Senin, 16 Oktober 2017

ILMU KEPOLISIAN DAN IMPLEMENTASINYA PADA PEMOLISIAN

Ditinjau dari segi keilmuan, ilmu kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan maka Ilmu Kepolisian mempunyai paradigma atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup ontologi, epistemologi dan axiologi yang mempersatukan berbagai unsur-unsur yang tercakup di dalamnnya sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh. Paradigma dalam ilmu kepolisian adalah antar-bidang (interdisipliner). Dengan memperhatikan fase – fase perkembangan masyarakat dan proses timbulnya tugas Kepolisian dan fungsi Kepolisian dalam Masyarakat, ilmu Kepolisian merupakan ilmu terapan yang menggunakan metode pendekatan sebagaimana yang digunakan dalam ilmu terapan dengan kajian pokok sebagai berikut :

a.       Ontologi Ilmu Kepolisian Objek pembahasan ilmu Kepolisian terdiri dari objek material dan objek forma. Dimana objek material ilmu Kepolisian adalah hal yang diselidiki, dipandang dan atau dibahas oleh ilmu Kepolisian baik hal – hal yang kongkret maupun hal – hal yang abstrak, yang berdasar pada tiga bahan objek penelitian yang terkait dengan masyarakat, Negara, dan manusia/penduduk secara individual yang disimpulkan dari perkembangan tugas dan organ Polisi dalam masyarakat dan Negara. Sebenarnya Polisi berasal dari masyarakat yang bertugas mengawasi masyarakat lainnya. Mereka membentuk kelompok atau badan tertentu untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran, menindak pelakunya dan menegakkan norma kehidupan bersama seperti yang telah disepakati sebelumnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa kegiatan polisi melekat pada masyarakatnya dan secara alami masyarakat dapat diindikasikan sebagai pokok bahasan (objek material ) ilmu Kepolisian. Seperti yang terjadi dalam konteks Negara, pengemban fungsi Kepolisian sebagai fungsi pemerintahan dan yang ditunjuk oleh Negara. Dimana Negara merupakan objek material ilmu Kepolisian dan penduduk serta manusia sebagai individunya sebagai pokok bahasan Ilmu Kepolisian. Sedangkan objek formal dari suatu ilmu yang khas yang memberikan keutuhan suatu ilmu dan pada saat yang sama membedakannya dari bidang lain. Dalam membahas masyarakat sebagai objek material, ilmu Kepolisian memfokuskan pandangannya dengan 3 fokus pandangan, yaitu :

a) Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka kepentingan masyarakat, objek performanya adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat ;
b) Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka menjamin dan mempertahankan kepentingan dan kewibawaan Negara yang secara resmi dinyatakan dalam hukum Negara, objek performanya adalah penegakan hukum Negara ;
c) Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka kewajiban Polisi dalam melindungi serta melayani hak – hak asasi dan hak – hak politik rakyat/warga Negara/penduduk secara individual, objek performanya adalah perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

 b. Epistemologi Ilmu Kepolisian. Epistemologi ilmu Kepolisian membahas tentang kajian filsafat dan/atau kajian ilmu Kepolisian itu sendiri, yaitu sebuah teori mengenai hakekat ilmu Kepolisian dari sesuatu bidang ilmu pengetahuan melalui proses sistematik dan pengujian / pembuktian tentang kebenarannya sehingga diperoleh pengakuan yang benar dan diterima oleh umum. Pengembangan konsep awal yang sederhana yang berasal dari dinamika proses kegiatan Kepolisian yang sistematis, kemudian fakta dari fenomena realitas yang lazim dicatat dan diberi lambang dengan menggunakan bahasa sehari-hari selanjutnya disosialisasikan dan akhirnya menggunakan istilah tertentu yang baku, diberikan penjelasan yang spesifik dalam bentuk definisi.

 c. Axiologi Ilmu Kepolisian  Aksiologi Ilmu Kepolisian merupakan penjelasan mengenai hakekat nilai - nilai ilmu Kepolisian dan penilaian mengenai kegunaan ilmu Kepolisian sebagai bidang ilmu pengetahuan. Kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut :

a) Untuk apa pengetahuan berupa ilmu Kepolisian itu dipergunakan ?
b) Bagaimana kaitan penggunaan ilmu Kepolisian dengan kaidah – kaidah  moral ?
c) Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan – pilihan moral ?
d) Bagaimana operasionalisasi metode ilmiah yang berupa teknik dan prosedur dengan norma –norma moral dan profesi ?

