Kamis, 26 Oktober 2017

Pengembangan Ilmu Kepolisian dan Implementasinya Dalam Meningkatkan Kompetensi SDM POLRI Menuju Strive For Excellence: Ilmu Kepolisian Dengan Pendekatan Multi-Disiplin atau Inter-Disiplin

A.    INTISARI KARANGAN

Setelah penulis membaca makalah yang ditulis oleh Prof Mardjono Reksodiputo tentang “Pengembangan Ilmu Kepolisian dan Implementasinya Dalam Meningkatkan Kompetensi SDM POLRI Menuju Strive For Excellence : Ilmu Kepolisian Dengan Pendekatan Multi-Disiplin atau Inter-Disiplin” maka penulis medapatkan intisari yaitu :

1.      Ilmu Kepolisian sebagai Pengetahuan Keahlian

Istilah Ilmu Kepolisian (Police Science) di Indonesia sudah dimulai awal tahun 1950-an dengan terbentuknya Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian di Jakarta, sebagai kelanjutan dari Akademi Kepolisian yang pindah dari Yogyakarta. Angkatan pertama lulusan PTIK (Juni 1952) diberi nama Angkatan Parikesit, terdiri dari 16 lulusan, antara lain Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri) dan Soebroto Brotodiredjo (mantan Gubernur PTIK yang pertama dan dosen PTIK). Dari tahun 1950 – 1965 Ketua Dewan Gurubesar PTIK adalah Prof.Mr.Djokosoetono yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia (1950 – 1962).Karena beliau adalah gurubesar Ilmu Negara dan Hukum Tatanegara, maka sebagian kurikulum PTIK adalah berisi muatan hukum, serupa pada FH dan IPK UI.Beberapa matakuliah pun dikuliahkan bersama di kampus UI di Salemba. Mula-mula gelar yang diperoleh lulusan PTIK adalah Dokterandus (Drs) dan kemudian diganti  menjadi Sarjana Ilmu  Kepolisian[1].

Dalam tahun 1996 pendidikan PTIK yang disederajatkan dengan pendidikan S-1, ditingkatkan dengan pendidikan S-2 dengan bekerjasama Universitas Indonesia. Dibentuklah Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Lulusan mendapat gelar Magister Ilmu Kepolisian. Pada tahun 2002 dimulai pendidikan Doktor Ilmu Kepolisian pada Program Pasca Sarjana UI. Sampai tahun 2009 sudah ada 10 (lulusan) Doktor Ilmu Kepolisian dari UI[2].
2.      Pendekatan Inter-Disiplin atau Multi-Disiplin

Cara melihat pertumbuhan ilmu kepolisian di Indonesia ini dapat dinamakan sebagai pendekatan multi-disiplin atau multi-bidang. Namun, Bachtiar juga menjelaskan bahwa akan  diperlukan tahap-tahap perkembangan tertentu selanjutnya bagi ilmu kepolisian untuk dapat terpadu dengan unsur-unsur yang berasal dari disiplin lainnya. Pada akhirnya ilmu kepolisian Indonesia diharapkan juga akan tumbuh menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri, dengan pendekatan yang kita dapat namakan inter-disiplin atau antar-bidang. Untuk menekankan pentingnya perkembangan ilmu kepolisian, dalam pendidikan tinggi dikatakan oleh Bachtiar[3] : “Kemampuan anggota-anggota profesi kepolisian untuk memberi pelayanan yang berdayaguna dan tepatguna, banyak tergantung pada perkembangan pendidikan tinggi Ilmu Kepolisian dan perkembangan pengetahuan Ilmu Kepolisian yang harus memberi isi pada pendidikan tersebut”.

Kemudian Suparlan[4] berpendapat bahwa ilmu kepolisian “adalah sebuah bidang ilmu yang corak pendekatannya antar-bidang” atau inter-disiplin. Dan dikatakannya, yang dinamakan ilmu kepolisian intinya:  “sebenarnya adalah sebuah ilmu yang mempelajari masalah-masalah sosial dan penanganannya”. Baik pendapat Bachtiar maupun Suparlan, menurut Prof. Mardjono Reksodiputo, membenarkan pendapat bahwa inti profesi kepolisian adalah menangani masalah kejahatan dalam masyarakat Indonesia. Mereka juga melihat bahwa masalah kejahatan itu adalah suatu problema sosial yang harus dipecahkan (berarti dipahami) sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat (berarti usaha pencegahan dan penindakannya harus dibenarkan dan didukung oleh masyarakat yang bersangkutan). Oleh karena itulah penelitian-penelitian tentang kejahatan (dan apa yang dinamakan kejahatan oleh hukum Negara belum tentu dibenarkan oleh masyarakat Adat) dan cara penanganannya, tidak selalu dapat mempergunakan teori-teori yang dikembangkan dalam masyarakat di luar Indonesia. Disinilah pentingnya Ilmu Kepolisian Indonesia, yang harus berakar pada kenyataan-kenyataan dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
3.      Polisi Intelektual dan sebagai Problem Solver[5]

Prof. Mardjono Reksodiputo[6] berpendapat bahwa untuk mendapatkan kemampuan SDM POLRI dengan slogan: “strive for excellence !”, maka kita memerlukan konsep tentang yang kita inginkan: “polisi-intelektual”  dan polisi yang dapat menjadi “problem solver”/”pemecah masalah” (polisi dengan “wajah tersenyum” sebagai lawan dari polisi dengan “wajah angker/represif”). Sosok polisi seperti ini juga dapat menjadi bahan penelitian disertasi Ilmu Kepolisian. Adapun beberapa ciri dari sosok polisi yang diinginkan ini adalah:

a)      Mempunyai intelegensia (yang tinggi) dengan kemampuan melihat visi ke depan dan bersedia menerima pemikiran dan gagasan baru (intelligent and creative);

b)      Bersedia untuk bertanggungjawab penuh dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang penting (responsible and accountable);


c)      Mempunyai kemahiran dalam berkomunikasi (lisan dan tulisan) dan kemahiran dalam melakukan negosiasi (communicative and open to reason).

