A.
INTISARI KARANGAN
Setelah penulis membaca makalah yang ditulis oleh Prof Mardjono
Reksodiputo tentang “Pengembangan Ilmu Kepolisian dan Implementasinya Dalam
Meningkatkan Kompetensi SDM POLRI Menuju Strive For Excellence : Ilmu
Kepolisian Dengan Pendekatan Multi-Disiplin atau Inter-Disiplin” maka penulis
medapatkan intisari yaitu :
1.
Ilmu Kepolisian sebagai Pengetahuan Keahlian
Istilah Ilmu Kepolisian (Police Science) di Indonesia sudah dimulai awal tahun 1950-an
dengan terbentuknya Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian di Jakarta, sebagai
kelanjutan dari Akademi Kepolisian yang pindah dari Yogyakarta. Angkatan
pertama lulusan PTIK (Juni 1952) diberi nama Angkatan Parikesit, terdiri dari
16 lulusan, antara lain Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri) dan Soebroto
Brotodiredjo (mantan Gubernur PTIK yang pertama dan dosen PTIK). Dari tahun
1950 – 1965 Ketua Dewan Gurubesar PTIK adalah Prof.Mr.Djokosoetono yang juga
merupakan Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas
Indonesia (1950 – 1962).Karena beliau adalah gurubesar Ilmu Negara dan Hukum
Tatanegara, maka sebagian kurikulum PTIK adalah berisi muatan hukum, serupa
pada FH dan IPK UI.Beberapa matakuliah pun dikuliahkan bersama di kampus UI di
Salemba. Mula-mula gelar yang diperoleh lulusan PTIK adalah Dokterandus (Drs)
dan kemudian diganti menjadi Sarjana
Ilmu Kepolisian[1].
Dalam tahun 1996 pendidikan PTIK yang
disederajatkan dengan pendidikan S-1, ditingkatkan dengan pendidikan S-2 dengan
bekerjasama Universitas Indonesia. Dibentuklah Program Kajian Ilmu Kepolisian
pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Lulusan mendapat gelar
Magister Ilmu Kepolisian. Pada tahun 2002 dimulai pendidikan Doktor Ilmu
Kepolisian pada Program Pasca Sarjana UI. Sampai tahun 2009 sudah ada 10 (lulusan)
Doktor Ilmu Kepolisian dari UI[2].
2.
Pendekatan Inter-Disiplin atau Multi-Disiplin
Cara melihat pertumbuhan ilmu kepolisian di
Indonesia ini dapat dinamakan sebagai pendekatan multi-disiplin atau
multi-bidang. Namun, Bachtiar juga menjelaskan bahwa akan diperlukan tahap-tahap perkembangan tertentu
selanjutnya bagi ilmu kepolisian untuk dapat terpadu dengan unsur-unsur yang
berasal dari disiplin lainnya. Pada akhirnya ilmu kepolisian Indonesia
diharapkan juga akan tumbuh menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri,
dengan pendekatan yang kita dapat namakan inter-disiplin atau antar-bidang. Untuk
menekankan pentingnya perkembangan ilmu kepolisian, dalam pendidikan tinggi
dikatakan oleh Bachtiar[3] : “Kemampuan
anggota-anggota profesi kepolisian untuk memberi pelayanan yang berdayaguna dan
tepatguna, banyak tergantung pada perkembangan pendidikan tinggi Ilmu
Kepolisian dan perkembangan pengetahuan Ilmu Kepolisian yang harus memberi isi
pada pendidikan tersebut”.
Kemudian Suparlan[4]
berpendapat bahwa ilmu kepolisian “adalah sebuah bidang ilmu yang corak
pendekatannya antar-bidang” atau inter-disiplin. Dan dikatakannya, yang
dinamakan ilmu kepolisian intinya:
“sebenarnya adalah sebuah ilmu yang mempelajari masalah-masalah sosial
dan penanganannya”. Baik pendapat Bachtiar maupun Suparlan, menurut Prof.
Mardjono Reksodiputo, membenarkan pendapat bahwa inti profesi kepolisian adalah
menangani masalah kejahatan dalam masyarakat Indonesia. Mereka juga melihat
bahwa masalah kejahatan itu adalah suatu problema sosial yang harus dipecahkan
(berarti dipahami) sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat (berarti usaha
pencegahan dan penindakannya harus dibenarkan dan didukung oleh masyarakat yang
bersangkutan). Oleh karena itulah penelitian-penelitian tentang kejahatan (dan
apa yang dinamakan kejahatan oleh hukum Negara belum tentu dibenarkan oleh
masyarakat Adat) dan cara penanganannya, tidak selalu dapat mempergunakan
teori-teori yang dikembangkan dalam masyarakat di luar Indonesia. Disinilah
pentingnya Ilmu Kepolisian Indonesia, yang harus berakar pada
kenyataan-kenyataan dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Prof. Mardjono Reksodiputo[6] berpendapat
bahwa untuk mendapatkan kemampuan SDM POLRI dengan slogan: “strive for
excellence !”, maka kita memerlukan konsep tentang yang kita inginkan:
“polisi-intelektual” dan polisi yang
dapat menjadi “problem solver”/”pemecah masalah” (polisi dengan “wajah
tersenyum” sebagai lawan dari polisi dengan “wajah angker/represif”). Sosok
polisi seperti ini juga dapat menjadi bahan penelitian disertasi Ilmu
Kepolisian. Adapun beberapa ciri dari sosok polisi yang diinginkan ini adalah:
a) Mempunyai intelegensia (yang tinggi) dengan
kemampuan melihat visi ke depan dan bersedia menerima pemikiran dan gagasan
baru (intelligent and creative);
b) Bersedia untuk bertanggungjawab penuh dalam
mengambil keputusan dan kebijakan yang penting (responsible and accountable);
c) Mempunyai kemahiran dalam berkomunikasi (lisan
dan tulisan) dan kemahiran dalam melakukan negosiasi (communicative and open to reason).
Untuk mengarahkan kebijakan dan mendidik
anggota kepolisian menjadi polisi-intelektual dan sebagai pemecah-masalah, maka
diperlukan sejumlah tenaga pilihan yang mampu dan mau melakukan strategi ini.
