Ditinjau
dari segi keilmuan, ilmu kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan maka Ilmu Kepolisian mempunyai paradigma
atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup ontologi, epistemologi dan
axiologi yang mempersatukan berbagai unsur-unsur yang tercakup di dalamnnya
sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh. Paradigma dalam ilmu
kepolisian adalah antar-bidang (interdisipliner). Dengan memperhatikan fase –
fase perkembangan masyarakat dan proses timbulnya tugas Kepolisian dan fungsi
Kepolisian dalam Masyarakat, ilmu Kepolisian merupakan ilmu terapan yang
menggunakan metode pendekatan sebagaimana yang digunakan dalam ilmu terapan
dengan kajian pokok sebagai berikut :
a.
Ontologi Ilmu Kepolisian Objek pembahasan ilmu Kepolisian
terdiri dari objek material dan objek forma. Dimana objek material ilmu
Kepolisian adalah hal yang diselidiki, dipandang dan atau dibahas oleh ilmu
Kepolisian baik hal – hal yang kongkret maupun hal – hal yang abstrak, yang
berdasar pada tiga bahan objek penelitian yang terkait dengan masyarakat,
Negara, dan manusia/penduduk secara individual yang disimpulkan dari
perkembangan tugas dan organ Polisi dalam masyarakat dan Negara. Sebenarnya Polisi
berasal dari masyarakat yang bertugas mengawasi masyarakat lainnya. Mereka
membentuk kelompok atau badan tertentu untuk melakukan pengawasan terhadap
pelanggaran, menindak pelakunya dan menegakkan norma kehidupan bersama seperti
yang telah disepakati sebelumnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa kegiatan polisi melekat pada masyarakatnya
dan secara alami masyarakat dapat diindikasikan sebagai pokok bahasan (objek
material ) ilmu Kepolisian. Seperti yang terjadi dalam konteks Negara,
pengemban fungsi Kepolisian sebagai fungsi pemerintahan dan yang ditunjuk oleh
Negara. Dimana Negara merupakan objek material ilmu Kepolisian dan penduduk
serta manusia sebagai individunya sebagai pokok bahasan Ilmu Kepolisian. Sedangkan
objek formal dari suatu ilmu yang khas yang memberikan keutuhan suatu ilmu dan
pada saat yang sama membedakannya dari bidang lain. Dalam membahas masyarakat
sebagai objek material, ilmu Kepolisian memfokuskan pandangannya dengan 3 fokus
pandangan, yaitu :
a)
Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka kepentingan masyarakat, objek
performanya adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat ;
b)
Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka menjamin dan mempertahankan
kepentingan dan kewibawaan Negara yang secara resmi dinyatakan dalam hukum
Negara, objek performanya adalah penegakan hukum Negara ;
c)
Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka kewajiban Polisi dalam melindungi
serta melayani hak – hak asasi dan hak – hak politik rakyat/warga
Negara/penduduk secara individual, objek performanya adalah perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
b.
Epistemologi Ilmu Kepolisian. Epistemologi ilmu Kepolisian membahas tentang
kajian filsafat dan/atau kajian ilmu Kepolisian itu sendiri, yaitu sebuah teori
mengenai hakekat ilmu Kepolisian dari sesuatu bidang ilmu pengetahuan melalui
proses sistematik dan pengujian / pembuktian tentang kebenarannya sehingga
diperoleh pengakuan yang benar dan diterima oleh umum. Pengembangan konsep awal
yang sederhana yang berasal dari dinamika proses kegiatan Kepolisian yang
sistematis, kemudian fakta dari fenomena realitas yang lazim dicatat dan diberi
lambang dengan menggunakan bahasa sehari-hari selanjutnya disosialisasikan dan
akhirnya menggunakan istilah tertentu yang baku, diberikan penjelasan yang
spesifik dalam bentuk definisi.
c.
Axiologi Ilmu Kepolisian Aksiologi Ilmu Kepolisian merupakan penjelasan
mengenai hakekat nilai - nilai ilmu Kepolisian dan penilaian mengenai kegunaan
ilmu Kepolisian sebagai bidang ilmu pengetahuan. Kemudian menimbulkan beberapa
pertanyaan sebagai berikut :
a)
Untuk apa pengetahuan berupa ilmu Kepolisian itu dipergunakan ?
b)
Bagaimana kaitan penggunaan ilmu Kepolisian dengan kaidah – kaidah moral
?
c)
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan – pilihan moral ?
d)
Bagaimana operasionalisasi metode ilmiah yang berupa teknik dan prosedur dengan
norma –norma moral dan profesi ?