Untuk mengarahkan kebijakan dan mendidik anggota kepolisian menjadi polisi-intelektual dan sebagai pemecah-masalah, maka diperlukan sejumlah tenaga pilihan yang mampu dan mau melakukan strategi ini. Mereka adalah doktor-doktor ilmu kepolisian yang merupakan harapan melanjutkan reformasi di bidang kepolisian Indonesia.





B.     PEMBAHASAN

1.      Pendapat Penulis setuju/tidak setuju

Kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan cenderung dibagi dalam tiga pengelompokan besar, yaitu Ilmu-Ilmu Alamiah (Natural Sciences), yang mengkaji gejala-gejala alamiah; Pengetahuan Budaya (Humanitas), yang mengkaji dokumen-dokumen warisan budaya; dan, tumbuh diantara kedua bidang besar ini, sebagai bidang besar yang lebih baru, Ilmu-ilmu sasial (Sosial Sciences), yang mengkaji perilaku manusia yang mempunyai kepercayaan, ideologi, pengetahuan, nilai-nilai, aturan-aturan, motivasi dan banyak lagi yang menjadikannya mahkluk yang berbudaya dan mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan sendiri mengenai tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan[7].

Zaman semakin lebih maju, dan pengetahuan manusia semakin bertambah, demikian juga cabang-cabang ilmu pengetahuan semakin banyak. Walaupun cabang ilmu pengetahuan semakin banyak, tetapi tidak akan keluar dari pembagian tiga kelompok besar ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu Kepolisian dapat didefenisikan sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dan masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari tehnik-tehnik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya[8].

Sementara menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA bahwa Ilmu Kepolisian adalah ilmu yang mempelajari penegakan hukum dan pemecahan masalah sosial melalui pendekatan teori, konsep-konsep yang jelas, dengan mengembalikan pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara [9]. Dalam hal bahwa ilmu kepolisian merupakan ilmu interdisiplin atau ilmu antar bidang penulis (saya) sangat setuju dengan pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA.  Bahwa ilmu Kepolisian secara garis awalnya memang multidisiplinari tetapi perlahan-lahan sudah mulai menjadi interdisiplinari sesuai harapan Prof. Parsudi Suparlan walaupun Prof. Harsja W. Bachtiar masih menganggapnya sebagai multidisciplinary. Corak antarbidang (interdisciplinary) yang didesain tersebut harus terfokus pada seperangkat pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan sebagai acuan dalam penerapan tugas tugas profesinya. Untuk itu sebuah program pendidikan tinggi Ilmu Kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah seharusnya mendesain sebuah kurikulum yang coraknya antarbidang (interdisciplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK (Kajian Ilmu Kepolisian) UI. Saat ini kurikulum tersebut yang coraknya antarbidang (interdisciplinary) terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah antara satu sama lainnya saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang bulat dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta lingkungan setempat. Kurikulum KIK yang bersifat antarbidang (interdisciplinary) sangat membantu mahasiswa baik yang bersumber dari kepolisian maupun umum untuk menerapkan ilmunya sesuai dengan perkembangan zaman saat ini yang masih sangat dibutuhkan jiwa-jiwa polisi yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas mampu menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks di masyarakat baik permasalahan sosial, budaya dan keamanan yang merupakan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Penulis (saya) juga sangat setuju bahwa Ilmu Kepolisian merupakan suatu ilmu yang bersifat keahlian seperti yang disampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Sehingga dibutuhkan pakar-pakar ilmu kepolisian yang sangat mumpuni di bidang ilmu kepolisian. Karena ilmu kepolisian sendiri merupakan ilmu yang bersifat secara umum yang mempelajari masalah-masalah sosial beserta penanganannya. Seperti yang disampaikan oleh Parsudi Suparlan bahwa Ilmu Kepolisian adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya[10].

Sebagai sebuah bidang ilmu yang antar-bidang maka coraknya adalah eklektik yaitu Ilmu Kepolisian. Sehingga, berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mendukung dan menjadikannya sebagai Ilmu Kepolisian terserap menjadi bagian dari Ilmu Kepolisian dan tidak seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bidang ilmu yang berbeda dari Ilmu Kepolisian, tetapi ada dalam cakupan bidang Ilmu Kepolisian. Misalnya, mata kuliah yang berisikan teori-teori mengenai “kebudayaan polisi” yang ada dalam Ilmu Kepolisian bukan lagi dan tidak seharusnya disebut sebagai mata kuliah “antropologi kepolisian” atau “sosiologi pengetahuan tentang kepolisian” atau “administrasi kepolisian” dan bukan “ilmu administrasi untuk polisi” atau “hukum kepolisian” bukan pula “Ilmu hukum kepolisian”, dan sebagainya. Sehingga dibutuhkanlah pakar-pakar di bidang Ilmu Kepolisian atau ahli-ahli di bidang kepolisian yang mampu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Ilmu Kepolisian itu sendiri. Pakar-pakar tersebut dapat lahir sejak dari lembaga pendidikan dasar yaitu Akademi Kepolisian yang sekarang sudah melulusakan Taruna-taruna nya (mahasiswa) menjadi Strata S-1, kemudian ada STIK-PTIK yang melahirka sarjana-sarjana ilmu kepolisian yang terampil dan terpercaya dalam bidang ilmu kepolisian. Selanjutnya ada pendidikan pascasarjana Magister ilmu kepolisian yang diselenggarakan oleh pihak UI (Universitas Indonesia) yang dikenal denga KIK yaitu Kajian Ilmu Kepolisian dan S-2 STIK-PTIK yang menghasilkan output Magister Ilmu Kepolisian yang keduanya bersama-sama menciptakan lulusan-lulusan master yang lebih handal dan profesional dalam bidang Ilmu Kepolisian. Selanjutnya untuk tataran Doktor Ilmu kepolisian UI (Universitas Indonesia) telah melahirkan Doktor-doktor ilmu kepolisian antara lain : Jusuf (2004), Chrysnanda DL (2006), I.Indiarto (2006), Irawati Harsono (2007), Agus Wantoro (2007), Petrus R.Golose (2008), Rycko A.Dahniel (2008); Aris Budiman (2008), Benny J.Mamoto (2008) dan Bakharuddin M.Syah (2009). Sementara di STIK-PTIK juga sudah mulai dengan pendidikan doktoral S-3 STIK-PTIK angkatan pertama mulai tahun 2015 dan masih berjalan.