Mereka adalah doktor-doktor ilmu kepolisian yang merupakan harapan melanjutkan
reformasi di bidang kepolisian Indonesia.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pendapat Penulis setuju/tidak setuju
Kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan cenderung dibagi dalam tiga
pengelompokan besar, yaitu Ilmu-Ilmu Alamiah (Natural Sciences), yang mengkaji
gejala-gejala alamiah; Pengetahuan Budaya (Humanitas), yang mengkaji
dokumen-dokumen warisan budaya; dan, tumbuh diantara kedua bidang besar ini,
sebagai bidang besar yang lebih baru, Ilmu-ilmu sasial (Sosial Sciences), yang
mengkaji perilaku manusia yang mempunyai kepercayaan, ideologi, pengetahuan,
nilai-nilai, aturan-aturan, motivasi dan banyak lagi yang menjadikannya mahkluk
yang berbudaya dan mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan sendiri
mengenai tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan[7].
Zaman semakin lebih maju, dan pengetahuan manusia semakin bertambah,
demikian juga cabang-cabang ilmu pengetahuan semakin banyak. Walaupun cabang
ilmu pengetahuan semakin banyak, tetapi tidak akan keluar dari pembagian tiga
kelompok besar ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu Kepolisian dapat didefenisikan
sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial
dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dan masyarakat,
mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari
tehnik-tehnik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta
cara-cara pencegahannya[8].
Sementara menurut Prof. Mardjono
Reksodiputro, SH, MA bahwa Ilmu
Kepolisian adalah ilmu yang mempelajari penegakan hukum dan pemecahan masalah
sosial melalui pendekatan teori, konsep-konsep yang jelas, dengan mengembalikan
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara [9].
Dalam hal bahwa ilmu kepolisian merupakan ilmu interdisiplin atau ilmu antar
bidang penulis (saya) sangat setuju dengan pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Bahwa ilmu Kepolisian secara
garis awalnya memang multidisiplinari tetapi perlahan-lahan sudah mulai menjadi
interdisiplinari sesuai harapan Prof. Parsudi Suparlan walaupun Prof. Harsja W.
Bachtiar masih menganggapnya sebagai multidisciplinary.
Corak antarbidang (interdisciplinary)
yang didesain tersebut harus terfokus pada seperangkat pengetahuan yang
nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan sebagai acuan
dalam penerapan tugas tugas profesinya. Untuk itu sebuah program pendidikan
tinggi Ilmu Kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah seharusnya
mendesain sebuah kurikulum yang coraknya antarbidang (interdisciplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di
KIK (Kajian Ilmu Kepolisian) UI. Saat ini kurikulum tersebut yang coraknya
antarbidang (interdisciplinary)
terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah antara satu sama lainnya
saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang
bulat dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang
meliputi metode dalam menganalisa serta memahami suatu permasalahan untuk
penerapannya yang cocok dengan situasi serta lingkungan setempat. Kurikulum KIK
yang bersifat antarbidang (interdisciplinary)
sangat membantu mahasiswa baik yang bersumber dari kepolisian maupun umum untuk
menerapkan ilmunya sesuai dengan perkembangan zaman saat ini yang masih sangat
dibutuhkan jiwa-jiwa polisi yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas mampu
menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks di masyarakat baik permasalahan
sosial, budaya dan keamanan yang merupakan tugas pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Penulis (saya) juga sangat setuju bahwa Ilmu Kepolisian merupakan suatu
ilmu yang bersifat keahlian seperti yang disampaikan oleh Prof. Mardjono
Reksodiputro, SH, MA. Sehingga dibutuhkan pakar-pakar ilmu kepolisian yang
sangat mumpuni di bidang ilmu kepolisian. Karena ilmu kepolisian sendiri
merupakan ilmu yang bersifat secara umum yang mempelajari masalah-masalah
sosial beserta penanganannya. Seperti yang disampaikan oleh Parsudi Suparlan
bahwa Ilmu Kepolisian adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari
masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial
dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan
keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai
tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya[10].
Sebagai sebuah bidang ilmu yang antar-bidang maka coraknya adalah
eklektik yaitu Ilmu Kepolisian. Sehingga, berbagai bidang ilmu pengetahuan yang
mendukung dan menjadikannya sebagai Ilmu Kepolisian terserap menjadi bagian
dari Ilmu Kepolisian dan tidak seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bidang
ilmu yang berbeda dari Ilmu Kepolisian, tetapi ada dalam cakupan bidang Ilmu
Kepolisian. Misalnya, mata kuliah yang berisikan teori-teori mengenai
“kebudayaan polisi” yang ada dalam Ilmu Kepolisian bukan lagi dan tidak
seharusnya disebut sebagai mata kuliah “antropologi kepolisian” atau “sosiologi
pengetahuan tentang kepolisian” atau “administrasi kepolisian” dan bukan “ilmu
administrasi untuk polisi” atau “hukum kepolisian” bukan pula “Ilmu hukum
kepolisian”, dan sebagainya. Sehingga dibutuhkanlah pakar-pakar di bidang Ilmu
Kepolisian atau ahli-ahli di bidang kepolisian yang mampu menjawab semua
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Ilmu Kepolisian itu sendiri.
Pakar-pakar tersebut dapat lahir sejak dari lembaga pendidikan dasar yaitu
Akademi Kepolisian yang sekarang sudah melulusakan Taruna-taruna nya
(mahasiswa) menjadi Strata S-1, kemudian ada STIK-PTIK yang melahirka
sarjana-sarjana ilmu kepolisian yang terampil dan terpercaya dalam bidang ilmu
kepolisian. Selanjutnya ada pendidikan pascasarjana Magister ilmu kepolisian
yang diselenggarakan oleh pihak UI (Universitas Indonesia) yang dikenal denga
KIK yaitu Kajian Ilmu Kepolisian dan S-2 STIK-PTIK yang menghasilkan output
Magister Ilmu Kepolisian yang keduanya bersama-sama menciptakan lulusan-lulusan
master yang lebih handal dan profesional dalam bidang Ilmu Kepolisian.