Menurut
Prof. Harsya Bachtiar dalam buku beliau yang berjudul Ilmu Kepolisian: Suatu
Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru. Beliau mengatakan bahwa perkembangan
kepolisian sebagai suatu profesi terkait erat dengan perkembangan ilmu
pengetahuan berkenaan dengan masalah-masalah kepolisian, sedangkan cara
masalah-masalah kepolisian ini dikaji, diteliti, mengalami perkembangan dari
ketidakpedulian terhadap masalah-masalah ini sebagai kenyataan-kenyataan yang
perlu dipelajari secara serius menjadi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan
penelitian yang dirancang dan dilaksanakan atas dasar pemikiran rasional dan
dengan memperhatikan ilmu pengetahuan yang sudah dikembangkan. usaha untuk
menguraikan secara ilmiah keberadaan ilmu kepolisian ini sebagai suatu disiplin
tersendiri, baru dilakukan dalam tahun 1994 dalam buku Harsja Bachtiar, Ilmu
Kepolisian. Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. Dalam hal. 16 Harsja
Bachtiar berpendapat bahwa “Ilmu Kepolisian ... yang baru, terbentuk sebagai
hasil penggabungan unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu
pengetahuan yang sudah lama ...”. Dikatakan selanjutnya bahwa “Ilmu Kepolisian
lambat laun menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline) yang
baru dan yang mempunyai identitas tersendiri...”. Pada bagian pertama kutipan
di atas, memang ilmu kepolisian (yang baru) dilihat sebagai pengetahuan dengan
pendekatan “multi-bidang”, namun dalam bagian kedua dari kutipan di atas, kita
dapat menafsirkan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, ilmu kepolisian
akan “menjelma” dengan “identitas tersendiri”, sehingga menjadi suatu pengetahuan
dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin).
Harsja Bachtiar (hal. 36) juga menginginkan
bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia ini akan “... berakar pada
kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri sesuai dengan
masalah-masalah di lapangan yang dihadapi anggota-anggota kepolisian di
Indonesia ...”. Pada akhirnya beliau meminta agar ilmu pengetahuan ini juga
berusaha “... untuk mengembangkan suatu kerangka teori yang sesuai dengan tata
keteraturan berpikir logika dan juga sesuai dengan kenyataan-kenyataan ... di
Indonesia, sebagai pengatur fakta-fakta, konsep-konsep, serta
generalisasi-generalisasi...” yang nantinya akan merupakan wujud ilmu
kepolisian Indonesia. Usaha untuk meneliti gejala-gejala sosial di Indonesia
dan menggambarkan kenyataan di masyarakat, kebudayaan, dan alam lingkungan
Indonesia, yang relevan dengan pelaksanaan tugas Polri, telah dilakukan di
Program Magister KIK melalui sejumlah penelitian untuk tesis para mahasiswa.
Juga melalui Jurnal Polisi Indonesia yang mulai diterbitkan oleh program studi
KIK tiga tahun yang lalu, para dosen dan mahasiswa mendapat kesempatan
menyebarluaskan penemuan penelitian dan kesimpulan mereka.
Menurut
Prof. Parsudi Suparlan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia
merupakan kajian dengan pendekatan antar bidang (interdisplinary). Dikatakan
interdisciplinary apabila suatu masalah sudah ada dalam bingkai
penyelesaiannya, dalam artian macam metode ataupun teori sudah menjadi satu
bingkai untuk memecahkan masalah tersebut.
Ilmu
Kepolisian adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari
masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial
dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan
keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai
tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.
Sebuah
bidang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan maka Ilmu
Kepolisian mempunyai paradigma atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup
epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi yang mempersatukan berbagai
unsur-unsur yang tercakup di dalamnnya sebagai sebuah sistem yang bulat dan
menyeluruh. Paradigma dalam ilmu kepolisian adalah antar-bidang
(interdisipliner).
Jadi
ilmu kepolisian tidak seharusnya mempunyai paradigma yang multi-bidang
(multidisipliner) sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof Harsja Bachtiar. Sebab
kalau pendekatannya adalah multi-bidang, maka ilmu kepolisian hanya merupakan
penggabungan berbagai bidang ilmu pengetahuan melalui berbagai bidang
pengajaran dalam sebuah kurikulum yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak
ada kaitan antara satu dengan yang lainnya. Karena itu apabila Ilmu Kepolisian
adalah multi-bidang maka Ilmu Kepolisian tidak mempunyai paradigma, dan juga
tidak memerlukan adanya epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi yang
mencirikannya sebagai sebuah Ilmu Kepolisian.