Dalam hal perlunya polisi yang intelektual dalam menangani problem solver yang terdapat di masyarakat seperti yang diutarakan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Penulis sangat setuju bahwa sangat diperlukan polisi-polisi yang intelektual dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang kompleks yang terjadi di masyarakat dan problem solver yang tepat agar masalah-masalah yang timbul segera cepat dan tepat diatasi dan tidak menimbulkan permasalahan yang malah meluas dikarenakan dengan perkembangan zaman yang sudah sangat mutahir (era digital) ini segala isu-isu yang kecil bisa cepat menyebar dan menjadi permaasalahan yang lebih luas atau besar yang menimbulkan keresahan di masyarakat Indonesia. Maka dari itu sangat dibutuhkan polisi-polisi yang mempunyai intelegensia yang tinggi dengan kemampuan melihat visi ke depan dan bersedia menerima pemikiran dan gagasan baru (intelligent and creative), polisi yang bersedia untuk bertanggungjawab penuh dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang penting (responsible and accountable), polisi yang mempunyai kemahiran dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dan kemahiran dalam melakukan negosiasi (communicative and open to reason). Sehingga bisa menciptakan suasana tentram dan damai dalam masyarakat Indonesia serta mampu mengawal pembangunan Bangsa dan Negara menjadi lebih adil dan makmur demi kesejahteraan masyarakat Indonesia itu senidiri.

2.      Pendidikan Polri Menghadapi Tantangan Masa Depan

Saat ini perkembangan zaman berjalan sangatlah cepat seiring perkembangan teknologi yang meningkat dan tidak terbatas menembus dunia nyata maupun dunia maya. Isu-isu globalisasi yang kian merebak dan mulai masuk kesemua lini kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia. Polri sebagai pengawal pembangunan Negara dalam bidang kemanan Negara dituntut untuk lebih profesional dan independent dalam menghadapi setiap ancaman dan permasalahan sosial yang terjadi.  Upaya strategis untuk membangun profesionalisme Polri harus melakukan pembenahan dalam berbagai aspek organisasi, yakni pembenahan dibidang SDM (Sumber Daya Manusia) yaitu tahap paling dasar adalah pendidikan sebagai unsur utama yang sekaligus menyentuh pemberdayaan aspek kultural, profesionalitas dan keterampilan anggota Polri. Pembenahan ini diharapkan dapat mewujudkan personil Polri yang mampu menjalankan tugas pengabdian dan pelayanan prima kepada masyarakat yang senantiasa menghadapi tantangan masa depan yang sangat kompleks.

Untuk menghasilkan outpu-output polisi yang mampu menjawab tantangan masa depan dan profesionalisme bagi polisi sangat penting untuk ditingkatkan dan dimantapkan dalam rangka mewujudkan harapan masyarakat terhadap sosok-sosok polisi yang ideal. Perumusan strategi pelaksanaan standarisasi profesionalisme Polri terus dilakukan oleh Polri. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan masyarakat yang membutuhkan polisi dengan sikap ramah dan lemah lembut dalam pelayanan serta tegas dalam penegakan hukum dapat tercapai. Tuntutan mendasar yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat terwujud maka dapat dimulai dari proses rekrutmen anggota polri yang baik. Untuk memperbaiki proses rekruitmen anggota Polri agar semakin berkualitas, Polri telah melakukan perubahan substansi dan kultur yang diwujudkan dalam akselerasi transformasi di tubuh Polri itu senidiri, utamanya pada proses penerimaan anggota Polri dengan mengacu pada prinsip dasar penerimaan yaitu Bersih, Transparan, Akuntabel dan Humanis.

Untuk menjaring para calon pendaftar, Polri melakukan berbagai sosialisasi terbuka, baik melalui media massa, spanduk, baliho maupun sosialisasi secara langsung ke masyarakat atau ke sekolah. Semua tahapan seleksi dilakukan secara terbuka di mana seluruh peserta seleksi bisa melihat sendiri hasil seleksi di setiap tahapannya. Mulai dari proses penerimaan berkas, pemeriksan administrasi, kesehatan, tes akademik, psikotes, dan kesamaptaan dan jasmani hingga proses kelulusan semua dalam pengawasan. Sesuai instruksi Kapolri yang menegaskan bahwa dalam setiap tahun anggaran penerimaan, setiap Panitia Polda harus membentuk Tim Pengawas Internal yaitu terdiri dari Itwasda dan Bidpropam Polda setempat dan Tim Pengawasa Eksternal yaitu terdiri dari Diknas, Disdukcapil, IDI, HIMPSI, Akademisi, Guru Olahraga, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, LSM, Media Massa untuk mengawasi/menyaksikan pelaksanaan setiap tahapan seleksi secara ketat, terus menerus, transparan[11]. Serta diharapkan masyarakat juga terus menerus berperanserta dalam mengawasi setiap tahapan seleksi penerimaan anggota Polri, sehingga akan menghasilkan output anggota Polri yang berkualitas yang mampu menghadapi segala macam tantangan di masa depan, memiliki Integritas yang tinggi dalam pekerjaan dan terpenting adalah memiliki sikap melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.

