antara Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) dengan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), yaitu dimana suatu lembaga kepolisian di suatu daerah tertentu, selain di dukung oleh pemerintah daerah setempat terkait dengan penyelenggaraan kegiatan operasional kepolisian, termasuk dalam hal dukungan anggarannya, pemerintah pusat juga turut bertanggung jawab dalam mendukung pelaksanaan tugas lembaga kepolisian yang ada, terutama untuk kegiatan-kegiatan kepolisian tertentu. Sehingga dalam hal ini sistem birokrasinya di rasakan lebih efektif dan efisien.

2.    Terdapat kecenderungan atau adanya standarisasi dalam hal profesionalisme kepolisian serta tercapainya efektivitas maupun efisiensi dalam bidang administrasi maupun operasional dari lembaga kepolisian yang ada. Hal ini dimungkinkan dapat terwujud dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) dikarenakan setiap lembaga kepolisian yang ada di setiap daerah meskipun memiliki sifat otonom, namun tetap berada dalam satu struktur lembaga kepolisian nasional. Lembaga kepolisian nasional tetap membawahi lembaga kepolisian daerah meskipun lembaga kepolisian daerah dalam pelaksanaan tugas operasionalnya lebih intens dengan pemerintah daerah masing-masing. Dengan begitu, standarisasi profesionalisme kepolisian tetap dapat ditentukan karena adanya satu peraturan perundang-undangan yang sama yang mengatur lembaga kepolisian secara nasional.

3.     Sistem pengawasannya dapat dilakukan secara nasional, mengingat terdapat keterlibatan pemerintah pusat di dalam sistem kepolisian dengan paradigma tersebut. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepolisian yang terpadu, pemisahan hanya terjadi dalam hal-hal yang terkait dengan fungsionalisasi operasional kepolisian, namun secara struktural tetap berada dalam satu wadah lembaga kepolisian nasional, sehingga memungkinkan terjadinya pengawasan oleh pemerintah pusat disamping oleh pemerintah daerah setempat.

4.    Koordinasi tiap-tiap wilayah mudah dilakukan karena adanya komando yang lebih tinggi di atas komando lokal. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian yang berada di daerah-daerah masih berada di bawah satu komando lembaga kepolisian nasional yang berada di pusat, sehingga secara berjenjang terdapat sistem komando yang berlapis dari struktur terbawah hingga teratas.

  Namun di sisi lain terdapat pula beberapa kelemahan atau kekurangan dari sistem kepolisian terpadu (Integrated System of Policing) tersebut, antara lain :

1.    Pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan tetap secara terpisah atau berdiri sendiri artinya bahwa antara lambaga kepolisian daerah tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah lain dalam menegakkan hukum. Hal ini dikarenakan pelaksanaan penegakan hukum telah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa lembaga kepolisian lokal di suatu daerah hanya dapat menangani kasus-kasus kejahatan dan melakukan penegakan hukum yang terjadi di daerahnya saja. Sedangkan jika terjadi suatu kasus kajahatan yang melibatkan lebih dari satu daerah atau mempunyai implikasi terkait kepentingan yang lebih luas, maka penanganannya dapat dilaksanakan oleh lembaga kepolisian di atasnya. Jadi disamping hal ini merupakan suatu kelemahan, namun juga terdapat kelebihan karena adanya pembagian wewenang yang sedikit samar di antara setiap jenjang struktur lembaga kepolisian yang ada.

2.    Kewenangan kepolisian yang dimiliki juga bersifat terbatas hanya sebatas daerah di mana polisi tersebut berada atau bertugas. Hal ini tentunya akan menjadi suatu  hambatan dalam penanganan suatu kasus kejahatan manakala terjadi kasus kejahatan yang melibatkan lebih dari satu yurisdikasi kepolisian lokal. Sehingga penanganan kasus tersebut dikhawatirkan tidak dapat dilakukan secara cepat.