Selanjutnya untuk tataran Doktor Ilmu kepolisian UI (Universitas Indonesia)
telah melahirkan Doktor-doktor ilmu kepolisian antara lain : Jusuf (2004),
Chrysnanda DL (2006), I.Indiarto (2006), Irawati Harsono (2007), Agus Wantoro (2007), Petrus R.Golose (2008),
Rycko A.Dahniel (2008); Aris Budiman (2008), Benny J.Mamoto (2008) dan
Bakharuddin M.Syah (2009). Sementara di STIK-PTIK juga sudah mulai dengan
pendidikan doktoral S-3 STIK-PTIK angkatan pertama mulai tahun 2015 dan masih
berjalan.
Dalam hal perlunya polisi yang intelektual dalam menangani problem
solver yang terdapat di masyarakat seperti yang diutarakan oleh Prof. Mardjono
Reksodiputro, SH, MA. Penulis sangat setuju bahwa sangat diperlukan
polisi-polisi yang intelektual dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang
kompleks yang terjadi di masyarakat dan problem solver yang tepat agar
masalah-masalah yang timbul segera cepat dan tepat diatasi dan tidak
menimbulkan permasalahan yang malah meluas dikarenakan dengan perkembangan
zaman yang sudah sangat mutahir (era digital) ini segala isu-isu yang kecil bisa
cepat menyebar dan menjadi permaasalahan yang lebih luas atau besar yang menimbulkan
keresahan di masyarakat Indonesia. Maka dari itu sangat dibutuhkan
polisi-polisi yang mempunyai intelegensia yang tinggi dengan kemampuan melihat
visi ke depan dan bersedia menerima pemikiran dan gagasan baru (intelligent and creative), polisi yang bersedia
untuk bertanggungjawab penuh dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang
penting (responsible and accountable),
polisi yang mempunyai kemahiran dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan
dan kemahiran dalam melakukan negosiasi (communicative
and open to reason). Sehingga bisa menciptakan suasana tentram dan damai
dalam masyarakat Indonesia serta mampu mengawal pembangunan Bangsa dan Negara
menjadi lebih adil dan makmur demi kesejahteraan masyarakat Indonesia itu
senidiri.
2.
Pendidikan Polri Menghadapi Tantangan Masa
Depan
Saat ini perkembangan zaman berjalan sangatlah cepat seiring
perkembangan teknologi yang meningkat dan tidak terbatas menembus dunia nyata
maupun dunia maya. Isu-isu globalisasi yang kian merebak dan mulai masuk
kesemua lini kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia. Polri sebagai
pengawal pembangunan Negara dalam bidang kemanan Negara dituntut untuk lebih
profesional dan independent dalam menghadapi setiap ancaman dan permasalahan
sosial yang terjadi. Upaya strategis
untuk membangun profesionalisme Polri harus melakukan pembenahan dalam berbagai
aspek organisasi, yakni pembenahan dibidang SDM (Sumber Daya Manusia) yaitu
tahap paling dasar adalah pendidikan sebagai unsur utama yang sekaligus
menyentuh pemberdayaan aspek kultural, profesionalitas dan keterampilan anggota
Polri. Pembenahan ini diharapkan dapat mewujudkan personil Polri yang mampu
menjalankan tugas pengabdian dan pelayanan prima kepada masyarakat yang
senantiasa menghadapi tantangan masa depan yang sangat kompleks.
Untuk menghasilkan outpu-output polisi yang mampu menjawab tantangan
masa depan dan profesionalisme bagi polisi sangat penting untuk ditingkatkan
dan dimantapkan dalam rangka mewujudkan harapan masyarakat terhadap sosok-sosok
polisi yang ideal. Perumusan strategi pelaksanaan standarisasi profesionalisme
Polri terus dilakukan oleh Polri. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan
masyarakat yang membutuhkan polisi dengan sikap ramah dan lemah lembut dalam
pelayanan serta tegas dalam penegakan hukum dapat tercapai. Tuntutan mendasar
yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat terwujud maka dapat
dimulai dari proses rekrutmen anggota polri yang baik. Untuk memperbaiki proses
rekruitmen anggota Polri agar semakin berkualitas, Polri telah melakukan
perubahan substansi dan kultur yang diwujudkan dalam akselerasi transformasi di
tubuh Polri itu senidiri, utamanya pada proses penerimaan anggota Polri dengan
mengacu pada prinsip dasar penerimaan yaitu Bersih, Transparan, Akuntabel dan
Humanis.
Untuk menjaring para calon pendaftar, Polri melakukan berbagai
sosialisasi terbuka, baik melalui media massa, spanduk, baliho maupun
sosialisasi secara langsung ke masyarakat atau ke sekolah. Semua tahapan
seleksi dilakukan secara terbuka di mana seluruh peserta seleksi bisa melihat
sendiri hasil seleksi di setiap tahapannya. Mulai dari proses penerimaan
berkas, pemeriksan administrasi, kesehatan, tes akademik, psikotes, dan
kesamaptaan dan jasmani hingga proses kelulusan semua dalam pengawasan. Sesuai
instruksi Kapolri yang menegaskan bahwa dalam setiap tahun anggaran penerimaan,
setiap Panitia Polda harus membentuk Tim Pengawas Internal yaitu terdiri dari
Itwasda dan Bidpropam Polda setempat dan Tim Pengawasa Eksternal yaitu terdiri
dari Diknas, Disdukcapil, IDI, HIMPSI, Akademisi, Guru Olahraga, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Adat, LSM, Media Massa untuk mengawasi/menyaksikan
pelaksanaan setiap tahapan seleksi secara ketat, terus menerus, transparan[11].