Sebagai
sebuah ilmu yang antar-bidang, maka Ilmu Kepolisian tidak mengenal adanya ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri dalam ruang lingkup bidangnya. Jadi dalam ilmu
kepolisian seharusnya tidak mungkin harus ada antropologi, sosiologi, psikologi
atau ilmu-ilmu hukum dan sebagainya.
Karena
sebagai sebuah bidang ilmu yang antar-bidang maka coraknya adalah eklektik.
Sehingga, berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mendukung dan menjadikannya
sebagai Ilmu Kepolisian terserap menjadi bagian dari Ilmu Kepolisian dan tidak
seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bidang ilmu yang berbeda dari Ilmu
Kepolisian, tetapi ada dalam cakupan bidang Ilmu Kepolisian. Misalnya, mata
kuliah yang berisikan teori-teori mengenai “kebudayaan polisi” yang ada dalam
Ilmu Kepolisian bukan lagi dan tidak seharusnya disebut sebagai mata kuliah
“antropologi kepolisian” atau “sosiologi pengetahuan tentang kepolisian” atau
“administrasi kepolisian” dan bukan “ilmu administrasi untuk polisi” atau
“hukum kepolisian” bukan pula “Ilmu hukum kepolisian”, dan sebagainya. ( Buku
Bunga Rampai Ilmu Kepolisian , 2011 : 12)
Corak
antar bidang (interdisiplinar) yang didisain tersebut harus terfokus pada
seperangkat pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya
untuk digunakan sebagai acuan dalam penerapan tugas-tugas profesinya. Untuk
itu, sebuah program pendidikan tinggi ilmu kepolisian yang ada di lembaga
kepolisian sudah seharusnya mendisain sebuah kurikulum yang coraknya antar
bidang (interdisiplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK UI
saat ini. Di mana kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata
kuliah antara satu sama lain saling berkaitan dan saling berhubungan, namun
tetap dalam satu bingkai yang bulat, dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut
berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta
memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta
kondisi lingkungan setempat.
Sementara
menurut Dr Chrysnanda DL Ilmu Kepolisian adalah Ilmu yang mempelajari tentang :
a.
Upaya-Upaya Penegakkan Hukum Dan Keadilan.
Tercakup
dalam ilmu kepolisian adalah pengetahuan mengenai hukum dan upaya-upaya
penegakannya demi keadilan yang harus dipunyai oleh setiap perwira polisi.
Sehingga polisi dihargai dan dihormati serta dijadikan panutan yang mengayomi
oleh warga masyarakat setempat dan dijadikan sandaran yang terpercaya oleh
negara, dan sebagai tempat bagi mereka mcmperoleh bantuan dalam upaya mencari
keadilan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang mereka hadapi
sehari-hari. Dengan demikian hukum yang harus dipelajari mencakup berbagai
permasalahan sosial, bisnis dan ekonomi, politik, dan teknologi; dalam
konteks-konteks lokal atau adat, nasional, dan hubungan internasional. Para
perwira polisi tidak dididik untuk menjadi ahli hukum tetapi mengetahui
hukum-hukum yang relevan dengan tugas-tugasnya dan mempunyai kemampuan untuk
menggunakannya dalam menegakkan sesuatu ketentuan hukum dalam sesuatu peristiwa
hukum sehingga keadilan dapat ditegakkan.
b.
Teknik-Teknik Penyelidikan Dan Penyidikan Berbagai Tindak Kejahatan Serta
Cara-Cara Pencegahannya.
Tercakup
dalam ilmu kepolisian adalah pengetahuan yang harus dipunyai polisi dalam
melakukan penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan. Keahlian dalam
menyelidiki dan menyidik sesuatu tindak kejahatan, yang mencakup kejahatan
sosial, ekonomi, politik, dan kejahatan terhadap perorangan atau individu.
Keahlian menyelidiki dan menyidik hanya mungkin dapat terwujud kalau perwira
polisi mempunyai cukup pengetahuan teori dan berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Sehingga dia mampu memperoleh informasi dan menyaringnya, membuat hipotesa
untuk dijadikan pedoman kerja untuk mengumpulkan bukti-bukti yang relevan
sehingga sesuatu tindak kejahatan itu dapat dibuktikan kebenarannya. Dan
berbagai prosedur yang harus diikuti dalam mengidentifikasi tindak kejahatan
dan penjahatnya, menangkap penjahatnya, dan melaporkan sesuatu tindak kejahatan
sehingga dapat disampaikan kepada pihak kejaksaan untuk dapat dibawa ke pengadilan.
Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang
bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas
kepolisian di seluruh wilayah Indonesia yaitu memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Polri dipimpin oleh seorang Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Kepolisian sebagai badan
(organisasi) pemerintah yang diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban
umum. Dengan demikian arti polisi tetap ditonjolkan sebagai badan atau lembaga
yang harus menjalankan fungsi pemerintahan, dan sebagai sebutan anggota dari
lembaga Kepolisan sebagai lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya
tetap tunduk dan patuh pada tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah:
a.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b.
Menegakkan hukum
c.
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Organisasi Polri disusun secara berjenjang
dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan. Organisasi Polri tingkat pusat
disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri); sedang
organisasi Polri tingkat kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik
Indonesia Daerah (Polda) di tingkat provinsi, Kepolisian Negara Republik
Indonesia Resort (Polres) di tingkat kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia Sektor (Polsek) di wilayah kecamatan.
Salah
satu penjabaran dari tugas pokok Polri memelihara kemanan dan ketertiban
masyarakat yaitu dengan cara Polmas (Pemolisian Masyarakat), Model Polmas
"Pemolisian Masyarakat", merupakan bentuk Pemolisian yang
dikembangkan banyak negara dan merupakan satu model Pemolisian yang sangat
penting di Asia. Tidak seperti model Militeristik yang umumnya banyak di negara
berkembang, Polmas memiliki potensi untuk menjadi modek Pemolisian yang akan
diikuti kebanyak negara demokratis pada abad ke-21. Model Polmas berkembang
karena organisasi kepolisian di sana menyadari bahwa sebagaian besar upaya
mereka untuk "memberantas kejahatan" tidaklah efektif. Merekapun
mengadakan penelitian untuk mengetahui efektifitas kegiatan yang terdapat dalam
model Pemolisian tradisional seperti patroli preventif, reaksi cepat terhadap
peristiwa-peristiwa kejahatan, dan kegiatan investigasi kejahatan. Untuk dapat
terlaksananya Strategi Polmas tersebut dengan baik, maka setiap anggota Polri
harus memahami sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri.
Di
dalam mempelajari Polmas, ada beberapa istilah yang perlu dipahami agar dapat
melaksanakan tugas Polmas dengan sebaik-baiknya, yaitu diantaranya :
Perpolisian (policing) yaitu segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi
Kepolisian , tidak hanya menyangkut operasionalisasi (taktik / tehnik) fungsi
kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai
dari tataran menegemen puncak sampai dengan managemen lapis bawah, termasuk
pemikiran-pemikiran filsafati yang melatar belakanginya. Pemolisian (policing),
yaitu pemberdayaan segenap komponen dan segala sumber daya yang dapat
dilibatkan dalam pelaksanaan tugas atau fungsi kepolisian guna mendukung
penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal. Dan
masyarakat (Community) diartikan sebagai Sekelompok warga (laki-laki dan
perempuan) atau komunitas yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas
batas-batasnya (geografis community). Batas wilayah komunitas dapat berbentuk
RT,RW, desa, Kelurahan, ataupun berupa pasar/pusat belanja/mal, kawasan
industri, pusat/ komplek olehraga, stasiun bus/kerta api, dan lain-lainnya.
Warga masyarakat yang membentuk suatu kelompok atau merasa menjadi bagian dari
suatu kelompok berdasarkan kepentingan (communitu of interst), contohnya
kelompok berdasarkan etnis/suku, agama, profesi, pekerjaan, keahlian, hobi,
dll.
Salah
satu mengimplementasikan ilmu kepolisian pada kepolisian yaitu dengan
menerapkan sistem pendekatan polisi dengan masyarakat atau dengan istilah lain
Polmas (pemolisian masyarakat) atau community policing. Community
policing diyakini memiliki nilai sosial kultural bangsa, sejalan dengan
perkembangan masyarakat modern dan masyarakat madani yang menjunjung tinggi
nilai demokrasi dan pluralisme, egaliterisme dan partnership, mengatasi
kekerasan tanpa kekerasan, dan sebagainya. Seperti dikatakan Suparlan (2004)
gagasan membangun konsepsi (concept) bersama tentang community policing tidak
dapat dilepaskan dari munculnya kesadaran bersama adanya “keanekaragaman
sukubangsa dan keyakinan keagamaan”. Dan kesadaran kita (termasuk kepolisian)
akan adanya keanekaragaman tersebut, yang bukan sekedar masyarakat majemuk
(plural society), tetapi multikulturalisme sebagai ideologi kesederajatan,
memerlukan kemampuan pemahaman secara benar (Chrysnanda dalam Suparlan 2004:
95).