Setelah periode rekruitmen terpenuhi kemudian masuklah pada sistem pendidikan kepolisian yang berkarakter yang mampu mendidik dan membina polisi-polisi menjadi sosok polisi yang diharapkan oleh masyarakat. Pendidikan Polri merupakan suatu proses untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang dibutuhkan dalam pemenuhan tuntutan tugas-tugas kepolisian. Selain itu pendidikan Polri juga merupakan suatu rangkaian kegiatan dari siklus pembinaan manajemen sumber daya manusia sehingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Polri tetap berpegang pada prinsip keterpaduan dengan tujuan untuk mengakomodir sistem pendidikan yang diterapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Prinsip keterpaduan ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan bahwa semua sistem dan jenjang kependidikan Polri berada dalam satu institusi/lembaga yaitu Lemdikpol (Lembaga Pendidikan Polri) [12], yang mengarah pada sistem pendidikan satu pintu. Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol), bertugas merencanakan, mengembangkan, dan menyelenggarakan fungsi pendidikan pembentukan dan pengembangan berdasarkan jenis pendidikan Polri meliputi pendidikan profesi, manajerial, akademis, dan vokasi. Unsur pelaksana Lemdikpol membawahi atau terdiri dari[13] :
Ø  Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian (Sespimpol), adalah unsur pelaksana pendidikan dan staf khusus yang berkenaan dengan pengembangan manajemen Polri.
Ø  Akademi Kepolisian (Akpol), adalah unsur pelaksana pendidikan pembentukan Perwira Polri.
Ø  Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), adalah unsur pelaksana pendidikan dan staf khusus yang berkenaan dengan pendidikan tinggi dan pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian.
Ø  Sekolah Pembentukan Perwira, adalah unsur pelaksana pendidikan pembentukan Perwira Polri yang bersumber dari bintara kepolisian.
Ø  Pendidikan dan Pelatihan Khusus Kejahatan Transnasional.

Melalui sistem pendidikan dan latihan polri ini diharapkan akan dapat melahirkan sosok-sosok Polri yang profesional dan berkualitas yang mampu menghadapi tantangan masa depan. Selain memiliki kemampuan, skill, pengetahuan yang luas juga harus memiliki sikap, mental dan perilaku yang humanis, berwibawa dan cerdas, sesuai dengan filisofi pendidkan Polri yaitu Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum. Kondisi semacam ini sangat diperlukan untuk menjawab tantangan Polri masa kini dan yang akan datang terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat yang semakin luas, tuntutan akan perubahan yang terjadi agar Polri lebih dapat bermitra dengan masyarakat sehingga akan menumbuhkan keyakinan baru dalam tubuh Polri melalui perubahan kultur/budaya kepolisian dari budaya militeristik menjadi budaya sipil. Perubahan ini diharapkan akan dapat mendorong terciptanya suatu kondisi yang baru di lingkungan kepolisian sehingga lama kelamaan akan muncul suatu hubungan yang harmonis antara polisi dan masyarakat sehingga dapat mempertemukan polisi dan masyarakat dalam wadah kerjasama yang baik dan dalam hubungan kepercayaan yang kokoh dan kuat.             
   
Pendidikan Polri diselenggarakan dengan mengintegrasikan aspek pengetahuan yang merupakan penekanan dari segi pendidikan sehingga akan lebih terlihat sempurna yaitu pengetahuan yang ada diaplikasikan dalam tugas-tugas kepolisian. Pendidikan yang diselenggarakan mempunyai tujuan yaitu untuk membentuk sumber daya manusia yang mempunyai keahlian-keahlian tertentu seperti komunikasi, negosiasi sehingga akan berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan juga bertujuan untuk melengkapi sumber daya manusia Polri dengan pengetahuan (knowledge), keahlian (skill) dan tingkah laku (attitude) yang dibutuhkan sesuai dengan tuntutan tugas di lapangan. Menurut Benjamin S. Bloom hal ini sesuai dengan Teori Taxonomy Bloom bahwa tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain[14], yaitu:
·         Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
·         Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
·         Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.

Dengan teori tersebut dapat dianalisis bahwa dalam pendidikan Polri, dilihat dari Cognitif Domain diharapkan akan dapat mencetak hasil didik yang mempunyai pengetahuan yang tinggi. Pengetahuan ini tidak hanya terbatas pada pengetahuan tentang kepolisian saja namun juga pengetahuan yang menyangkut ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan bidang kepolisian mengingat ilmu kepolisian ini sangat komplek yang terdiri dari berbagai bidang, seperti yang disampaikan oleh Prof Harsja Bachtiar yang menyatakan bahwa “,masing-masing sesuai dengan kelaziman cabang ilmu pengetahuan sendiri-sendiri. Pengetahuan demikian bisaanya dikenal sebagai pengetahuan multidisiplin, pengetahuan yang diperoleh melalui sejumlah pengkajian yang sesungguhnya terpisah satu dari yang lain meskipun memusatkan perhatian pada permasalahan yang sama[15].” Dengan pengetahuan kepolisian yang mendalam serta ditambah ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan tugas kepolisian maka diharapkan hasil didik tersebut akan mampu menjawab tantangan tugas di lapangan yang semakin hari semakin berkembang sehingga akan dapat melatih anggota yang bersangkutan untuk dapat berfikir secara cepat dan tepat dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada di masyarakat di masa kini dan masa yang akan datang.