Pada dasarnya, masyarakat Indonesia sebagai suatu kesatuan telah lahir jauh sebelum lahirnya (secara formal) masyarakat Indonesia. Peristiwa sumpah pemuda antara lain merupakan bukti yang jelas. Peristiwa ini merupakan suatu konsensus nasional yang mampu membuat masyarakat Indonesia terintegrasi di atas gagasan Bineka Tunggal Ika. Konsensus adalah persetujuan atau kesepakatan yang bersifat umum tentang nilai-nilai, aturan, dan norma dalam menentukan sejumlah tujuan dan upaya mencapai peranan yang harus dilakukan serta imbalan tertentu dalam suatu sistem sosial.Model konsensus atau model integrasi yang menekankan akan unsur norma dan legitimasi memiliki landasan tentang masyarakat, yaitu sbb:

1.                  Setiap masyarakat memiliki suatu struktur yang abadi dan mapan
2.                  Setiap unsur masyarakat memiliki fungsinya masing-masing dalam kelangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu sistem keseluruhan
3.                  Unsur dalam masyarakat itu terintegrasi dan seimbang
4.                  Kelanjutan masyarakat itu berasaskan pada kerja sama dan mufakat akan nilai-nilai.

Indonesia merupakan masyarakat multikultural. Hal ini terbukti di Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang masing-masing mempunyai struktur budaya yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat dilihat dari bahasa, adat istiadat, religi, tipe kesenian, dan lain-lain. Pada dasarnya suatu masyarakat dikatakan multicultural jika dalam masyarakat tersebut memiliki keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud antara lain, keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang berbeda-beda, keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit, rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam masyarakat.

Berbicara masyarakat multikultural adalah membicarakan tentang masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam kesederajatan (C.W. Watson : 1998, dalam Pasurdi Suparlan : 2002 ). Pada hakikatnya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antarindividu di masyarakat bersifat toleransi dan harus menerima keberadaan untuk hidup berdampingan secara damai (peace to existence) satu sama lain dengan perbedaan yang melekat pada tiap etnisitas sosial dan politiknya. Oleh karena itu, dalam sebuah masyarakat multikultural sangat mungkin terjadi konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut. Sebagai contoh, pertikaian yang melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama terjadi di berbagai daerah yang terdapat di Indonesia.

Konflik terjadi karena adanya perbedaan yang dapat kita lihat dari masyarakat multikultural termasuk di Indonesia. Hal ini sering kita lihat adanya konflik baik di daerah maupun di perkotaan. Masyarakat indonesia dapat dikatan sebagai masyarakat mutikultural yang belum sempurna, hal ini dapat kita lihat dari beberapa hal yaitu :

a.      Masih terdapat dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya.
b.      Struktur sosial yang ada lebih banyak menguntungkan pihak yang mendominasi.
c.      Konflik sosial yang muncul masih sering berlanjut dengan kekerasan.
d.      Terjadi segmentasi ke dalam kelompok sub budaya yang saling berbeda.
e.    Memiliki struktur yang terbagi ke dalam lembaga non komplementer Kurang mengembangkan konsensus di antara anggota terhadap nilai yang bersifat dasar Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling tergantung secara ekonomi Adanya dominasi politik suatu kelompok atas kelompok lain.
f.    Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam Lembaga-lembaga yang  besifat nonkomplemeter (Tidak saling melengkapi).

Sistem sosial budaya Indonesia ialah merupakan sebagai totalitas nilai, tata sosial, dan tata laku manusia Indonesia harus mampu mewujudkan pandangan hidup dan falsafah negara Pancasila ke dalam segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas yang melandasi pola pikir, pola tindak, fungsi, struktur, dan proses sistem sosial budaya Indonesia yang diimplementasikan haruslah merupakan perwujudan nilai- nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, transformasi serta pembinaan sistem social budaya harus tetap berkepribadian Indonesia. (Muttaqin, Zainal : 2010).