Serta diharapkan masyarakat juga terus menerus berperanserta dalam mengawasi
setiap tahapan seleksi penerimaan anggota Polri, sehingga akan menghasilkan
output anggota Polri yang berkualitas yang mampu menghadapi segala macam
tantangan di masa depan, memiliki Integritas yang tinggi dalam pekerjaan dan
terpenting adalah memiliki sikap melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Setelah periode rekruitmen terpenuhi kemudian masuklah pada sistem
pendidikan kepolisian yang berkarakter yang mampu mendidik dan membina
polisi-polisi menjadi sosok polisi yang diharapkan oleh masyarakat. Pendidikan
Polri merupakan suatu proses untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan serta sikap yang dibutuhkan dalam pemenuhan tuntutan tugas-tugas
kepolisian. Selain itu pendidikan Polri juga merupakan suatu rangkaian kegiatan
dari siklus pembinaan manajemen sumber daya manusia sehingga penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan Polri tetap berpegang pada prinsip keterpaduan dengan
tujuan untuk mengakomodir sistem pendidikan yang diterapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas). Prinsip keterpaduan ini dapat dilihat dengan
adanya ketentuan bahwa semua sistem dan jenjang kependidikan Polri berada dalam
satu institusi/lembaga yaitu Lemdikpol (Lembaga Pendidikan Polri) [12],
yang mengarah pada sistem pendidikan satu pintu. Lembaga Pendidikan Polri
(Lemdikpol), bertugas merencanakan, mengembangkan, dan menyelenggarakan fungsi
pendidikan pembentukan dan pengembangan berdasarkan jenis pendidikan Polri
meliputi pendidikan profesi, manajerial, akademis, dan vokasi. Unsur pelaksana Lemdikpol
membawahi atau terdiri dari[13] :
Ø Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian
(Sespimpol), adalah unsur pelaksana pendidikan dan staf khusus yang berkenaan
dengan pengembangan manajemen Polri.
Ø Akademi Kepolisian (Akpol), adalah unsur
pelaksana pendidikan pembentukan Perwira Polri.
Ø Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), adalah
unsur pelaksana pendidikan dan staf khusus yang berkenaan dengan pendidikan
tinggi dan pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian.
Ø Sekolah Pembentukan Perwira, adalah unsur
pelaksana pendidikan pembentukan Perwira Polri yang bersumber dari bintara
kepolisian.
Ø Pendidikan dan Pelatihan Khusus Kejahatan
Transnasional.
Melalui sistem pendidikan dan latihan polri ini diharapkan akan dapat
melahirkan sosok-sosok Polri yang profesional dan berkualitas yang mampu
menghadapi tantangan masa depan. Selain memiliki kemampuan, skill, pengetahuan
yang luas juga harus memiliki sikap, mental dan perilaku yang humanis,
berwibawa dan cerdas, sesuai dengan filisofi pendidkan Polri yaitu Mahir,
Terpuji dan Patuh Hukum. Kondisi semacam ini sangat diperlukan untuk menjawab
tantangan Polri masa kini dan yang akan datang terhadap tuntutan-tuntutan
masyarakat yang semakin luas, tuntutan akan perubahan yang terjadi agar Polri
lebih dapat bermitra dengan masyarakat sehingga akan menumbuhkan keyakinan baru
dalam tubuh Polri melalui perubahan kultur/budaya kepolisian dari budaya
militeristik menjadi budaya sipil. Perubahan ini diharapkan akan dapat
mendorong terciptanya suatu kondisi yang baru di lingkungan kepolisian sehingga
lama kelamaan akan muncul suatu hubungan yang harmonis antara polisi dan
masyarakat sehingga dapat mempertemukan polisi dan masyarakat dalam wadah
kerjasama yang baik dan dalam hubungan kepercayaan yang kokoh dan kuat.
Pendidikan Polri diselenggarakan dengan mengintegrasikan aspek
pengetahuan yang merupakan penekanan dari segi pendidikan sehingga akan lebih
terlihat sempurna yaitu pengetahuan yang ada diaplikasikan dalam tugas-tugas
kepolisian. Pendidikan yang diselenggarakan mempunyai tujuan yaitu untuk
membentuk sumber daya manusia yang mempunyai keahlian-keahlian tertentu seperti
komunikasi, negosiasi sehingga akan berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat
dan juga bertujuan untuk melengkapi sumber daya manusia Polri dengan pengetahuan
(knowledge), keahlian (skill) dan tingkah laku (attitude) yang dibutuhkan sesuai dengan
tuntutan tugas di lapangan. Menurut Benjamin S. Bloom hal ini sesuai dengan
Teori Taxonomy Bloom bahwa tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain[14],
yaitu:
·
Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan,
pengertian, dan keterampilan berpikir.
·
Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara
penyesuaian diri.
·
Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku
yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,
berenang, dan mengoperasikan mesin.
Dengan teori tersebut dapat dianalisis bahwa dalam pendidikan Polri,
dilihat dari Cognitif Domain
diharapkan akan dapat mencetak hasil didik yang mempunyai pengetahuan yang
tinggi. Pengetahuan ini tidak hanya terbatas pada pengetahuan tentang
kepolisian saja namun juga pengetahuan yang menyangkut ilmu-ilmu lain yang
berkaitan dengan bidang kepolisian mengingat ilmu kepolisian ini sangat komplek
yang terdiri dari berbagai bidang, seperti yang disampaikan oleh Prof Harsja
Bachtiar yang menyatakan bahwa “,masing-masing sesuai dengan kelaziman cabang
ilmu pengetahuan sendiri-sendiri. Pengetahuan demikian bisaanya dikenal sebagai
pengetahuan multidisiplin, pengetahuan yang diperoleh melalui sejumlah
pengkajian yang sesungguhnya terpisah satu dari yang lain meskipun memusatkan
perhatian pada permasalahan yang sama[15].”
Dengan pengetahuan kepolisian yang mendalam serta ditambah ilmu-ilmu lain yang
berkaitan dengan tugas kepolisian maka diharapkan hasil didik tersebut akan
mampu menjawab tantangan tugas di lapangan yang semakin hari semakin berkembang
sehingga akan dapat melatih anggota yang bersangkutan untuk dapat berfikir
secara cepat dan tepat dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada di
masyarakat di masa kini dan masa yang akan datang.