Dilihat dari Affective Domain, hasil didik tersebut dalam melaksanakan tugasnya diharapkan akan lebih mempunyai rasa percaya diri karena telah didukung oleh kemampuan secara intelektual (kognitif) dan juga lebih dapat menyesuaikan diri dengan situasi tugas apapun apalagi tugas kepolisian ini berhubungan dengan masyarakat yang notabene masyarakat Indonesia sangatlah komplek dan beragam baik suku, adat, bahasa, budaya, kebisaaan yang tersebar dari sabang sampai merauke. Berkaitan dengan Psychomotor Domain maka hasil didik diharapkan akan mempunyai keterampilan dalam fungsi kepolisian dalam melaksanakan tugasnya seperti keterampilan dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan, keterampilan dalam melakukan pendekatan dengan masyarakat, keterampilan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan tugas pokok Polri yaitu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, menegakkan hukum, serta mememlihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

3.      Indonesia yang multi-kultural dan kemungkinan perlunya transformasi organisasi.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural hal itu bisa dibuktikan dengan masyarakat Indonesia terdiri dari lebih 300 sukubangsa, 250 atau lebih bahasa/dialek, terdapat 5 agama yang diakui oleh pemerintah, 400 kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengenal berbagai sistem hukum (nasional, agama, adat), mengenal berbagai sistem kerabat (patrilineal, matrilineal, parental), dan berbagai sistem perkawinan. Masyarakat Indonesia juga memperlihatkan sifat dualistis di mana terdapat orang kota dan orang desa, kaya dan miskin, ekonomi modern dan ekonomi tradisional, terdidik dan tidak terdidik[16].

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk atau multikultural. Kebhinekaan adalah kenyataan dari masyarakat Indonesia. Harus diakui bahwa pendiri negara kita mempunyai visi yang maju ke depan dengan menentukan bahwa motto Indonesia adalah “Bhineka tunggal Ika”. Mely G Tan dalam makalah kuliah “Masalah Sosial dan Isu HAM” yang berjudul “Kebhinekaan dan Integrasi Sosial : das Sein dan Das Sollen” mengatakan bahwa masyarakat Indonesia bersifat pluralistis yang ditandai dengan beranekaragamnya sukubangsa, agama, ras, bahasa, sistem hukum, sistem kerabat, dan sistem perkawinan. Masyarakat Indonesia juga memperlihatkan sifat dualistis yang ditandai dengan adanya orang kota dan orang desa, terdidik dan tidak terdidik, kaya dan miskin, ekonomi modern dan ekonomi tradisional, golongan mayoritas dan minoritas yang kesemua itu memperlihatkan suatu stratifikasi sosial yang sangat timpang. Parsudi Suparlan dalam bukunya “Ilmu Kepolisian”[17] mengatakan bahwa konsep masyarakat majemuk Indonesia harus digeser penekanannya menjadi masyarakat multikultural Indonesia. Cita-cita reformasi adalah membangun kembali dan merombak keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat majemuk yang telah dibangun oleh Orde Baru dan yang telah merusak Indonesia. Inti dari cita-cita reformasi tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan tersebut adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengangungkan perbedaan dalam kesederajatan. Baik secara individual, sosial, dan kebudayaan. Dalam multikulturalisme penekanannya bukan hanya pada kesederajatan dalam perbedaan, tetapi juga pada upaya melindungi keanekaragaman kebudayaan termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai minoritas. Sukubangsa dalam masyarakat multikultural tetap ada. Akan tetapi, posisi dari sukubangsa-sukubangsa yang ada dalam masyarakat multikultural adalah sejajar atau sederajat, dan sukubangsa sebagai sebuah ideologi dan sebuah satuan politik diredupkan peranannya. Dalam masyarakat multikultural keanekaragaman keyakinan keagamaan dan kesederajatannya juga dijamin dan diupayakan untuk dilindungi oleh negara. Keyakinan keagamaan yang juga bercorak primordial dan mempunyai potensi pemecah belah kesatuan bangsa melalui batas-batas sosial budaya yang diperkuat oleh keyakinan keagamaan, sebaiknya juga diatur sesuai dengan atau mengikuti model sukubangsa dan kesukubangsaan dalam masyarakat multikultural.

Sedangkan menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. dalam makalah kuliahnya yang berjudul ”Multikulturalisme dan Negara-Nasion serta Kejahatan Transnasional dan Hukum Pidana Internasional”[18] menegaskan bahwa globalisasi dapat berdampak cukup signifikan bagi masyarakat Indonesia melalui pengaruh ekonominya, pengaruh politik, sosial dan kultural. Pemahaman dan kesadaran kita akan dampak globalisasi ini mewajibkan kita untuk memperkuat ”masyarakat majemuk Indonesia” agar tidak terdisintegrasi. Dan untuk menghindari terjadinya disintegrasi maka menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. konsep masyarakat majemuk didekati dengan konsep masyarakat multikultural. Pendekatan ini akan menggeser penekanan terhadap keanekaragaman ”sukubangsa” menjadi penekanan terhadap keanekaragaman ”kebudayaan”. Berbarengan dengan itu keanekaragaman kesukubangsaan diperlemah dan di samping itu harus dibangun konsensus serta kebijakan politik secara nasional, untuk meletakkan posisi kebudayaan seperti apapun coraknya berada dalam kesetaraan derajat. Pendekatan ideologi multikultural diharapkan dapat memperkuat bangsa Indonesia sebagai penghuninya yaitu masyarakat Indonesia itu sendiri serta untuk menghindari bahwa globalisasi akan berpengaruh pada ”rasa kesukubangsaan” dan menimbulkan konflik antara sukubangsa seperti beberapa kali yang terjadi di Indonesia.