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, yang hidup tersebar diseluruh tanah air, yang memiliki berbagai macam ragam budaya. Sehingga menimbulkan keanekaragaman institusi dalam masyarakat. Institusi adalah suatu konsep sosiologi yang paling luas digunakan, walau memiliki pengertian yang berlainan:

a)                  Digunakan untuk merujuk suatu badan, seperti universitas dan perkumpulan
b)                  Organisasi yang khusus atau disebut pula institusi total, seperti penjara atau rumah sakit
c)                  Suatu pola tingkah laku yang telah menjadi biasa atau suatu pola relasi sosial yang memiliki tujuan sosial tertentu

Bronislaw menganggap institusi sosial merupakan konsep utama untuk memahami masyarakat, yang setiap institusi saling berkaitan dan masing-masing memiliki fungsinya. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa institusi itu mengenai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaan yang terdiri atas tiga wujud, yaitu:

a)                  Wujud idiil
b)                  Wujud kelakuan
c)                  Wujud fisik dari kebudayaan

Koentjaraningrat mengatakan, bahwa seluruh total dari kelakuan manusia yang berpola tertentu bisa diperinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam bermasyarakat. Maka pola pikir, pola tindak dan fungsi sistem sosial budaya Indonesia merupakan institusi sosial, yaitu suatu sistem yang menunjukkan bahwa peranan sosial dan norma-norma saling berkait, yang telah disusun guna memuaskan suatu kehendak atau fungsi sosial. Komponen-komponen dari pranata social adalah Sistem Norma, Manusia, dan Peralatan fisik.




II.                  PEMBAHASAN

Dari uraian tersebut di atas, maka ada beberapa pendapat dan pemikiran penulis untuk menentukan kedudukan kepolisian Indonesia berada dalam kelompok mana yang sesuai dengan kharakteristik Negara Indonesia sendiri dan idealnya kepolisian di Indonesia itu bagaimana. Oleh karena itu memerlukan kajian yang spesifik dan integrated. Kedudukan sistem Kepolisian Indonesia saat ini dapat dikategorikan sebagai Integrated System of Policing dimana Indonesia telah menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional sebagai intstitusi namun juga berkapasitas fragmented (kedaerahan). Mempelajari sistem kepolisian di sebuah Negara tidak lepas dari sejarah Negara yang bersangkutan, sejarah kepolisiannya, UUD dan sistem ketatanegaraan, hukum yang mengatur kepolisian dan hukum yang menetapkan tupoksi serta keadaan lingkungannya. Menurut Dillip K. Das dalam buku “Police Practices: An International Review” (1994), kepolisian di suatu negara adalah unik, karena sistem administrasi kepolisian tidak berdiri sendiri, namun terkait erat dengan sistem administrasi negara, sistem peradilan pidana dan sistem pertahanan negara. Di Indonesia, dalam konteks sistem administrasi negara, Polri langsung berada di bawah presiden (setelah pisah dari TNI), dalam sistem peradilan diatur dalam KUHAP dan hubungan dengan TNI dan sistem pertahanan diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Negara Republik Indonesia sendiri merupakan suatu negara nusantara yang terdiri dari berbagai pulau dari sabang sampai merauke, dan masing-masing daerah mempunyai sifat ke daerahan antara daerah yang satu dan yang lainnya berbeda baik suku,ras dan agama. Kultur social, kebudayaan dan masalah maslah social yang dihadapi masing masing daerah di Indonesia pun beragam dan berbeda-beda. Negara Indonesia merupakan suatu negara yang sangat kompleks akan keanekaragaman masyarakatnya yang berbeda sifat dan perilaku sosialnya baik itu di daerah yang terpencil maupun di Kota-kota. Sehingga dibutuhkan system kepolisian yang mengerti tentang sifat masing – masing daerah yang berada di Indonesia, tidak bisa disamaratakan system kepolisian di kota dengan yang di pelosok atau di daerah yang bukan perkotaan.
           