Dilihat dari Affective Domain,
hasil didik tersebut dalam melaksanakan tugasnya diharapkan akan lebih
mempunyai rasa percaya diri karena telah didukung oleh kemampuan secara
intelektual (kognitif) dan juga lebih dapat menyesuaikan diri dengan situasi
tugas apapun apalagi tugas kepolisian ini berhubungan dengan masyarakat yang
notabene masyarakat Indonesia sangatlah komplek dan beragam baik suku, adat,
bahasa, budaya, kebisaaan yang tersebar dari sabang sampai merauke. Berkaitan
dengan Psychomotor Domain maka hasil
didik diharapkan akan mempunyai keterampilan dalam fungsi kepolisian dalam
melaksanakan tugasnya seperti keterampilan dalam melakukan penyidikan dan
penyelidikan, keterampilan dalam melakukan pendekatan dengan masyarakat,
keterampilan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan tugas
pokok Polri yaitu melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, menegakkan
hukum, serta mememlihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
3.
Indonesia yang multi-kultural dan kemungkinan
perlunya transformasi organisasi.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural hal itu bisa
dibuktikan dengan masyarakat Indonesia terdiri dari lebih 300 sukubangsa, 250
atau lebih bahasa/dialek, terdapat 5 agama yang diakui oleh pemerintah, 400
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengenal berbagai sistem hukum
(nasional, agama, adat), mengenal berbagai sistem kerabat (patrilineal,
matrilineal, parental), dan berbagai sistem perkawinan. Masyarakat Indonesia
juga memperlihatkan sifat dualistis di mana terdapat orang kota dan orang desa,
kaya dan miskin, ekonomi modern dan ekonomi tradisional, terdidik dan tidak
terdidik[16].
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk atau multikultural.
Kebhinekaan adalah kenyataan dari masyarakat Indonesia. Harus diakui bahwa
pendiri negara kita mempunyai visi yang maju ke depan dengan menentukan bahwa
motto Indonesia adalah “Bhineka tunggal Ika”. Mely G Tan dalam makalah kuliah
“Masalah Sosial dan Isu HAM” yang berjudul “Kebhinekaan dan Integrasi Sosial :
das Sein dan Das Sollen” mengatakan bahwa masyarakat Indonesia bersifat
pluralistis yang ditandai dengan beranekaragamnya sukubangsa, agama, ras,
bahasa, sistem hukum, sistem kerabat, dan sistem perkawinan. Masyarakat
Indonesia juga memperlihatkan sifat dualistis yang ditandai dengan adanya orang
kota dan orang desa, terdidik dan tidak terdidik, kaya dan miskin, ekonomi
modern dan ekonomi tradisional, golongan mayoritas dan minoritas yang kesemua
itu memperlihatkan suatu stratifikasi sosial yang sangat timpang. Parsudi
Suparlan dalam bukunya “Ilmu Kepolisian”[17] mengatakan
bahwa konsep masyarakat majemuk Indonesia harus digeser penekanannya menjadi
masyarakat multikultural Indonesia. Cita-cita reformasi adalah membangun
kembali dan merombak keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat majemuk yang
telah dibangun oleh Orde Baru dan yang telah merusak Indonesia. Inti dari
cita-cita reformasi tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis,
ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari
KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang
menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang
mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan masyarakat Indonesia yang
dicita-citakan tersebut adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengangungkan
perbedaan dalam kesederajatan. Baik secara individual, sosial, dan kebudayaan.
Dalam multikulturalisme penekanannya bukan hanya pada kesederajatan dalam
perbedaan, tetapi juga pada upaya melindungi keanekaragaman kebudayaan termasuk
kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai minoritas. Sukubangsa dalam
masyarakat multikultural tetap ada. Akan tetapi, posisi dari
sukubangsa-sukubangsa yang ada dalam masyarakat multikultural adalah sejajar
atau sederajat, dan sukubangsa sebagai sebuah ideologi dan sebuah satuan
politik diredupkan peranannya. Dalam masyarakat multikultural keanekaragaman
keyakinan keagamaan dan kesederajatannya juga dijamin dan diupayakan untuk
dilindungi oleh negara. Keyakinan keagamaan yang juga bercorak primordial dan
mempunyai potensi pemecah belah kesatuan bangsa melalui batas-batas sosial
budaya yang diperkuat oleh keyakinan keagamaan, sebaiknya juga diatur sesuai
dengan atau mengikuti model sukubangsa dan kesukubangsaan dalam masyarakat
multikultural.
Sedangkan menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA. dalam makalah
kuliahnya yang berjudul ”Multikulturalisme dan Negara-Nasion serta Kejahatan
Transnasional dan Hukum Pidana Internasional”[18]
menegaskan bahwa globalisasi dapat berdampak cukup signifikan bagi masyarakat
Indonesia melalui pengaruh ekonominya, pengaruh politik, sosial dan kultural.
Pemahaman dan kesadaran kita akan dampak globalisasi ini mewajibkan kita untuk
memperkuat ”masyarakat majemuk Indonesia” agar tidak terdisintegrasi. Dan untuk
menghindari terjadinya disintegrasi maka menurut Prof. Mardjono Reksodiputro,
SH, MA. konsep masyarakat majemuk didekati dengan konsep masyarakat
multikultural. Pendekatan ini akan menggeser penekanan terhadap keanekaragaman
”sukubangsa” menjadi penekanan terhadap keanekaragaman ”kebudayaan”.
Berbarengan dengan itu keanekaragaman kesukubangsaan diperlemah dan di samping
itu harus dibangun konsensus serta kebijakan politik secara nasional, untuk
meletakkan posisi kebudayaan seperti apapun coraknya berada dalam kesetaraan
derajat. Pendekatan ideologi multikultural diharapkan dapat memperkuat bangsa
Indonesia sebagai penghuninya yaitu masyarakat Indonesia itu sendiri serta
untuk menghindari bahwa globalisasi akan berpengaruh pada ”rasa kesukubangsaan”
dan menimbulkan konflik antara sukubangsa seperti beberapa kali yang terjadi di
Indonesia.