Menurut Prof. Harsya Bachtiar dalam buku beliau yang berjudul Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru. Beliau mengatakan bahwa perkembangan kepolisian sebagai suatu profesi terkait erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkenaan dengan masalah-masalah kepolisian, sedangkan cara masalah-masalah kepolisian ini dikaji, diteliti, mengalami perkembangan dari ketidakpedulian terhadap masalah-masalah ini sebagai kenyataan-kenyataan yang perlu dipelajari secara serius menjadi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penelitian yang dirancang dan dilaksanakan atas dasar pemikiran rasional dan dengan memperhatikan ilmu pengetahuan yang sudah dikembangkan. usaha untuk menguraikan secara ilmiah keberadaan ilmu kepolisian ini sebagai suatu disiplin tersendiri, baru dilakukan dalam tahun 1994 dalam buku Harsja Bachtiar, Ilmu Kepolisian. Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. Dalam hal. 16 Harsja Bachtiar berpendapat bahwa “Ilmu Kepolisian ... yang baru, terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama ...”. Dikatakan selanjutnya bahwa “Ilmu Kepolisian lambat laun menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline) yang baru dan yang mempunyai identitas tersendiri...”. Pada bagian pertama kutipan di atas, memang ilmu kepolisian (yang baru) dilihat sebagai pengetahuan dengan pendekatan “multi-bidang”, namun dalam bagian kedua dari kutipan di atas, kita dapat menafsirkan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, ilmu kepolisian akan “menjelma” dengan “identitas tersendiri”, sehingga menjadi suatu pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin).

            Harsja Bachtiar (hal. 36) juga menginginkan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia ini akan “... berakar pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang dihadapi anggota-anggota kepolisian di Indonesia ...”. Pada akhirnya beliau meminta agar ilmu pengetahuan ini juga berusaha “... untuk mengembangkan suatu kerangka teori yang sesuai dengan tata keteraturan berpikir logika dan juga sesuai dengan kenyataan-kenyataan ... di Indonesia, sebagai pengatur fakta-fakta, konsep-konsep, serta generalisasi-generalisasi...” yang nantinya akan merupakan wujud ilmu kepolisian Indonesia. Usaha untuk meneliti gejala-gejala sosial di Indonesia dan menggambarkan kenyataan di masyarakat, kebudayaan, dan alam lingkungan Indonesia, yang relevan dengan pelaksanaan tugas Polri, telah dilakukan di Program Magister KIK melalui sejumlah penelitian untuk tesis para mahasiswa. Juga melalui Jurnal Polisi Indonesia yang mulai diterbitkan oleh program studi KIK tiga tahun yang lalu, para dosen dan mahasiswa mendapat kesempatan menyebarluaskan penemuan penelitian dan kesimpulan mereka.

Menurut Prof. Parsudi Suparlan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan antar bidang (interdisplinary). Dikatakan interdisciplinary apabila suatu masalah sudah ada dalam bingkai penyelesaiannya, dalam artian macam metode ataupun teori sudah menjadi satu bingkai untuk memecahkan masalah tersebut.

Ilmu Kepolisian adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.

Sebuah bidang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan maka Ilmu Kepolisian mempunyai paradigma atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi yang mempersatukan berbagai unsur-unsur yang tercakup di dalamnnya sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh. Paradigma dalam ilmu kepolisian adalah antar-bidang (interdisipliner).

Jadi ilmu kepolisian tidak seharusnya mempunyai paradigma yang multi-bidang (multidisipliner) sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof Harsja Bachtiar. Sebab kalau pendekatannya adalah multi-bidang, maka ilmu kepolisian hanya merupakan penggabungan berbagai bidang ilmu pengetahuan melalui berbagai bidang pengajaran dalam sebuah kurikulum yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada kaitan antara satu dengan yang lainnya. Karena itu apabila Ilmu Kepolisian adalah multi-bidang maka Ilmu Kepolisian tidak mempunyai paradigma, dan juga tidak memerlukan adanya epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi yang mencirikannya sebagai sebuah Ilmu Kepolisian.