Dilatarbelakangi oleh masyarakat Indonesia yang multikultural atau majemuk bisa menyebabkan terjadinya konflik sosial maupun gejala-gejala permasalahan yang timbul di masyarakat. Sehingga untuk mengimbanginya diperlukannya transformasi organisasi yang mampu menyesuaikan dengan perubahan kultur masyarakat Indonesia yang majemuk salah satunya bisa dalam bentuk reformasi birokrasi. Dalam hal ini penulis akan menjabarkan perlunya transformasi organisasi yang berkaitan dengan kepolisian yaitu transformasi birokrasi Polri. Kalau kita berbicara tentang birokrasi yang tidak jauh dari sistem politik suatu sistem pemerintahan maka akan berhubungan dengan Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution) atau alokasi (alocation)[19], karena politik selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan masyarakat tercakup juga pada kepolisian. Menurut Thoha birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “official dom” atau kerajaan pejabat[20]. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern. Pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah mempunyai kekuasaan yang sangat menentukan, karena segala urusan yang berkaitan dengan jabatan itu, yang menentukan orang yang berada dalam jabatan tersebut. Jabatan yang berada dalam hirarki jabatan tersusun hirarkis dari atas kebawah, dimana jabatan yang berada diatas mempunyai kewenangan jabatan yang lebih besar daripada jabatan di bawahnya. Dan semua orang yang menduduki pada jabatan tersebut, mendapat segala fasilitas yang mencerminkan akan kekuasaan.

Birokrasi dalam pemerintahan yang menganut birokrasi Weberian akan menunjukkan cara-cara officialdom, dimana para pejabat birokrasi pemerintah merupakan pusat atau sentral dari semua penyelesaian urusan masyarakat[21]. Dan masyarakat tergantung kepada pejabat tersebut, bukannya pejabat itu tergantung pada masyarakat sehingga akhirnya berdampak pada pelayanan kepada masyarakat tidak diletakkan pada tugas yang utama, namun menjadi tugas yang kesekian. Selain itu berkembang pula upaya untuk menyenangkan hati atasan dalam bentuk penghormatan dan pengabdian yang sekarang ini adalah dalam bentuk upeti. Upeti ini menjadi penting karena gajinya pejabat kecil, sehingga pejabat itu akan dinilai loyal atau baik oleh atasannya, maka akan mudah untuk mendapat atau mempertahankan jabatan/posisinya. Karena pada posisi atau jabatan tertentu (yang dianggap basah) memiliki kewenangan fasilitas dan keistimewaan. Hal ini termasuk pada level atas hingga bawah atau telah menjadi kebudayaan dalam organisasi.

Sebagai suatu kegiatan yang bermula pada sesuatu titik, maju lewat sederetan langkah, dan berpuncak dalam sesuatu hasil yang diharapkan oleh mereka yang terlibat sebagai suatu perbaikan terhadap titik awal. Perubahan pada organisasi pada hakekatnya untuk mempertahankan suatu keseimbangan dimana menuntut suatu penyesuaian untuk mencapai suatu keadaan yang diharapkan.

Budaya dalam organisasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan bersama dan berulang-ulang oleh anggota organisasi yang mempunyai makna bersama. Dalam hal ini budaya yang ada pada organisasi Polri yang menyebabkan tidak dipercaya oleh masyarakat tetapi tetap dilakukan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Misalnya, anggota Polri melakukan pemerasan, melakukan pungli, dan melakukan diskresi yang mengarah ketindakan korupsi. Maka dari itu perlu dilakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh di dalam tubuh Polri. Dalam menuju Polri yang professional dan memperbaiki birokrasi secara menyeluruh perlu dilakukan perubahan kebudayaan dalam organisasi Polri yang meliputi :

1. Kode etik Polri
Suatu peraturan atau petunjuk yang jelas dan dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman para petugas Polri dilapangan baik dari tingkat manajemen maupun individu mulai dari tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek. Kode etik itu berisi aturan, norma-norma yang berkaitan dengan moral dalam pelaksanaan tugas dari pangkat Bharada sampai dengan Jendral mana yang boleh dilakukan dan yang mana tidak boleh dilakukan sehingga merupakan suatu kebanggaan bagi anggota Polri dan dapat dijadikan sebagai pegangan agar hal-hal yang memalukan dapat tidak dilakukan.

2. Standarisasi Tugas Kepolisian
Standarisasi tugas Kepolisian ini mencakup antara lain pedoman yang dimiliki oleh setiap anggota Polri, yang mana setiap fungsi berbeda dengan fungsi yang lain. Misalnya standarisasi tugas di Reserse tidak sama dengan anggota yang bertugas di fungsi Lalulintas. Dengan adanya standarisasi ini petugas kepolisian akan melaksanakan tugas dan bertindak dalam pelayanan masyarakat sesuai dengan standarisasi yang telah ditetapkan sebagai pedoman disetiap fungsi.

3. Uji Kelayakan
Uji Kelayakan ini sebagai syarat utama untuk menduduki jabatan tertentu (kapolda, Kapolwil, Kapolres dan Kapolsek) atau pejabat staff yang dilakukan oleh pejabat yang independent. Dengan diadakan uji kelayakan tersebut dimaksudkan agar pejabat yang menjabat jabatan tertentu akan bekerja secara obyektif dan efektif serta mempunyai rasa tanggungjawab terhadap tugasnya. Dan apabila terdapat penyimpangan atau pelanggaran pejabat tersebut siap menerima hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4. Sistem Penilaian Kerja
Bagian yang diberi kewenangan untuk menilai kinerja menggunakan pedoman yang telah ditetapkan dalam standarisasi sehingga dalam memberikan penilaian berdasarkan dengan pedoman. Dengan mengacu pada pedoman penilaian maka pejabat yang dinilai tidak dapat melakukan KKN atas pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan dan apabila melakukan pelanggaran siap untuk menerima hukuman.

5. Sistem Penghargaan dan Hukuman
Sistem ini diberikan kepada anggota Polri yang berprestasi dalam pelaksanaan tugasnya dan memberikan hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, maka keberhasilan petugas dilapangan dapat terukur dan yang melakukan penyimpangan harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya.