Dilatarbelakangi oleh masyarakat Indonesia yang multikultural atau
majemuk bisa menyebabkan terjadinya konflik sosial maupun gejala-gejala
permasalahan yang timbul di masyarakat. Sehingga untuk mengimbanginya
diperlukannya transformasi organisasi yang mampu menyesuaikan dengan perubahan
kultur masyarakat Indonesia yang majemuk salah satunya bisa dalam bentuk
reformasi birokrasi. Dalam hal ini penulis akan menjabarkan perlunya
transformasi organisasi yang berkaitan dengan kepolisian yaitu transformasi
birokrasi Polri. Kalau kita berbicara tentang birokrasi yang tidak jauh dari sistem
politik suatu sistem pemerintahan maka akan berhubungan dengan Negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making),
kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution) atau alokasi (alocation)[19],
karena politik selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan masyarakat tercakup juga pada
kepolisian. Menurut Thoha birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai
“official dom” atau kerajaan pejabat[20].
Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk
organisasi yang digolongkan modern. Pejabat yang menduduki jabatan tertentu
dalam birokrasi pemerintah mempunyai kekuasaan yang sangat menentukan, karena
segala urusan yang berkaitan dengan jabatan itu, yang menentukan orang yang
berada dalam jabatan tersebut. Jabatan yang berada dalam hirarki jabatan
tersusun hirarkis dari atas kebawah, dimana jabatan yang berada diatas
mempunyai kewenangan jabatan yang lebih besar daripada jabatan di bawahnya. Dan
semua orang yang menduduki pada jabatan tersebut, mendapat segala fasilitas
yang mencerminkan akan kekuasaan.
Birokrasi dalam pemerintahan yang menganut birokrasi Weberian akan
menunjukkan cara-cara officialdom,
dimana para pejabat birokrasi pemerintah merupakan pusat atau sentral dari
semua penyelesaian urusan masyarakat[21].
Dan masyarakat tergantung kepada pejabat tersebut, bukannya pejabat itu
tergantung pada masyarakat sehingga akhirnya berdampak pada pelayanan kepada
masyarakat tidak diletakkan pada tugas yang utama, namun menjadi tugas yang
kesekian. Selain itu berkembang pula upaya untuk menyenangkan hati atasan dalam
bentuk penghormatan dan pengabdian yang sekarang ini adalah dalam bentuk upeti.
Upeti ini menjadi penting karena gajinya pejabat kecil, sehingga pejabat itu
akan dinilai loyal atau baik oleh atasannya, maka akan mudah untuk mendapat
atau mempertahankan jabatan/posisinya. Karena pada posisi atau jabatan tertentu
(yang dianggap basah) memiliki kewenangan fasilitas dan keistimewaan. Hal ini
termasuk pada level atas hingga bawah atau telah menjadi kebudayaan dalam
organisasi.
Sebagai suatu kegiatan yang bermula pada sesuatu titik, maju lewat
sederetan langkah, dan berpuncak dalam sesuatu hasil yang diharapkan oleh
mereka yang terlibat sebagai suatu perbaikan terhadap titik awal. Perubahan
pada organisasi pada hakekatnya untuk mempertahankan suatu keseimbangan dimana
menuntut suatu penyesuaian untuk mencapai suatu keadaan yang diharapkan.
Budaya dalam organisasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan bersama
dan berulang-ulang oleh anggota organisasi yang mempunyai makna bersama. Dalam
hal ini budaya yang ada pada organisasi Polri yang menyebabkan tidak dipercaya
oleh masyarakat tetapi tetap dilakukan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Misalnya, anggota Polri melakukan pemerasan, melakukan pungli, dan melakukan
diskresi yang mengarah ketindakan korupsi. Maka dari itu perlu dilakukan
reformasi birokrasi secara menyeluruh di dalam tubuh Polri. Dalam menuju Polri
yang professional dan memperbaiki birokrasi secara menyeluruh perlu dilakukan
perubahan kebudayaan dalam organisasi Polri yang meliputi :
1.
Kode etik Polri
Suatu
peraturan atau petunjuk yang jelas dan dapat dijadikan sebagai acuan atau
pedoman para petugas Polri dilapangan baik dari tingkat manajemen maupun
individu mulai dari tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek. Kode etik
itu berisi aturan, norma-norma yang berkaitan dengan moral dalam pelaksanaan
tugas dari pangkat Bharada sampai dengan Jendral mana yang boleh dilakukan dan
yang mana tidak boleh dilakukan sehingga merupakan suatu kebanggaan bagi
anggota Polri dan dapat dijadikan sebagai pegangan agar hal-hal yang memalukan
dapat tidak dilakukan.
2.
Standarisasi Tugas Kepolisian
Standarisasi
tugas Kepolisian ini mencakup antara lain pedoman yang dimiliki oleh setiap
anggota Polri, yang mana setiap fungsi berbeda dengan fungsi yang lain.
Misalnya standarisasi tugas di Reserse tidak sama dengan anggota yang bertugas
di fungsi Lalulintas. Dengan adanya standarisasi ini petugas kepolisian akan
melaksanakan tugas dan bertindak dalam pelayanan masyarakat sesuai dengan
standarisasi yang telah ditetapkan sebagai pedoman disetiap fungsi.
3.
Uji Kelayakan
Uji
Kelayakan ini sebagai syarat utama untuk menduduki jabatan tertentu (kapolda,
Kapolwil, Kapolres dan Kapolsek) atau pejabat staff yang dilakukan oleh pejabat
yang independent. Dengan diadakan uji kelayakan tersebut dimaksudkan agar
pejabat yang menjabat jabatan tertentu akan bekerja secara obyektif dan efektif
serta mempunyai rasa tanggungjawab terhadap tugasnya. Dan apabila terdapat
penyimpangan atau pelanggaran pejabat tersebut siap menerima hukuman sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
4.
Sistem Penilaian Kerja
Bagian
yang diberi kewenangan untuk menilai kinerja menggunakan pedoman yang telah
ditetapkan dalam standarisasi sehingga dalam memberikan penilaian berdasarkan
dengan pedoman. Dengan mengacu pada pedoman penilaian maka pejabat yang dinilai
tidak dapat melakukan KKN atas pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan dan
apabila melakukan pelanggaran siap untuk menerima hukuman.
5.
Sistem Penghargaan dan Hukuman
Sistem
ini diberikan kepada anggota Polri yang berprestasi dalam pelaksanaan tugasnya
dan memberikan hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Dengan mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, maka keberhasilan petugas dilapangan
dapat terukur dan yang melakukan penyimpangan harus mempertanggungjawabkan atas
perbuatan yang dilakukannya.