Sebagai sebuah ilmu yang antar-bidang, maka Ilmu Kepolisian tidak mengenal adanya ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dalam ruang lingkup bidangnya. Jadi dalam ilmu kepolisian seharusnya tidak mungkin harus ada antropologi, sosiologi, psikologi atau ilmu-ilmu hukum dan sebagainya.

Karena sebagai sebuah bidang ilmu yang antar-bidang maka coraknya adalah eklektik. Sehingga, berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mendukung dan menjadikannya sebagai Ilmu Kepolisian terserap menjadi bagian dari Ilmu Kepolisian dan tidak seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bidang ilmu yang berbeda dari Ilmu Kepolisian, tetapi ada dalam cakupan bidang Ilmu Kepolisian. Misalnya, mata kuliah yang berisikan teori-teori mengenai “kebudayaan polisi” yang ada dalam Ilmu Kepolisian bukan lagi dan tidak seharusnya disebut sebagai mata kuliah “antropologi kepolisian” atau “sosiologi pengetahuan tentang kepolisian” atau “administrasi kepolisian” dan bukan “ilmu administrasi untuk polisi” atau “hukum kepolisian” bukan pula “Ilmu hukum kepolisian”, dan sebagainya. ( Buku Bunga Rampai Ilmu Kepolisian , 2011 : 12)
Corak antar bidang (interdisiplinar) yang didisain tersebut harus terfokus pada seperangkat pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan sebagai acuan dalam penerapan tugas-tugas profesinya. Untuk itu, sebuah program pendidikan tinggi ilmu kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah seharusnya mendisain sebuah kurikulum yang coraknya antar bidang (interdisiplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK UI saat ini. Di mana kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah antara satu sama lain saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang bulat, dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta kondisi lingkungan setempat.

Sementara menurut Dr Chrysnanda DL Ilmu Kepolisian adalah Ilmu yang mempelajari tentang :

a. Upaya-Upaya Penegakkan Hukum Dan Keadilan.
Tercakup dalam ilmu kepolisian adalah pengetahuan mengenai hukum dan upaya-upaya penegakannya demi keadilan yang harus dipunyai oleh setiap perwira polisi. Sehingga polisi dihargai dan dihormati serta dijadikan panutan yang mengayomi oleh warga masyarakat setempat dan dijadikan sandaran yang terpercaya oleh negara, dan sebagai tempat bagi mereka mcmperoleh bantuan dalam upaya mencari keadilan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang mereka hadapi sehari-hari. Dengan demikian hukum yang harus dipelajari mencakup berbagai permasalahan sosial, bisnis dan ekonomi, politik, dan teknologi; dalam konteks-konteks lokal atau adat, nasional, dan hubungan internasional. Para perwira polisi tidak dididik untuk menjadi ahli hukum tetapi mengetahui hukum-hukum yang relevan dengan tugas-tugasnya dan mempunyai kemampuan untuk menggunakannya dalam menegakkan sesuatu ketentuan hukum dalam sesuatu peristiwa hukum sehingga keadilan dapat ditegakkan.

b. Teknik-Teknik Penyelidikan Dan Penyidikan Berbagai Tindak Kejahatan Serta Cara-Cara Pencegahannya.
Tercakup dalam ilmu kepolisian adalah pengetahuan yang harus dipunyai polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan. Keahlian dalam menyelidiki dan menyidik sesuatu tindak kejahatan, yang mencakup kejahatan sosial, ekonomi, politik, dan kejahatan terhadap perorangan atau individu. Keahlian menyelidiki dan menyidik hanya mungkin dapat terwujud kalau perwira polisi mempunyai cukup pengetahuan teori dan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sehingga dia mampu memperoleh informasi dan menyaringnya, membuat hipotesa untuk dijadikan pedoman kerja untuk mengumpulkan bukti-bukti yang relevan sehingga sesuatu tindak kejahatan itu dapat dibuktikan kebenarannya. Dan berbagai prosedur yang harus diikuti dalam mengidentifikasi tindak kejahatan dan penjahatnya, menangkap penjahatnya, dan melaporkan sesuatu tindak kejahatan sehingga dapat disampaikan kepada pihak kejaksaan untuk dapat dibawa ke pengadilan.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Kepolisian sebagai badan (organisasi) pemerintah yang diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian arti polisi tetap ditonjolkan sebagai badan atau lembaga yang harus menjalankan fungsi pemerintahan, dan sebagai sebutan anggota dari lembaga Kepolisan sebagai lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tetap tunduk dan patuh pada tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a.         Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b.         Menegakkan hukum
c.         Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

            Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan. Organisasi Polri tingkat pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri); sedang organisasi Polri tingkat kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) di tingkat provinsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres) di tingkat kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor (Polsek) di wilayah kecamatan.

Salah satu penjabaran dari tugas pokok Polri memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat yaitu dengan cara Polmas (Pemolisian Masyarakat), Model Polmas "Pemolisian Masyarakat", merupakan bentuk Pemolisian yang dikembangkan banyak negara dan merupakan satu model Pemolisian yang sangat penting di Asia. Tidak seperti model Militeristik yang umumnya banyak di negara berkembang, Polmas memiliki potensi untuk menjadi modek Pemolisian yang akan diikuti kebanyak negara demokratis pada abad ke-21. Model Polmas berkembang karena organisasi kepolisian di sana menyadari bahwa sebagaian besar upaya mereka untuk "memberantas kejahatan" tidaklah efektif. Merekapun mengadakan penelitian untuk mengetahui efektifitas kegiatan yang terdapat dalam model Pemolisian tradisional seperti patroli preventif, reaksi cepat terhadap peristiwa-peristiwa kejahatan, dan kegiatan investigasi kejahatan. Untuk dapat terlaksananya Strategi Polmas tersebut dengan baik, maka setiap anggota Polri harus memahami sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Di dalam mempelajari Polmas, ada beberapa istilah yang perlu dipahami agar dapat melaksanakan tugas Polmas dengan sebaik-baiknya, yaitu diantaranya : Perpolisian (policing) yaitu segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi Kepolisian , tidak hanya menyangkut operasionalisasi (taktik / tehnik) fungsi kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran menegemen puncak sampai dengan managemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafati yang melatar belakanginya. Pemolisian (policing), yaitu pemberdayaan segenap komponen dan segala sumber daya yang dapat dilibatkan dalam pelaksanaan tugas atau fungsi kepolisian guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal. Dan masyarakat (Community) diartikan sebagai Sekelompok warga (laki-laki dan perempuan) atau komunitas yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya (geografis community). Batas wilayah komunitas dapat berbentuk RT,RW, desa, Kelurahan, ataupun berupa pasar/pusat belanja/mal, kawasan industri, pusat/ komplek olehraga, stasiun bus/kerta api, dan lain-lainnya. Warga masyarakat yang membentuk suatu kelompok atau merasa menjadi bagian dari suatu kelompok berdasarkan kepentingan (communitu of interst), contohnya kelompok berdasarkan etnis/suku, agama, profesi, pekerjaan, keahlian, hobi, dll.

Salah satu mengimplementasikan ilmu kepolisian pada kepolisian yaitu dengan menerapkan sistem pendekatan polisi dengan masyarakat atau dengan istilah lain Polmas (pemolisian masyarakat) atau community policing. Community policing  diyakini memiliki nilai sosial kultural bangsa, sejalan dengan perkembangan masyarakat modern dan masyarakat madani yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan pluralisme, egaliterisme dan partnership, mengatasi kekerasan tanpa kekerasan, dan sebagainya. Seperti dikatakan Suparlan (2004) gagasan membangun konsepsi (concept) bersama tentang community policing tidak dapat dilepaskan dari munculnya kesadaran bersama adanya “keanekaragaman sukubangsa dan keyakinan keagamaan”. Dan kesadaran kita (termasuk kepolisian) akan adanya keanekaragaman tersebut, yang bukan sekedar masyarakat majemuk (plural society), tetapi multikulturalisme sebagai ideologi kesederajatan, memerlukan kemampuan pemahaman secara benar (Chrysnanda dalam Suparlan 2004: 95).