            Sistem kepolisian di dunia yang saya ketahui ada tiga, yang pertama adalah Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented Sistem of Policing), Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized  Sistem of Policing)dan Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated Sistem of Policing). Setiap Negara mempunyai sistem kepolisian yang berbeda-beda, walaupun sebenarnya sistem kepolisian tidak harus sesuai dengan yang tiga di atas. Jika memang ada sistem yang lebih baik dari tiga itu, mengapa tidak. Namun lagi-lagi tetap tiga sistem di atas dipakai oleh banyak Negara. Antara lain Negara Belanda, Belgia, Amerika Serikat, Kanada dan Swiss memakai sistem yang pertama yaitu Sistem Kepolisian Terpisah. Beda lagi dengan Negara Australia, Jepang, dan Inggris, mereka memakai sistem yang moderat yaitu Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated Sistem of Policing). Sedangkan Indonesia saat ini kepolisian kita lebih memilih Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized  Sistem of Policing).

Saya lebih memilih Sistem Kepolisan Terpadu karena Sistem ini menurut saya sangat ideal untuk diterapkan oleh Kepolisian Indonesia. Tapi sebelum saya menjelaskan mengapa saya memilih sistem terpadu, saya akan sedikit menjelaskan tentang dua sistem yang lain. Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented Sistem of Policing) adalah sistem kepolisian yang terpisahatau berdiri sendiri, disebut juga sebagai sistem desentralisasi yang ekstrim atau tanpa sistem.Sistem ini akan memungkinkan peraturan, anggaran, dan cara kerja di atur langsung oleh daerah itu. Dan setiap daerah mempunyai aturan yang berbeda, namun aturan-aturan yang dibuat melibatkan langsung masyarakat daerah itu. Sehingga masyarakat bisa menentukan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Misalkan Di Jawa Tengah ada beberapa Kabupaten, aturan yang dibuat antara kabupaten yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Kelebihan dari sistem ini adalah pekerjaan kepolisian sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Misal Masyarakat Purworejo meminta agar ada 5 mobil polisi yang patrola 24 jam di lingkungan masyarakat, maka kepolisian harus memenuhinya. Kelemahan dari sistem ini adalah lebih kepada wewenang, jadi wewenang kepolisian di kabupaten Purworejo hanya berwenang di Purworejo, tidak boleh beroperasi di Kabupaten lain, belum lagi di daerah-daerah lain di luar puau jawa.

Adalagi Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized  Sistem of Policing) seperti yang ada di Negara kita Indonesia. Sistem ini terpusat dari atas langsung dan mencakup semua wilayah, secara komando lebih mudah, tapi kontroling kerja-kerja polisi dilapangan sulit di lakukan. Selain itu polisi yang memakai sistem ini kerja-kerjanya terbilang lamban dalam melayani masyarakat. Misal hari ini ada yang kehilangan motor atau mobil, biasa yang kita lakukan adalah melapor dulu ke kantor kepolisian, bahkan kita harus menunggu beberapa jam untuk mlapor saja. Belum lagi disuruh bayar. Setelah laporan polisi bukannya langsung bertindak, malah kesanya leyeh-leyeh dengan alasan sedang menyelidiki dan alasan-alasan lainnya. Dan lebih repotnya lagi sudah menunggu berbulan-bulan tetap saja polisi kesannya tidak melakukan apa-apa. Tentu ini membuat masyarakat Indonesia Geram dan sudah hilang kepercayaan dengan kepolisian. Kalau barang hilang ya sudah, mau apalagi. Ini terjadi karena kebanyakan kepolisian kita menunggu perintah dari atas untuk bertindak, dan kesannya polisi kita lebih suka nongkrong-nongkrong di kantor polisi dari pada berpatroli, padahal kalau berpatroli kan kalau ada apa-apa bisa cepat ditangani. Tapi sangat sedikit sekali polisi kita yang berpatroli, apalagi 24 jam. Padahal mereka bisa memakai sistem sift-siftan. Sistem Kepolisian Terpusat ini menurut saya sangat tidak cocok diterapkan di Indonesia yang mempunyai daerah yang sangat luas. Jika ada yang mengatakan tingkat kenerja polisi semakin bagus karena berhasil membunuh teroris, maka menurut saya itu hanya nol koma sekian persen kebutuhan masyarakat yang terlayani. Buktinya coba lihat, ada yang kehilangan laptop, HP, motor, mobil, walau sudah dilaporkan polisi tetap adem ayem. Beberapa kali saya menemai teman yang kehilangan, kesannya sungguh sangat mengecewakan, bukan langsung bertindak, malah lama ngurus laporannya. Sedang pencurinya sudah pergi entah kemana.