Dalam pembahasan Reformasi Birokrasi khususnya Polri, maka perlu
menerapkan prinsip good governance yaitu
cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem
pengadilannya bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggungjawab kepada publik[22], dalam
memberikan jaminan keamanan, ketertiban melalui penegakan hukum serta mampu
memberikan perlindungan serta penghargaan terhadap hak asasi manusia kepada
masyarakat, dengan kata lain bahwa Reformasi Birokrasi merupakan faktor yang
sangat penting untuk diuraikan menuju pelayanan yang efektif dan efisien kepada
masayarakat Indonesia yang majemuk, karena secara faktual instutusi Polri yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat / publik selama ini masih cukup banyak
disoroti melakukan tindakan-tindakan pembiaran atas keluhan masyarakat dan
masih banyak kekurangan, maka dalam rangka menciptakan Polri yang mampu
melayani, melindungi masyarakat secara baik dan memahami keadaan awal Polri
pada saat sebelum berangkat menuju Reformasi Birokrasi kondisi Polri yang
memerlukan perbaikan dan perubahan sehinga Reformasi kultural dapat semaksimal
mungkin berjalan secara efektif dalam tubuh Polri dan perlu adanya upaya
percepatan (akselerasi) dalam pembenahan kultur Polri yang meliputi 3 program
akselerasi utama yaitu keberlanjutan program, peningkatan kualitas kinerja dan
komitmen terhadap organisasi. Ketiga Program Akselerasi utama tersebut
selanjutnya ditindak lanjuti dengan adanya Program Unggulan Quick Wins yang
merupakan Program Akselerasi dan Transformasi Polri dalam rangka membenahi
Polri sesuai dengan tugas pokok, peran, dan fungsinya. Polri telah menetapkan
Grand Strategi Polri 2005-2025 yang terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu
2005-2009 trust building, 2010-2015 partnership building, dan 2016-2025 strieve for excellence. Sejalan dengan
sudah habisnya waktu pelaksanaan tahap pertama dan tahap kedua selanjutnya
sedang berjalan tahap ketiga, Polri berupaya untuk mempercepat pencapaiannya
melalui Program Akselerasi dan Transformasi Polri mulai dari keberlanjutan
program, peningkatan kualitas kerja dan komitmen terhadap organisasi dalam
upaya membangun Polri yang mandiri, professional, dan dipercaya masyarakat.
Sehingga mampu sebagai garda terdepan dalam melindungi, mengayomi dan melayani
masyarakat Indonesia yang multikuktural.
C.
KESIMPULAN
1.
Dari uraian di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
a.
Ilmu
kepolisian merupakan ilmu interdisiplin atau ilmu antar bidang, penulis (saya)
sangat setuju dengan pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro,
SH, MA. Bahwa ilmu Kepolisian secara garis awalnya
memang multidisiplinari tetapi perlahan-lahan sudah mulai menjadi
interdisiplinari sesuai harapan Prof. Parsudi Suparlan. Ilmu Kepolisian
merupakan suatu ilmu yang bersifat keahlian seperti yang disampaikan oleh Prof.
Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Sehingga dibutuhkan pakar-pakar ilmu kepolisian
yang sangat mumpuni di bidang ilmu kepolisian. Karena ilmu kepolisian sendiri
merupakan ilmu yang bersifat secara umum yang mempelajari masalah-masalah
sosial beserta penanganannya. Dan sangat diperlukan polisi-polisi yang
intelektual dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang kompleks yang
terjadi di masyarakat dan menjadi problem solver yang tepat agar
masalah-masalah yang timbul segera cepat dan tepat diatasi dan tidak
menimbulkan permasalahan yang malah meluas dikarenakan dengan perkembangan
zaman yang sudah sangat mutahir (era digital) ini segala isu-isu yang kecil
bisa cepat menyebar dan menjadi permaasalahan yang lebih luas atau besar yang
menimbulkan keresahan di masyarakat Indonesia. Maka dari itu sangat dibutuhkan
polisi-polisi yang mempunyai intelegensia yang tinggi dengan kemampuan melihat
visi ke depan dan bersedia menerima pemikiran dan gagasan baru, bersedia untuk
bertanggungjawab penuh dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang penting dan
mempunyai kemahiran dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dan kemahiran
dalam melakukan negosiasi.
- Untuk pendidikan Polri dalam menghadapi tantangan masa depan
maka dimulai dari sistem rekruitmen dengan mengacu pada prinsip dasar penerimaan yaitu Bersih,
Transparan, Akuntabel dan Humanis. Kemudian membentuk Tim Pengawas
Internal yaitu terdiri dari Itwasda dan Bidpropam Polda setempat dan Tim
Pengawasa Eksternal yaitu terdiri dari Diknas, Disdukcapil, IDI, HIMPSI,
Akademisi, Guru Olahraga, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, LSM, Media Massa
untuk mengawasi/menyaksikan pelaksanaan setiap tahapan seleksi secara
ketat, terus menerus, transparan. Melalui sistem pendidikan dan latihan
polri ini diharapkan akan dapat melahirkan sosok-sosok Polri yang
profesional dan berkualitas. Melalui peningkatan pengetahuan (knowledge),
keahlian (skill) dan tingkah laku (attitude) yang dibutuhkan sesuai dengan
tuntutan tugas di lapangan, sehingga menghasilkan ouput polisi-polisi yang
mampu menghadapi tantangan masa depan.
- Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural
hal itu bisa dibuktikan dengan masyarakat Indonesia terdiri dari lebih 300
sukubangsa, 250 atau lebih bahasa/dialek, terdapat 5 agama yang diakui oleh
pemerintah, 400 kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengenal berbagai
sistem hukum (nasional, agama, adat), mengenal berbagai sistem kerabat
(patrilineal, matrilineal, parental), dan berbagai sistem perkawinan.