Pembangunan
pemolisian masyarakat, harus dibarengi dengan mendirikan forum-forum komunikasi
antara kepolisian dan masyarakat (police-community liaison committees). Dengan
komunikasi tersebut akan melahirkan beberapa konsensus tindakan yang diterima
dan dilaksanakan oleh warga. Pertimbangan utama dalam community policing adalah
warga memberi definisi masalah yang harus dipecahkan, warga terlibat dalam
perencanaan dan pengimplementasian kegiatan pemecahan masalah. Jadi tercipta
suatu hubungan yang erat dan saling menguntungkan antara polisi dengan anggota
masyarakat (Lihawa 2005: 18). Meskipun Polmas mengemban misi penerapan hukum
positif pada masyarakat, namun tidak lupa untuk memperhatikan norma-norma
sosial pada masyarakat itu sendiri. Memanfaatkan adat istiadat masyarakat
setempat juga merupakan indikator keberhasilan polisi dalam berinteraksi dalam
masyarakat. Ini menandakan polisi juga mempertimbangkan aspek-aspek pendekatan
secara kewilayahan ketimbang murni pendekatan hukum. Karena proses menyelesaikan
suatu masalah sosial di masyarakat tidak melulu melalui pendekatan hukum, namun
adakalanya adat istiadat setempat turut mempengaruhi penyelesaian masalah.
Dengan demikian polisi telah mencoba menginternalisasikan falsafah pemolisian
kedalam lingkungan adat masyarakat setempat. Peran polmas sangat membantu
kepolisian dalam mewujudkan birokrasi kepolisian yang baik, dengan polmas
masyarakat akan percaya serta membantu tugas-tugas yang diemban oleh kepolisian
sehingga dalam perjalanannya tugas kepolisian akan semakin ringan dan system
birokrasi akan berjalan cepat.
Polmas
diterapkan dalam komunitas-komunitas atau kelompok masyarakat yang didalam
suatu lokasi tertentu atau lingkungan komunitas berkesamaan profesi (misalnya
kesamaan kerja, keahlian, hobi, kepentingan dls), sehingga warga masyarakatnya
tidak harus tinggal di suatru tempat yang sama, tetapi dapat saja tempatnya
berjauhan sepanjang komunikasi antara warga satu sama lain berlangsung secara
intensif atau adanya kesamaan kepentingan (misalnya, kelompok ojek, hobi burung
perkutut, pembalap motor, hobi komputer dsb) yang semuanya bisa menjadi sarana
penyelenggaraan Polmas. Polmas adalah penyelenggaraan tugas kepolisian yang
mendasari pada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin
dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subyek dan masyarakat sebagai obyek,
melainkan harus dilakukan bersama oleh polisi dan melalui kemitraan polisi dan
warga masyarakat , sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang
dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk
mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban
di lingkungannya.
Strategi
Polmas adalah implementasi pemolisian proaktif yang menekankan kemitraan
sejajar antara polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penangkalan
kejahatan, pemecahan masalah sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan
Kamtibmas dalam rangka meningkatkan kepatuhan hukum dan kualitas hidup
masyarakat. Falsafat Polmas sebagai falsafah, Polmas mengandung makna suatu
model pemolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai
sosial/kemanusiaan dalam kesetaraan, menampilkan sikap prilaku yang santun
serta salaing menghargai antara polisi dan warga sehingga menimbulkan rasa
saling percaya dan kebersamaan dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang
kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup
masyarakat.
Salah
satu tantangan utama Polri ke depan adalah menciptakan polisi masa depan, yang
mampu secara terus-menerus beradaptasi dengan perkembangan sosial, budaya,
ekonomi dan politik masyarakat. Polisi harus dapat menjadi figur panutan
masyarakat agar mampu membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat begitu
pula dalah ham penanganan konflik di masyarakat. Prasyarat dari semua ini
adalah Polri harus memperbaiki citra dirinya terlebih dahulu. Untuk memperbaiki
citra Polri dibutuhkan suatu paradigma baru Polri yang sesuai dengan tuntutan
arus reformasi.
Polmas
(Pemolisian Masyarakat) merupakan paradigma baru Polri. Polmas adalah suatu
sistem atau gaya perpolisian modern yang dalam pelayanan publik lebih
menekankan kepada pentingnya penerapan pendekatan sosio-kultural, psikologis,
personal, informal, persuasive, dan akomodatif, menggantikan gaya perpolisian
konvensional yang cenderung birokratis, sentralistik, legalistik, formal/resmi,
otoriter, represif, kaku/keras, dan general/seragam.