Lalu bagaimana dengan sistem Kepolisian Terpadu, Menurut saya ini dia solusi untuk system Kepolisian Indonesia yang sesuai dengan kharakteristik Indonesia sendiri. Sistem Kepolisian Terpadu(Integrated Sistem of Policing) artinnya bahwa dalam sistem kepolisian yangdemikian terdapat sistem kontrol /pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan agar dapat dihindari berbagai penyalahgunaanorganisasi polisi nasional serta guna mencapai efektivitas, efisiensi dankeseragaman dalam hal pelaksanaan pelayanan kepada publik. Jadi sistem ini adalah perbaduan antara Sistem Kepolisian Terpisah(Fragmented Sistem of Policing) dan Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated Sistem of Policing). Walau ada kelemahan pada kewenangan operasi, namun hal itu bisa disiasati dengan membuat badan yang bisa menjangkau semua daerah. Kalau di Amerika ada namanya FBI dan di Jepang ada namanya NPA (National Police Agency). Maka di Indonesia bisa dibuat Badan Nasional yang bisa manjangkau semua daerah misal PNI (Polisi Nasional Indonesia) ataupun tetap menakai istilah Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia), dan atau IIC (Intelegent of Indonesia Country) untuk pusat Intelijennya. Jadi tetap polisi didaerah diberikan otonomi khusus untuk ngurus daerahnya masing-masing, namun tetap ada control dari pusat. Saya sangat merindukan ada mobil polisi yang patrol 24 jam, sehingga kalau keluar malam dan ada kegiatan apapun akan lebih aman. Dan kalau ada perampokkan, pencurian akan cepat diketahui oleh polisi yang patroli di bantu warga yang sedang jaga pos kamling.

Sebagai kiblat atau contoh dalam menerapkan system kepolisian di Indonesia dengan system Integrated System yaitu adalah Negara di Jepang system kepolisiannya menggunakan paradigma Integrated System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpadu atau sering disebut juga sistem desentralisasi moderat atau sistem kombinasi (Terri, 1984) atau sistem kompromi (Stead, 1977), artinnya bahwa dalam sistem kepolisian yang demikian terdapat sistem kontrol /pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan agar dapat dihindari berbagai penyalahgunaan organisasi polisi nasional serta guna mencapai efektivitas, efisiensi dan keseragaman dalam hal pelaksanaan pelayanan kepada publik. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian tersebut selain Jepang, antara lain : Inggris, Australia dan Brasilia (Bayley, 1985). Oleh karena itu, terkait dengan kelebihan maupun kelemahan yang terdapat dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) dapat berasal baik dari Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) dan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing) seperti yang dipakai oleh system Kepolisian Indonesia saat ini. Polisi Jepang banyak menggunakan teknologi komunikasi baik kabel, radio dan satelit untuk komando dan kendali saling tukar informasi. Teknologi maju juga diterapkan dalam mengidentifikasi penjahat seperti : sidik jari, analisa modus operandi dan identifikasi sasaran. Kepolisian Jepang disusun dengan struktur organisasi yang terdiri dari NPA (sebagai badan koordinasi dan pembuat kebijaksanaan kepolisian) dan Badan Kepolisian Prefektur (sebagai kesatuan penegak hukum) yang hampir sama juga fungsi dan peranannya dengan Bareskrim Polri yang terdapat di kepolisian Indonesia. Sistem kepolisian Jepang utamanya mengedepankan Kepolisian Prefektur. Untuk menjamin netralitas politik dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi maka dibentuk Komisi Keselamatan Publik pada tingkat nasional dan prefektur hamper sama dengan Kompolnas (komisi kepolisian nasional) yang terdapat di indonesia.