Dalam multikulturalisme penekanannya bukan hanya pada kesederajatan dalam
perbedaan, tetapi juga pada upaya melindungi keanekaragaman kebudayaan
termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai minoritas, posisi
dari sukubangsa-sukubangsa yang ada dalam masyarakat multikultural adalah sejajar
atau sederajat, serta dalam masyarakat multikultural keanekaragaman
keyakinan keagamaan dan kesederajatannya juga dijamin dan diupayakan untuk
dilindungi oleh negara. Dalam hal perlunya transformasi organisasi adalah
sangat penting khususnya transformasi organisasi di tubuh organisasi Polri
dengan upaya peningkatan sistem birokrasi Polri, kemudian dalam menuju Polri yang
professional dan memperbaiki birokrasi secara menyeluruh perlu dilakukan
perubahan kebudayaan dalam organisasi Polri yang meliputi : Kode etik Polri, Standarisasi Tugas Kepolisian, Uji
Kelayakan, Sistem Penilaian Kerja, dan Sistem Penghargaan dan Hukuman.
2.
Saran
a.
Citra masyarakat terhadap Polri
tidak secara langsung dipengaruhi oleh posisi formal, melainkan oleh sikap dan
tindakan sehari-hari anggota Polri di lapangan yang dilihat, dirasakan, dan
dicerna oleh masyarakat. Persepsi dan penilaian masyarakat terhadap Polri
merupakan refleksi dari kultur pelayanan, kultur perlindungan, dan kultur
penegakkan hukum yang dipraktikkan oleh Polri. Untuk itu, perlu dilakukan
pembenahan secara berkesinambungan terhadap SDM Kepolisian yaitu aspek pelayanan,
mekanisme perlindungan, transparansi penegakan hukum, dan percepatan sistem
birokrasi demi meujudkan Polri yang dicintai oleh masyarakat.
b.
Dalam menciptakan kader-kader
yang akan menjadi pakar kepolisian atau ahli-ahli di bidang kepolisian sangat
perlu dukungan dari semua pihak baik dari internal organisasi kepolisian maupun
eksternal yaitu pemerintah Indonesia sendiri sehingga bisa membantu dan
mendorong para polisi yang mempunyai bibit kualititas untuk menjadi pakar
kepolisian bisa terwujud demi kepentingan organisasi Polri sendiri dan demi
masyarakat Indonesia secara luas.
c.
Dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat melihat polisi bukan sebagai perseorangan, tetapi sebagai suatu
lembaga. Tidak jarang kesalahan ”oknum”
polisi digeneralisasi sebagai kesalahan lembaga polisi secara keseluruhan. Oleh
karena itu, budaya perseorangan petugas polisi harus dapat dikendalikan dengan
budaya organisasi, dengan cara pemetaan dan pembagian terhadap tanggung jawab
perseorangan polisi dan tanggung jawab institusi organisasi Polri, serta perlunya
publikasi ke masyarakat baik melalui media cetak maupun media digital saat ini.
[1] Lihat juga: Harsja W.Bachtiar.1993.Ilmu Kepolisian: Suatu Bidang
Pengetahuan Keahlian Yang Baru, Jakarta,Agustus 1993 (tdak diterbitkan),hal 108
– 115
[2] Mardjono Reksodiputro, 2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di
Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI) – Mereka adalah: Jusuf (2004),
Chrysnanda DL (2006), I.Indiarto (2006), Irawati Harsono (2007), Agus Wantoro
(2007), Petrus R.Golose (2008), Rycko A.Dahniel (2008); Aris Budiman (2008),
Benny J.Mamoto (2008) dan Bakharuddin M.Syah (2009).
[4] Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor), Ilmu Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,2008. hal.27.
[5] Lihat Mardjono
Reksodiputro,2013, “Pendidikan Polri Yang Saya Kenal Dan Saran Menghadapi
Tantangan di Masa Depan (Makalah disampaikan di Semarang dalam Seminar PUSHAM
UII dengan AKPOL).
[6] Lihat Mardjono
Reksodiputro,2014, “Pengembangan Ilmu Kepolisian dan Implementasinya Dalam Meningkatkan
Kompetensi SDM POLRI Menuju Strive For Excellence:Ilmu Kepolisian Dengan
Pendekatan Multi-Disiplin atau Inter-Disiplin” (dalam seminar Sekolah Mahasiswa
STIK-PTIK Angkatan Ke-63).
[7] Bachtiar, Harsja W. Ilmu Kepolisian suatu cabang Ilmu Pengetahuan
yang Baru. Jakarta: Grasindo, 1994 hal 13.
[8] Suparlan, Parsudi. Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif
Antropologi Perkotaan. Cetakan I. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu
Kepolisian. 2004 hal 12.
[9] Lihat Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu Kepolisian dan
Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI).
[10] Suparlan, Parsudi. “Ilmu Kepolisian”. Yayasan Pengembangan Kajian
Ilmu Kepolisian.2009.hal 102.
[12] Lihat Peraturan Kapolri
Nomor 21 tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Organisasi
Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[13] Lihat Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia,pasal 24.
[14] Lihat Bloom, Benjamin S. Taxonomy
of Educational Objectives: The Classificationm of Educational Goals. London:
David McKay Company, Inc.1956.hal 207.
[15] Bachtiar, Harsja W. Ilmu
Kepolisian suatu cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. Jakarta: Grasindo.1994.hal
15.
[16] Lihat Mely G Tan dalam Makalah kuliah Masalah sosial dan Isu HAM.
yang berjudul “Kebhinekaan dan Integrasi Sosial : das Sein dan Das Sollen “.
1991.
[17] Suparlan, Parsudi. 2008. Ilmu kepolisian. cetakan pertama. Jakarta
: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2008. Hal 236.
[18] Lihat Mardjono Reksodiputro. “Multikulturalisme dan Negara-Nasion
serta Kejahatan Transnasional dan Hukum Pidana Internasional”, makalah dalam
Seminar Nasional tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Hukum Pidana dan
Kriminologi menghadapi Kejahatan Transnasional, Bandung, 17 Maret 2008.
[19] Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar
Ilmu Politik (Edisi
Revisi). Jakarta: PT.Gramedia pustaka Utama. 2008. hal 13.
[20] Miftah, Thoha. Kepemimpinan
Dalam Manajemen. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003.hal 115.
[21] Santoso, Priyo Budi. Birokrasi
Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: Rajawali
Press.1997.hal 15.
0 komentar:
Posting Komentar