Sebagai
suatu strategi dalam penanganan konflik social Polmas berarti model perpolisian
yang menekankan kemitraan sejajar antara Petugas Polmas dengan masyarakat lokal
dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam
keamanan, ketertiban masyarakat serta ketenteraman kehidupan masyarakat
setempat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa takut akan kejahatan
serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.
Pemolisian
dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: cepat, tepat,
akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima
dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang
transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang
unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai
dengan penegakkan hukumnya. Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam
konteks : 1. Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity
Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).
Model
pemolisian dapat dibuat 3 kategori: 1. Berbasis wilayah, 2. Berbasis
kepentingan dan 3. Berbasis dampak masalah. Ketiga kategori tersebut memiliki
pendekatan yang berbeda namun ada benang merahnya yang menunjukan adanya saling
keterkaitan satu dengan lainya. Model pemolisian ini dapat digunakan sebagai
acuan dasar/pedoman dalam mengimplementasikanya, (chrisnanda dalam artikel
http://news.detik.com/kolom/2670876).
Pada
masa sekarang ini bentuk perwujudan polmas dalam mengatasi konflik sosial salah
satunya menggunakan FKPM (Forum Kemitraan Polisi Masyarakat) Berdasarkan Skep
Kapolri No. Pol. : Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan
dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas
Polri dinyatakan bahwa dalam melakukan percepatan terwujudnya Polmas
mengamanatkan adanya pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). FKPM
merupakan forum kemitraan yang mencerminkan keterwakilan semua unsur dalam
masyarakat termasuk petugas Polmas sekaligus wadah kerja sama antara Polisi
dengan masyarakat yang mengoperasionalisasikan Polmas dalam lingkungannya yang
salah satu tugasnya guna menangani dan mencegah terjadinya konflik social di
masyarakat.
Mengingat
keberadaan FKPM sangat penting bagi operasionalisasi Polmas, maka Kapolres
selaku roda penggerak utama organisasi Polri di tingkat KOD atau daerah dituntut
mampu mengoptimalisasikan peranan dan fungsi FKPM sehingga eksistensinya
benar-benar mampu mendukung keberhasilan pelaksanaan Polmas.
Adapun
pengaruh pembentukan FKPM terhadap percepatan Polmas di tingkat KOD dapat
dibuktikan dari peran FKPM sebagai : (1) sarana/media partisipasi dan kemitraan
masyarakat; (2) wadah pemecahan masalah oleh polisi bersama warga; (3) wadah
komunikasi dan kosultasi polisi terhadap warga.
Sebagai
sarana/media partisipasi dan kemitraan masyarakat, FKPM dapat menjadi alat bagi
masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, masukan, usulan dan komplain terhadap
permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat yang terkait dengan kinerja
Polri. FKPM dapat dijadikan alat untuk menampung dan menyalurkan keinginan
masyarakat terhadap persoalan social yang dihadapi sehingga sangat baik bagi
Polri untuk mengetahui, menyerap, dan mewujudkan keinginan masyarakat. Dengan
pembentukan FKPM, satuan Polri di tingkat KOD akan menjadi peka dan sensitif
terhadap kejadian dan kecenderungan di tengah masyarakat yang akan mengarah
pada terjadinya praktek pelanggaran hukum dan gangguan terhadap keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Sebagai
wadah pemecahan masalah oleh polisi bersama warga, FKPM dapat menjadi sarana
dalam mendiskusikan, memusyawarahkan, dan membahas semua persoalan yang ada di
tengah masyarakat sehingga setiap perbedaan kepentingan antar pihak/antar
kelompok masyarakat tidak sampai mengarah pada terjadinya konflik, kekerasan
dan kerusuhan. Pembentukan FKPM dapat mendeteksi secara dini gejala dan potensi
konflik di tengah masyarakat sehingga dilakukan tindakan sebelum terjadi
konflik di tengah masyarakat. Eksistensi FKPM dapat menjembatani dan memediasi
semua persoalan di masyarakat agar diselesaikan secara damai berdasarkan
musyawarah mufakat. Dalam memecahkan persoalan masyarakat, FKPM juga perlu
memberdayakan mekanisme dan prosedur resolusi konflik yang berbasis pada
budaya/adapt masyarakat yang biasanya justru lebih manjur dalam menyelesaikan
masalah masyarakat. Hal ini sejalan dengan filosofi Polmas, yakni menyelesaikan
masalah setempat, dengan cara setempat, oleh masyarakat setempat. Anggota Polri
dalam keanggotaan FKPM hanya bersifat advokasi/pendampingan terhadap
pihak-pihak/stakeholders di tengah masyarakat.