Di Jepang terdapat sistem ”koban”. Koban didasari pada prinsip bahwa keselamatan seluruh bangsa didasarkan pada keselamatan dan ketenteraman masing-masing warga. Sistem ini terdiri dari dari ”Police Boxes/koban kota” di mana petugas polisi warga masyarakat bekerja dalam perondaan shift dan ”Police Boxes (Chuzoisho)/ tempat tinggal” jika di Indonesia bias di aplikasikan melalui Babinkamtibmas yang terdapat di setiap desa di Indonesia. Di Jepang terdapat kira-kira 15.000 Koban dan Chuzoisho di seluruh negeri. Sistem ini berperan besar dalam pemeliharaan keselamatan publik karena petugas polisi terbiasa hadir di tengah-tengah warga yang menimbulkan kepercayaan dari warga masyarakat kepada polisi hal tersebut juga sangat penting dilakukan di Indonesia peran polmas yaitu pemolisian masyarakat sangat dibutuhkan mengingat polisi perlu hadir ditengah tengah masyarakat Indonesia sendiri. Pertangungjawaban dan tugas polisi di Jepang adalah melindungi kehidupan, orang dan harta benda individu dan melakukan pencegahan, penanggulangan, dan penyidikan kejahatan dan lainnya yang berkaitan dengan pemeliharaan keselamatan dan ketertiban masyarakat. Kegiatan kepolisian dibatasi secara ketat. Sesuai dengan undang-undang Jepang dalam melaksanakan tugas polisi harus memegang prinsip tidak berpihak, tidak berprasangka dan adil, tidak menyalahgunakan kewenangan dengan berbagai cara yang melanggar HAM dan kemerdekaan individu. Prinsip-prinsip tersebut dikuatkan dalam bentuk ”Sumpah Polisi”. Maka jika di Kepolisian Indonesia dikenal dengan istilah Tribata pedoman hidup dan Catur Prasetya sebagai pedoman kerja.

Pemerintah Nasional Jepang membentuk organisasi ”Polisi Pusat” untuk mengontrol dan melayani organisasi ”Polisi Prefektur”. Undang-Undang Kepolisian menetapkan bahwa Pemerintah Nasional akan memberdayakan masing-masing prefektur untuk melaksanakan tugas sebagai perlindungan kehidupan, orang, benda milik individu dan pemeliharaan keselamatan dan ketertiban warga masyarakat dalam yurisdiksi prefektur. Di kepolisian Indonesia juga bisa dibentuk kepolisian pusat atau memanfaatkan Mabes Polri yang sudah ada sebagai pusat kepolisian Indonesia ataupun Leading Sectornya

A. Organisasi Kepolisian Nasional/National Police Organization (NPO)

Di Jepang terdapat organisasi kepolisian yang berskala nasional yaitu National Public Safety Commission (NPSC) dan National Police Agency (NPA). NPSC (National Public Safety Commission) Merupakan suatu badan pemerintah yang bertanggung jawab di bidang supervisi administratif terhadap NPA. Meskipun NPSC ini berada di bawah Perdana Menteri namun Perdana Menteri tidak berwenang untuk memerintah atau mengendalikan langsung komisi keselamatan publik nasional ini. Komisi bersifat otonom dan menjamin netralitas Polisi. Komisi ini bertanggung jawab terhadap semua operasional dan kegiatan kepolisian berkenaan dengan keselamatan publik, latihan komunikasi, identifikasi penjahat, statistik kriminil dan peralatan serta berbagai hal yang berkaitan dengan administrasi kepolisian. Komisi hanya dapat melakukan supervisi terhadap NPA, tetapi tidak berwenang melaksanakan supervisi terhadap Polisi Prefektur karena kepolisian prefektur memiliki aturan sendiri yang diawasi oleh komisi keselamatan publik prefektur. Anggota NPSC terdiri atas 1 orang ketua yang merangkap sebagai menteri negara ditambah 5 orang anggota yang ditunjuk oleh Perdana Menteri dengan persetujuan Dewan. NPSC dalam melaksanakan tugasnya memelihara hubungan yang erat dengan PPSC (Prefectural Public Safety Commission) sebagai komisi keselamatan publik di tingkat prefektur. Sangat bagus jika diterapkan pada system kepolisian yang teerdapat di Indonesia karena sebagai pengawas yang berada di luar struktur kepolisian nasional itu sendiri.