Pembangunan pemolisian masyarakat, harus dibarengi dengan mendirikan forum-forum komunikasi antara kepolisian dan masyarakat (police-community liaison committees). Dengan komunikasi tersebut akan melahirkan beberapa konsensus tindakan yang diterima dan dilaksanakan oleh warga. Pertimbangan utama dalam community policing adalah warga memberi definisi masalah yang harus dipecahkan, warga terlibat dalam perencanaan dan pengimplementasian kegiatan pemecahan masalah. Jadi tercipta suatu hubungan yang erat dan saling menguntungkan antara polisi dengan anggota masyarakat (Lihawa 2005: 18). Meskipun Polmas mengemban misi penerapan hukum positif pada masyarakat, namun tidak lupa untuk memperhatikan norma-norma sosial pada masyarakat itu sendiri. Memanfaatkan adat istiadat masyarakat setempat juga merupakan indikator keberhasilan polisi dalam berinteraksi dalam masyarakat. Ini menandakan polisi juga mempertimbangkan aspek-aspek pendekatan secara kewilayahan ketimbang murni pendekatan hukum. Karena proses menyelesaikan suatu masalah sosial di masyarakat tidak melulu melalui pendekatan hukum, namun adakalanya adat istiadat setempat turut mempengaruhi penyelesaian masalah. Dengan demikian polisi telah mencoba menginternalisasikan falsafah pemolisian kedalam lingkungan adat masyarakat setempat. Peran polmas sangat membantu kepolisian dalam mewujudkan birokrasi kepolisian yang baik, dengan polmas masyarakat akan percaya serta membantu tugas-tugas yang diemban oleh kepolisian sehingga dalam perjalanannya tugas kepolisian akan semakin ringan dan system birokrasi akan berjalan cepat.

Polmas diterapkan dalam komunitas-komunitas atau kelompok masyarakat yang didalam suatu lokasi tertentu atau lingkungan komunitas berkesamaan profesi (misalnya kesamaan kerja, keahlian, hobi, kepentingan dls), sehingga warga masyarakatnya tidak harus tinggal di suatru tempat yang sama, tetapi dapat saja tempatnya berjauhan sepanjang komunikasi antara warga satu sama lain berlangsung secara intensif atau adanya kesamaan kepentingan (misalnya, kelompok ojek, hobi burung perkutut, pembalap motor, hobi komputer dsb) yang semuanya bisa menjadi sarana penyelenggaraan Polmas. Polmas adalah penyelenggaraan tugas kepolisian yang mendasari pada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subyek dan masyarakat sebagai obyek, melainkan harus dilakukan bersama oleh polisi dan melalui kemitraan polisi dan warga masyarakat , sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban di lingkungannya.

Strategi Polmas adalah implementasi pemolisian proaktif yang menekankan kemitraan sejajar antara polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penangkalan kejahatan, pemecahan masalah sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan Kamtibmas dalam rangka meningkatkan kepatuhan hukum dan kualitas hidup masyarakat. Falsafat Polmas sebagai falsafah, Polmas mengandung makna suatu model pemolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dalam kesetaraan, menampilkan sikap prilaku yang santun serta salaing menghargai antara polisi dan warga sehingga menimbulkan rasa saling percaya dan kebersamaan dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Salah satu tantangan utama Polri ke depan adalah menciptakan polisi masa depan, yang mampu secara terus-menerus beradaptasi dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat. Polisi harus dapat menjadi figur panutan masyarakat agar mampu membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat begitu pula dalah ham penanganan konflik di masyarakat. Prasyarat dari semua ini adalah Polri harus memperbaiki citra dirinya terlebih dahulu. Untuk memperbaiki citra Polri dibutuhkan suatu paradigma baru Polri yang sesuai dengan tuntutan arus reformasi.

Polmas (Pemolisian Masyarakat) merupakan paradigma baru Polri. Polmas adalah suatu sistem atau gaya perpolisian modern yang dalam pelayanan publik lebih menekankan kepada pentingnya penerapan pendekatan sosio-kultural, psikologis, personal, informal, persuasive, dan akomodatif, menggantikan gaya perpolisian konvensional yang cenderung birokratis, sentralistik, legalistik, formal/resmi, otoriter, represif, kaku/keras, dan general/seragam.