Sebagai
wadah informasi, komunikasi dan kosultasi polisi terhadap warga, FKPM dapat
menjadi sarana bagi masyarakat untuk sumber informasi dan konsultasi terhadap
permasalahan yang dihadapi masyarakat. FKPM harus menyediakan sumber informasi
bagi warga masyarakat terhadap kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat serta
tugas-tugas Polri kaitannya dengan masyarakat. FKPM menjadi media komunikasi
bagi Polri dan masyarakat tentang pentingnya menjaga keamanan lingkungan
masing-masing. FKPM menjadi alat konsultasi bagi warga yang menghadapi
permasalahan, khususnya permasalahan hukum sehingga Polri bisa memberikan
bimbingan dan nasehat hukum yang benar.
(artikelagussubagyodalamhttps://agussubagyo1978.wordpress.com/2015/07/01/peran-fkpm
alam-percepatan-implementasi-polmas/) .
Dengan
demikian, dalam konteks percepatan Polmas di tengah masyarakat, pembentukan
FKPM diarahkan untuk : Membina keharmonisan hubungan kerja sama kemitraan
sejajar antara polisi dan masyarakat dalam penanggulangan kejahatan dan
ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketenteraman umum dalam
kehidupan masyarakat; Menampung dan menyalurkan aspirasi warga dalam
menyelesaikan dan mengatasi konflik social yang mengancam kamtibmas serta
ketenteraman kehidupan masyarakat; Menghimpun seluruh kekuatan yang ada di
masyarakat yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam tugas-tugas pengamanan di
lingkungannya; Menyelesaikan dan mengatasi berbagai konflik sosialyang
mengancam kamtibmas serta ketenteraman kehidupan masyarakat; Melakukan
koordinasi, konsultasi, dan konsulidasi antara warga dengan polisi dalam rangka
mencapai sinergitas dalam penanggulangan kejahatan, ketidaktertiban sosial, dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Di
era digital saat ini yang semakin canggih, penerapan pemolisian bisa memalui
e-Policing, yang merupakan kebutuhan bagi institusi kepolisian untuk dapat
terus hidup tumbuh dan berkembang dalam memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat yang modern dan demokratis dalam rangka mewujudkan dan memelihara
keteraturan social serta sebagai perwujudan penerapan ilmu kepolsiain di tubuh
kepolisian itu sendiri. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi
tools bagi pemolisian yang mendasari perubahan paradigma dan nilai-nilai hakiki
bagi polisi dan pemolisianya. Dengan membangun sistem akan menjadi suatu
harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, akurat,
transparan dan akuntabel, informatif serta mudah di akses. Ide-ide kreatif bagi
para petugas polisipun dapat disalurkan tanpa terhambat/terbentur dari
sistem-sistem birokrasi yang feodal dan konvensional. Sistem-sistem dengan IT
akan menunjukan adanya kemauan dan kerelaan para pejabat dan pemimpinnya untuk
kehilangan previlegenya dan dengan suara lantang berani mengatakan sebagai
inisiatif antikorupsi, reformasi birokrasi sekaligus creative breakthrough.
Untuk
menerapkan pemolisian yang sudah berkembang mengikuti perkembangan zaman dan
menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang menginginkan percepatan pada
kepolisian maka penerapan e-Policing adalah sangat dibutuhkan, e-Policing
adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian
secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin
dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu
dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi. Bisa juga dipahami
membawa community policing pada sistem online. Dengan demikian e-Policing ini
merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos sekat-sekat
ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat terselenggara
dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatf dan mudah diakses.
e-Policing
bisa menjadi strategi inisiatif antikorupsi, reformasi birokrasi dan creative
break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena meminimalisir
bertemunya person to person dalam pelayanan-pelayanan kepolisian di bidang
administrasi karena sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking,
atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification) dan sebagai
reformasi birokrasi karena dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit
yang mampu menembus ruang dan waktu misalnya tentang pelayanan informasi dan
komunikasi melalui internet, dan hubungan tata cara kerja dalam birokrasi dapat
diselenggarakan secara langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang
dibuat melalui intranet/ internet juga sehingga menjadi less paper dan
sebagainya. Dikatakan sebagai bagian creative break through, melalui e-Policing
banyak program dan berbagai inovasi dan kreasi dalam pemolisian yang dapat di
kembangkan misalnya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat, atau juga dalam
TMC baik melalui media elektronik, cetak maupun media sosial bahkan secara
langsung sekaligus.
e-Policing
bukan berarti menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam
menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang
dillayaninya. e-Policing menyempurnakannya, meningkatkannya sehingga polisi
benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai
penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan sekaligus.
e-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang
berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi,
sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/ bagian dalam
mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.