NPA (National Police Agency) Organisasi ini di bawah supervisi dari NPSC. Kepala NPA adalah seorang Commissioner General of NPA jika di Indonesia merupakan jabatan Kapolri atau Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Commissioner General of NPA yang ditunjuk dan diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan Perdana Menteri. Commissioner General (CG) bertanggung jawab terhadap subjek supervisi NPSC, mengendalikan urusan-urusan NPA, menunjuk dan memberhentikan personel bawahannya, mengontrol dan mengawasi kinerja urusan masing-masing Biro Lokal maupun Tingkat Pusat. NPA bertanggung jawab terhadap perencanaan perundang undangan kepolisian, standart kegiatan Polisi dan sistem kepolisian. NPA melakukan koordinasi kegiatan serta memberikan dukungan kepada Polisi Prefektur baik hardware maupun softwarenya.

Organisasi NPA di tingkat regional adalah ”Regional Police Bureau” (RPB) jika di Indonesia bisa di sebut Polda (Kepolisian Daerah). RPB ini berada di bawah NPA yang bertugas melaksanakan fungsi kepolisian di masing-masing regio. Ditempatkan di kota-kota besar kecuali Tokyo dan Hokkaido. Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo mempunyai fungsi khusus dikarenakan karakteristik wilahnya. Demikian juga di Hokaido di mana Markas Besar Kepolisian Prefektur Hokkaido mempunyai yurisdiksi seluruh wilayah Hokkaido. Direktur Jenderal dari masing-masing Regio bertanggung jawab terhadap tugas-tugas Regio dan supervisi personel Regio. Direktur Jenderal Regio juga melakukan kontrol dan supervisi Markas Besar Prefektur yang ada di bawah yurisdiksinya atas perintah Commissioner General NPA (kepala kepolisian jepang). Di samping Tokyo Metropolitan Police Department dan Hokkaido Prefectural Police Department di Jepang terdapat 7 RPB lainnya yaitu Tohoku RPB, Kanto RPB, Kinki RPB, Chubu RPB, Chugoku RPB, Shikoku RPB dan Kyushu RPB.

B. Organisasi Kepolisian Prefektur

Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian Kota Jepang bahwa masing-masing pemerintahan prefektur mempunyai kesatuan/organisasi kepolisian sendiri yang mengemban tugas-tugas kepolisian di wilayahnya. Di tingkat prefektur terdapat Komisi Keselamatan Publik Prefektur/ Prefectural Public Safety Commission (PPSC) dan Markas Besar Kepolisian Prefektur termasuk Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo. Jika sistem kepolisian menyesuaikan dengan wilayahnya akan lebih mudah dalam mengatur baik urusan internal maupun masalah-masalah yang dihadapi oleh kepolisian yang terdapat di daerah itu sendiri. Sehingga sangat baik diterapkan untuk system kepolisian di Indonesia. 