Sebagai suatu strategi dalam penanganan konflik social Polmas berarti model perpolisian yang menekankan kemitraan sejajar antara Petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan, ketertiban masyarakat serta ketenteraman kehidupan masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa takut akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

Pemolisian dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya. Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam konteks : 1. Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).

Model pemolisian dapat dibuat 3 kategori: 1. Berbasis wilayah, 2. Berbasis kepentingan dan 3. Berbasis dampak masalah. Ketiga kategori tersebut memiliki pendekatan yang berbeda namun ada benang merahnya yang menunjukan adanya saling keterkaitan satu dengan lainya. Model pemolisian ini dapat digunakan sebagai acuan dasar/pedoman dalam mengimplementasikanya, (chrisnanda dalam artikel http://news.detik.com/kolom/2670876).

Pada masa sekarang ini bentuk perwujudan polmas dalam mengatasi konflik sosial salah satunya menggunakan FKPM (Forum Kemitraan Polisi Masyarakat) Berdasarkan Skep Kapolri No. Pol. : Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dinyatakan bahwa dalam melakukan percepatan terwujudnya Polmas mengamanatkan adanya pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). FKPM merupakan forum kemitraan yang mencerminkan keterwakilan semua unsur dalam masyarakat termasuk petugas Polmas sekaligus wadah kerja sama antara Polisi dengan masyarakat yang mengoperasionalisasikan Polmas dalam lingkungannya yang salah satu tugasnya guna menangani dan mencegah terjadinya konflik social di masyarakat.

Mengingat keberadaan FKPM sangat penting bagi operasionalisasi Polmas, maka Kapolres selaku roda penggerak utama organisasi Polri di tingkat KOD atau daerah dituntut mampu mengoptimalisasikan peranan dan fungsi FKPM sehingga eksistensinya benar-benar mampu mendukung keberhasilan pelaksanaan Polmas.

Adapun pengaruh pembentukan FKPM terhadap percepatan Polmas di tingkat KOD dapat dibuktikan dari peran FKPM sebagai : (1) sarana/media partisipasi dan kemitraan masyarakat; (2) wadah pemecahan masalah oleh polisi bersama warga; (3) wadah komunikasi dan kosultasi polisi terhadap warga.

Sebagai sarana/media partisipasi dan kemitraan masyarakat, FKPM dapat menjadi alat bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, masukan, usulan dan komplain terhadap permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat yang terkait dengan kinerja Polri. FKPM dapat dijadikan alat untuk menampung dan menyalurkan keinginan masyarakat terhadap persoalan social yang dihadapi sehingga sangat baik bagi Polri untuk mengetahui, menyerap, dan mewujudkan keinginan masyarakat. Dengan pembentukan FKPM, satuan Polri di tingkat KOD akan menjadi peka dan sensitif terhadap kejadian dan kecenderungan di tengah masyarakat yang akan mengarah pada terjadinya praktek pelanggaran hukum dan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sebagai wadah pemecahan masalah oleh polisi bersama warga, FKPM dapat menjadi sarana dalam mendiskusikan, memusyawarahkan, dan membahas semua persoalan yang ada di tengah masyarakat sehingga setiap perbedaan kepentingan antar pihak/antar kelompok masyarakat tidak sampai mengarah pada terjadinya konflik, kekerasan dan kerusuhan. Pembentukan FKPM dapat mendeteksi secara dini gejala dan potensi konflik di tengah masyarakat sehingga dilakukan tindakan sebelum terjadi konflik di tengah masyarakat. Eksistensi FKPM dapat menjembatani dan memediasi semua persoalan di masyarakat agar diselesaikan secara damai berdasarkan musyawarah mufakat. Dalam memecahkan persoalan masyarakat, FKPM juga perlu memberdayakan mekanisme dan prosedur resolusi konflik yang berbasis pada budaya/adapt masyarakat yang biasanya justru lebih manjur dalam menyelesaikan masalah masyarakat. Hal ini sejalan dengan filosofi Polmas, yakni menyelesaikan masalah setempat, dengan cara setempat, oleh masyarakat setempat. Anggota Polri dalam keanggotaan FKPM hanya bersifat advokasi/pendampingan terhadap pihak-pihak/stakeholders di tengah masyarakat.