Maka
dari itu penerapan ilmu kepolisian sangatlah luas akan manfaatnya bagi
kebutuhan organisasi Kepolisian Khususnya Polri (Kepolisian Negara Republik
Indonesia) karena ilmu kepolisian adalah suatu ilmu yang sangat luas peranannya
dan sangat berguna dalam mengawal pembanggunan bangsa dan Negara Republik
Indonesia saat ini. Salah satu implementasi ilmu kepolisian adalah pemolisian
masyarakat yang sangat dibutuhkan dalam merangkul serta mengayomi lebih dekat
kepada masyarakat. Kemudian penerapan pemolisan bisa menggunakan FKPM dan yang
sangat sesuai dengan perkembngan zama saat ini yaitu penerapan polmas lebih
cocok menggunakan e-Policing, yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya
oleh masyarakat guna membantu mempercepat dalam melaksanakan pelayanan terhadap
masyarakat sehingga kedepan tingkat kepuasaan masyarakat terhadap institusi
Kepolisian akan semakin meningkat dan semakin percaya terhadap Polri, dan
berkorelasi dengan kepercayaan terhadap pemerintah Republik Indonesia sehingga
masyarakat bersama-sama pemerintah bisa melakukan pembangunan bangsa dan Negara
ini menjadi lebih baik demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Bachtiar, Harsya W, 1994, Ilmu Kepolisian, PT.Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
2. Bailey, Kathleen M. and Savage, L. 1994.
New Ways in Teaching speaking. Cambridge : Cambridge University Press.
3. Chrysnanda DL. 2004. Pemolisian Komuniti
dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Dalam Bunga Rampai Ilmu
Kepolisian, Parsudi Suparlan (ed.). Jakarta: YPKIK.
4.
______________. 2009. Polisi Penjaga Kehidupan . Jakarta : YPKIK.
5.
Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor), 2008,Ilmu Kepolisian -
In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,
6.
Djamin, Awaloedin, 2002, Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jurnal Polisi Indonesia Tahun IV/September
2002, KIK Press, Jakarta.
7.
Djamin,Awaloeddin.2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam
Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta:PTIK Press.
8.
Djamin,Awaloeddin.2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta:
YPKIK.
9.
___________, 2007, Tantangan dan Kendala Menuju Polri Yang
Profesional dan Mandiri, PTIK Press, Jakarta
10.
Fisher, Simon, dkk. 2001. Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi Untuk
Bertindak, Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, The British
Counsil, Indonesia, Jakarta.
11. Gellner. Ernest. (1995). Nationalism,
London : Phoenix
12.
Ilmu Kepolisian, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, PTIK Press.2015
13. Kunarto . 1998. Police for the future =
polisi masa depan . Jakarta : Cipta Manunggal
14. Lihawa, Ronny. 2005. Memahami Community
Policing. Jakarta: YPKIK.
15.
Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia
(makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI)
16.
Muhammad, Farouk. “Menuju Reformasi Polri”. Restu Agung. 2005
17. Savirani, Amalinda. 2004, Local Strongmen
in New Regional Politics in Indonesia, thesis.
18. Soekanto Soerjono, 2001, “ Sosiologi Suatu
Pengantar “, Rajawali Pers, Jakarta
19. Suparlan, Parsudi. 1999. Polisi Indonesia
dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hukum Nasional VII Departemen
Kehakiman, tidak diterbitkan.
20.
Suparlan, Parsudi. 2004. “Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia”. Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
21.
Upreti, P & L.E. Metzger. 2006. Influence of Calcium and Phosphorus,
Lactose, and Saltto Moisture Ratio on Cheddar Cheese Quality: Manufacture and
Compotition. J. Dairy Sci. 89:420-428.
22.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia, tanggal 24
Desember 2016.
23.
https://agussubagyo1978.wordpress.com/2015/07/01/peran-fkpm-dalam-percepatan-implementasi-polmas/
tanggal 24 Desember 2016.
24.
http://www.tribratanews.com/inilah-program-kerja-kapolri-baru-sejak-100-hari-pertama-hingga
desember-2021/. tanggal 24 Desember 2016.
25.
http://news.detik.com/kolom/2670876/electronic-policing-sebagai-strategi-keluar-dari-zona-nyaman
tanggal 24 Desember 2016.
0 komentar:
Posting Komentar