Dalam pembahasan Reformasi Birokrasi khususnya Polri, maka perlu menerapkan prinsip good governance yaitu cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggungjawab kepada publik[22], dalam memberikan jaminan keamanan, ketertiban melalui penegakan hukum serta mampu memberikan perlindungan serta penghargaan terhadap hak asasi manusia kepada masyarakat, dengan kata lain bahwa Reformasi Birokrasi merupakan faktor yang sangat penting untuk diuraikan menuju pelayanan yang efektif dan efisien kepada masayarakat Indonesia yang majemuk, karena secara faktual instutusi Polri yang memberikan pelayanan kepada masyarakat / publik selama ini masih cukup banyak disoroti melakukan tindakan-tindakan pembiaran atas keluhan masyarakat dan masih banyak kekurangan, maka dalam rangka menciptakan Polri yang mampu melayani, melindungi masyarakat secara baik dan memahami keadaan awal Polri pada saat sebelum berangkat menuju Reformasi Birokrasi kondisi Polri yang memerlukan perbaikan dan perubahan sehinga Reformasi kultural dapat semaksimal mungkin berjalan secara efektif dalam tubuh Polri dan perlu adanya upaya percepatan (akselerasi) dalam pembenahan kultur Polri yang meliputi 3 program akselerasi utama yaitu keberlanjutan program, peningkatan kualitas kinerja dan komitmen terhadap organisasi. Ketiga Program Akselerasi utama tersebut selanjutnya ditindak lanjuti dengan adanya Program Unggulan Quick Wins yang merupakan Program Akselerasi dan Transformasi Polri dalam rangka membenahi Polri sesuai dengan tugas pokok, peran, dan fungsinya. Polri telah menetapkan Grand Strategi Polri 2005-2025 yang terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu 2005-2009 trust building, 2010-2015 partnership building, dan 2016-2025 strieve for excellence. Sejalan dengan sudah habisnya waktu pelaksanaan tahap pertama dan tahap kedua selanjutnya sedang berjalan tahap ketiga, Polri berupaya untuk mempercepat pencapaiannya melalui Program Akselerasi dan Transformasi Polri mulai dari keberlanjutan program, peningkatan kualitas kerja dan komitmen terhadap organisasi dalam upaya membangun Polri yang mandiri, professional, dan dipercaya masyarakat. Sehingga mampu sebagai garda terdepan dalam melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat Indonesia yang multikuktural.

C.    KESIMPULAN

1.      Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :

a.       Ilmu kepolisian merupakan ilmu interdisiplin atau ilmu antar bidang, penulis (saya) sangat setuju dengan pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA.  Bahwa ilmu Kepolisian secara garis awalnya memang multidisiplinari tetapi perlahan-lahan sudah mulai menjadi interdisiplinari sesuai harapan Prof. Parsudi Suparlan. Ilmu Kepolisian merupakan suatu ilmu yang bersifat keahlian seperti yang disampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Sehingga dibutuhkan pakar-pakar ilmu kepolisian yang sangat mumpuni di bidang ilmu kepolisian. Karena ilmu kepolisian sendiri merupakan ilmu yang bersifat secara umum yang mempelajari masalah-masalah sosial beserta penanganannya. Dan sangat diperlukan polisi-polisi yang intelektual dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang kompleks yang terjadi di masyarakat dan menjadi problem solver yang tepat agar masalah-masalah yang timbul segera cepat dan tepat diatasi dan tidak menimbulkan permasalahan yang malah meluas dikarenakan dengan perkembangan zaman yang sudah sangat mutahir (era digital) ini segala isu-isu yang kecil bisa cepat menyebar dan menjadi permaasalahan yang lebih luas atau besar yang menimbulkan keresahan di masyarakat Indonesia. Maka dari itu sangat dibutuhkan polisi-polisi yang mempunyai intelegensia yang tinggi dengan kemampuan melihat visi ke depan dan bersedia menerima pemikiran dan gagasan baru, bersedia untuk bertanggungjawab penuh dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang penting dan mempunyai kemahiran dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dan kemahiran dalam melakukan negosiasi.

  1. Untuk pendidikan Polri dalam menghadapi tantangan masa depan maka dimulai dari sistem rekruitmen dengan mengacu pada prinsip dasar penerimaan yaitu Bersih, Transparan, Akuntabel dan Humanis. Kemudian membentuk Tim Pengawas Internal yaitu terdiri dari Itwasda dan Bidpropam Polda setempat dan Tim Pengawasa Eksternal yaitu terdiri dari Diknas, Disdukcapil, IDI, HIMPSI, Akademisi, Guru Olahraga, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, LSM, Media Massa untuk mengawasi/menyaksikan pelaksanaan setiap tahapan seleksi secara ketat, terus menerus, transparan. Melalui sistem pendidikan dan latihan polri ini diharapkan akan dapat melahirkan sosok-sosok Polri yang profesional dan berkualitas. Melalui peningkatan pengetahuan (knowledge), keahlian (skill) dan tingkah laku (attitude) yang dibutuhkan sesuai dengan tuntutan tugas di lapangan, sehingga menghasilkan ouput polisi-polisi yang mampu menghadapi tantangan masa depan.

  1. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural hal itu bisa dibuktikan dengan masyarakat Indonesia terdiri dari lebih 300 sukubangsa, 250 atau lebih bahasa/dialek, terdapat 5 agama yang diakui oleh pemerintah, 400 kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengenal berbagai sistem hukum (nasional, agama, adat), mengenal berbagai sistem kerabat (patrilineal, matrilineal, parental), dan berbagai sistem perkawinan. Dalam multikulturalisme penekanannya bukan hanya pada kesederajatan dalam perbedaan, tetapi juga pada upaya melindungi keanekaragaman kebudayaan termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai minoritas, posisi dari sukubangsa-sukubangsa yang ada dalam masyarakat multikultural adalah sejajar atau sederajat, serta dalam masyarakat multikultural keanekaragaman keyakinan keagamaan dan kesederajatannya juga dijamin dan diupayakan untuk dilindungi oleh negara. Dalam hal perlunya transformasi organisasi adalah sangat penting khususnya transformasi organisasi di tubuh organisasi Polri dengan upaya peningkatan sistem birokrasi Polri, kemudian dalam menuju Polri yang professional dan memperbaiki birokrasi secara menyeluruh perlu dilakukan perubahan kebudayaan dalam organisasi Polri yang meliputi : Kode etik Polri, Standarisasi Tugas Kepolisian, Uji Kelayakan, Sistem Penilaian Kerja, dan Sistem Penghargaan dan Hukuman.