PPSC (Prefectural Public Safety Commission)

PPSC adalah badan pemerintah prefektur yang bertanggung jawab supervise administrative terhadap Kepolisian Prefektur. Walaupun PPSC berada di bawah yurisdiksi Gubernur Prefektur tetapi Gubernur tidak berwenang untuk memerintah dan mengendalikan secara langsung komisi ini. Komisi PPSC ini melakukan supervise terhadap Kepolisian Prefektur utamanya berkenaan dengan operasi kepolisian, tetapi bukan pengendalian terhadap penanganan kasus-kasus atau kegiatan penegakan hukum khusus. Komisi ini membuat peraturan-peraturan tentang hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya seperti delegasi wewenang menurut undang-undang, peraturan-peraturan. PPSC terdiri dari 5 anggota untuk prefektur besar dan 3 anggota untuk prefektur kecil. Anggota PPSC ditunjuk oleh Gubernur dengan persetujuan Dewan Prefektur yang masa jabatannya selama 3 tahun dan dapat dipilih kembali.

Di setiap prefektur terdapat Kepolisian Prefektur. Organisasi Kepolisian yang terdapat di prefektur terdiri dari “Departemen Kepolisian Metropolitan” (MPD) dan “Markas Besar Kepolisian Prefektur”(PPH). Kepolisian Prefektur bertanggung jawab terhadap tugas-tugas di wilayah prefektur. Kepolisian Prefektur berada di bawah supervise dari PPSC. Departemen Kepolisian Metropolitan dikepalai oleh seorang Superintendent General yang diangkat dan diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan Perdana Menteri, sedangkan Markas Besar Kepolisian Prefektur dikepalai oleh seorang Chief Respectively yang diangkat dan diberhentikan oleh NPSC dengan persetujuan PPSC.

MPD dan PPH dibagi ke dalam wilayah distrik yang masing-masing merupakan Yurisdiksi Police Station (PS). Kepala Polisi PS di bawah perintah dan kendali Superintendent General MPD dan Chief Respectievly PPH. Sebagai unit terdepan di masing-masing prefektur PS melaksanakan tugas dan menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat. Police Boxes (Koban) dan Residental Police Boxes (Chuzaisho) berada di bawah PS. Koban dan Chuzaisho ditempatkan di dalam yurisdiksi PS dan berperan sebagai pusat keselamatan masyarakat bagi penduduk setempat.

Masing-masing badan kepolisian prefektur merupakan suatu badan yang otonom yang satu sama lain dapat saling berhubungan. Bila kepolisian prefektur tidak mampu menangani kasus-kasus tertentu maka dapat meminta bantuan NPA atau kepolisian prefektur lainnya. Dalam menghadapi kejahatan terorganisir antar Polisi Prefektur dapat melakukan kerjasama dengan cara meningkatkan patroli malam, meningkatkan fasilitas, memperbaiki perlengkapan dan kerjasama yang erat antara Polisi dan Masyarakat. Sebagai referensi untuk membangun system yang bersifat Integrated system keepolisian di jepang adalah sangat cocok mengingat bahwa di jepang juga terdapat system pemerintahan yang menyebar di daerah-daerah begitu halnya dengan di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam daerah wilayah yang berbeda beda baik sumber alam, sumber daya manusianya, kharakteristik local atau kebudyaan dan konflik social yang ditimbulkan berbeda-beda.



















DAFTAR PUSTAKA

1.      Awaluddin Djamin, Posisi Polri dalam Kabinet Persatuan, Jurnal Polisi Indonesia, nomor 4 tahun 2002.
2.      Awaloedin Djamin,2009. Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem KeTata Negaraan : Dulu,Kini dan Esok.
3.      Awaloedin Djamin, ____. Polri Pasca Amandemen UUD 1945 (antara Ideal dan Praktek)
4.      Lutan, Ahwil, Dkk, Perbandingan Sistem Kepolisian di Negara-Negara Demokratis, Materi Kuliah Mahasiswa PTIK, Jakarta, 2000.
5.      Suparlan, Parsudi, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002, 1987
6.      Farouk Muhammad,2003. Menuju Reformasi Polri.
7.      Zainal Muttaqin. 2010. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Banten: Universitas Serang Raya.
8.      Koentjaraninggrat. 2009. Ilmu Antropologi. Jakarta: Renaka Cipta.
9.      Das, D. K. (Ed.). 1994. Police practices: An international review. Scarecrow Press.
10.  Undang-undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
11.  Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
12.  Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.