Sebagai wadah informasi, komunikasi dan kosultasi polisi terhadap warga, FKPM dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk sumber informasi dan konsultasi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. FKPM harus menyediakan sumber informasi bagi warga masyarakat terhadap kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat serta tugas-tugas Polri kaitannya dengan masyarakat. FKPM menjadi media komunikasi bagi Polri dan masyarakat tentang pentingnya menjaga keamanan lingkungan masing-masing. FKPM menjadi alat konsultasi bagi warga yang menghadapi permasalahan, khususnya permasalahan hukum sehingga Polri bisa memberikan bimbingan dan nasehat hukum  yang benar.
(artikelagussubagyodalamhttps://agussubagyo1978.wordpress.com/2015/07/01/peran-fkpm alam-percepatan-implementasi-polmas/) .

Dengan demikian, dalam konteks percepatan Polmas di tengah masyarakat, pembentukan FKPM diarahkan untuk : Membina keharmonisan hubungan kerja sama kemitraan sejajar antara polisi dan masyarakat dalam penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketenteraman umum dalam kehidupan masyarakat; Menampung dan menyalurkan aspirasi warga dalam menyelesaikan dan mengatasi konflik social yang mengancam kamtibmas serta ketenteraman kehidupan masyarakat; Menghimpun seluruh kekuatan yang ada di masyarakat yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam tugas-tugas pengamanan di lingkungannya; Menyelesaikan dan mengatasi berbagai konflik sosialyang mengancam kamtibmas serta ketenteraman kehidupan masyarakat; Melakukan koordinasi, konsultasi, dan konsulidasi antara warga dengan polisi dalam rangka mencapai sinergitas dalam penanggulangan kejahatan, ketidaktertiban sosial, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Di era digital saat ini yang semakin canggih, penerapan pemolisian bisa memalui e-Policing, yang merupakan kebutuhan bagi institusi kepolisian untuk dapat terus hidup tumbuh dan berkembang dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang modern dan demokratis dalam rangka mewujudkan dan memelihara keteraturan social serta sebagai perwujudan penerapan ilmu kepolsiain di tubuh kepolisian itu sendiri. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi tools bagi pemolisian yang mendasari perubahan paradigma dan nilai-nilai hakiki bagi polisi dan pemolisianya. Dengan membangun sistem akan menjadi suatu harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan dan akuntabel, informatif serta mudah di akses. Ide-ide kreatif bagi para petugas polisipun dapat disalurkan tanpa terhambat/terbentur dari sistem-sistem birokrasi yang feodal dan konvensional. Sistem-sistem dengan IT akan menunjukan adanya kemauan dan kerelaan para pejabat dan pemimpinnya untuk kehilangan previlegenya dan dengan suara lantang berani mengatakan sebagai inisiatif antikorupsi, reformasi birokrasi sekaligus creative breakthrough.

Untuk menerapkan pemolisian yang sudah berkembang mengikuti perkembangan zaman dan menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang menginginkan percepatan pada kepolisian maka penerapan e-Policing adalah sangat dibutuhkan, e-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi. Bisa juga dipahami membawa community policing pada sistem online. Dengan demikian e-Policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatf dan mudah diakses.

e-Policing bisa menjadi strategi inisiatif antikorupsi, reformasi birokrasi dan creative break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena meminimalisir bertemunya person to person dalam pelayanan-pelayanan kepolisian di bidang administrasi karena sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking, atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification) dan sebagai reformasi birokrasi karena dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit yang mampu menembus ruang dan waktu misalnya tentang pelayanan informasi dan komunikasi melalui internet, dan hubungan tata cara kerja dalam birokrasi dapat diselenggarakan secara langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang dibuat melalui intranet/ internet juga sehingga menjadi less paper dan sebagainya. Dikatakan sebagai bagian creative break through, melalui e-Policing banyak program dan berbagai inovasi dan kreasi dalam pemolisian yang dapat di kembangkan misalnya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat, atau juga dalam TMC baik melalui media elektronik, cetak maupun media sosial bahkan secara langsung sekaligus.

e-Policing bukan berarti menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang dillayaninya. e-Policing menyempurnakannya, meningkatkannya sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan sekaligus. e-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/ bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.