2.      Saran

a.       Citra masyarakat terhadap Polri tidak secara langsung dipengaruhi oleh posisi formal, melainkan oleh sikap dan tindakan sehari-hari anggota Polri di lapangan yang dilihat, dirasakan, dan dicerna oleh masyarakat. Persepsi dan penilaian masyarakat terhadap Polri merupakan refleksi dari kultur pelayanan, kultur perlindungan, dan kultur penegakkan hukum yang dipraktikkan oleh Polri. Untuk itu, perlu dilakukan pembenahan secara berkesinambungan terhadap SDM Kepolisian yaitu aspek pelayanan, mekanisme perlindungan, transparansi penegakan hukum, dan percepatan sistem birokrasi demi meujudkan Polri yang dicintai oleh masyarakat.

b.      Dalam menciptakan kader-kader yang akan menjadi pakar kepolisian atau ahli-ahli di bidang kepolisian sangat perlu dukungan dari semua pihak baik dari internal organisasi kepolisian maupun eksternal yaitu pemerintah Indonesia sendiri sehingga bisa membantu dan mendorong para polisi yang mempunyai bibit kualititas untuk menjadi pakar kepolisian bisa terwujud demi kepentingan organisasi Polri sendiri dan demi masyarakat Indonesia secara luas.


c.       Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat melihat polisi bukan sebagai perseorangan, tetapi sebagai suatu lembaga.  Tidak jarang kesalahan ”oknum” polisi digeneralisasi sebagai kesalahan lembaga polisi secara keseluruhan. Oleh karena itu, budaya perseorangan petugas polisi harus dapat dikendalikan dengan budaya organisasi, dengan cara pemetaan dan pembagian terhadap tanggung jawab perseorangan polisi dan tanggung jawab institusi organisasi Polri, serta perlunya publikasi ke masyarakat baik melalui media cetak maupun media digital saat ini.




[1] Lihat juga: Harsja W.Bachtiar.1993.Ilmu Kepolisian: Suatu Bidang Pengetahuan Keahlian Yang Baru, Jakarta,Agustus 1993 (tdak diterbitkan),hal 108 – 115
[2] Mardjono Reksodiputro, 2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI) – Mereka adalah: Jusuf (2004), Chrysnanda DL (2006), I.Indiarto (2006), Irawati Harsono (2007), Agus Wantoro (2007), Petrus R.Golose (2008), Rycko A.Dahniel (2008); Aris Budiman (2008), Benny J.Mamoto (2008) dan Bakharuddin M.Syah (2009).
[3] Harsya Bacgtiar,1994,Ilmu Kepolisian.Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang Baru,Grasindo,hal 16
[4] Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor), Ilmu Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,2008. hal.27.
[5]  Lihat Mardjono Reksodiputro,2013, “Pendidikan Polri Yang Saya Kenal Dan Saran Menghadapi Tantangan di Masa Depan (Makalah disampaikan di Semarang dalam Seminar PUSHAM UII dengan AKPOL).
[6] Lihat Mardjono Reksodiputro,2014, Pengembangan Ilmu Kepolisian dan Implementasinya Dalam Meningkatkan Kompetensi SDM POLRI Menuju Strive For Excellence:Ilmu Kepolisian Dengan Pendekatan Multi-Disiplin atau Inter-Disiplin” (dalam seminar Sekolah Mahasiswa STIK-PTIK Angkatan Ke-63).
[7] Bachtiar, Harsja W. Ilmu Kepolisian suatu cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. Jakarta: Grasindo, 1994 hal 13.
[8] Suparlan, Parsudi. Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif Antropologi Perkotaan. Cetakan I. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2004 hal 12.
[9] Lihat Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI).
[10] Suparlan, Parsudi. “Ilmu Kepolisian”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.2009.hal 102.
[12] Lihat Peraturan Kapolri Nomor 21 tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[13] Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,pasal 24.
[14] Lihat Bloom, Benjamin S. Taxonomy of Educational Objectives: The Classificationm of Educational Goals. London: David McKay Company, Inc.1956.hal 207.
[15] Bachtiar, Harsja W. Ilmu Kepolisian suatu cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. Jakarta: Grasindo.1994.hal 15.
[16] Lihat Mely G Tan dalam Makalah kuliah Masalah sosial dan Isu HAM. yang berjudul “Kebhinekaan dan Integrasi Sosial : das Sein dan Das Sollen “. 1991.
[17] Suparlan, Parsudi. 2008. Ilmu kepolisian. cetakan pertama. Jakarta : Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2008. Hal 236.
[18] Lihat Mardjono Reksodiputro. “Multikulturalisme dan Negara-Nasion serta Kejahatan Transnasional dan Hukum Pidana Internasional”, makalah dalam Seminar Nasional tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Hukum Pidana dan Kriminologi menghadapi Kejahatan Transnasional, Bandung, 17 Maret 2008.
[19] Budiarjo,  Miriam. Dasar-Dasar  Ilmu  Politik  (Edisi  Revisi). Jakarta: PT.Gramedia pustaka Utama. 2008. hal 13.
[20] Miftah, Thoha. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003.hal 115.
[21] Santoso, Priyo Budi. Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: Rajawali Press.1997.hal 15.
[22] Mas’oed, Mochtar. Politik Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1994. hal 59.

0 komentar:

Posting Komentar