Maka dari itu penerapan ilmu kepolisian sangatlah luas akan manfaatnya bagi kebutuhan organisasi Kepolisian Khususnya Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia) karena ilmu kepolisian adalah suatu ilmu yang sangat luas peranannya dan sangat berguna dalam mengawal pembanggunan bangsa dan Negara Republik Indonesia saat ini. Salah satu implementasi ilmu kepolisian adalah pemolisian masyarakat yang sangat dibutuhkan dalam merangkul serta mengayomi lebih dekat kepada masyarakat. Kemudian penerapan pemolisan bisa menggunakan FKPM dan yang sangat sesuai dengan perkembngan zama saat ini yaitu penerapan polmas lebih cocok menggunakan  e-Policing, yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat guna membantu mempercepat dalam melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat sehingga kedepan tingkat kepuasaan masyarakat terhadap institusi Kepolisian akan semakin meningkat dan semakin percaya terhadap Polri, dan berkorelasi dengan kepercayaan terhadap pemerintah Republik Indonesia sehingga masyarakat bersama-sama pemerintah bisa melakukan pembangunan bangsa dan Negara ini menjadi lebih baik demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Bachtiar, Harsya W, 1994, Ilmu Kepolisian, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
2.       Bailey, Kathleen M. and Savage, L. 1994. New Ways in Teaching speaking. Cambridge : Cambridge University Press.
3.       Chrysnanda DL. 2004. Pemolisian Komuniti dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Parsudi Suparlan (ed.). Jakarta: YPKIK.
4.      ______________. 2009. Polisi Penjaga Kehidupan . Jakarta : YPKIK.
5.      Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor), 2008,Ilmu Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,
6.      Djamin, Awaloedin, 2002, Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jurnal Polisi Indonesia Tahun IV/September 2002, KIK Press, Jakarta.
7.      Djamin,Awaloeddin.2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta:PTIK Press.
8.      Djamin,Awaloeddin.2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta: YPKIK.
9.      ___________, 2007, Tantangan dan Kendala Menuju Polri Yang Profesional dan Mandiri, PTIK Press, Jakarta
10.  Fisher, Simon, dkk. 2001. Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, The British Counsil, Indonesia, Jakarta.
11.     Gellner. Ernest. (1995). Nationalism, London : Phoenix
12.  Ilmu Kepolisian, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, PTIK Press.2015
13.     Kunarto . 1998. Police for the future = polisi masa depan . Jakarta : Cipta Manunggal
14.     Lihawa, Ronny. 2005. Memahami Community Policing. Jakarta: YPKIK.
15.  Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI)
16.  Muhammad, Farouk. “Menuju Reformasi Polri”. Restu Agung. 2005
17.     Savirani, Amalinda. 2004, Local Strongmen in New Regional Politics in Indonesia, thesis.
18.     Soekanto Soerjono, 2001, “ Sosiologi Suatu Pengantar “, Rajawali Pers, Jakarta
19.     Suparlan, Parsudi. 1999. Polisi Indonesia dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hukum Nasional VII Departemen Kehakiman, tidak diterbitkan.
20.  Suparlan, Parsudi. 2004. “Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
21.  Upreti, P & L.E. Metzger. 2006. Influence of Calcium and Phosphorus, Lactose, and Saltto Moisture Ratio on Cheddar Cheese Quality: Manufacture and Compotition. J. Dairy Sci. 89:420-428.
22.  https://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia, tanggal 24 Desember 2016.
23. https://agussubagyo1978.wordpress.com/2015/07/01/peran-fkpm-dalam-percepatan-implementasi-polmas/ tanggal 24 Desember 2016.
24.  http://www.tribratanews.com/inilah-program-kerja-kapolri-baru-sejak-100-hari-pertama-hingga desember-2021/. tanggal 24 Desember 2016.

25.  http://news.detik.com/kolom/2670876/electronic-policing-sebagai-strategi-keluar-dari-zona-nyaman tanggal 24 Desember 2016.

0 komentar:

Posting Komentar