1.
Periode Sejarah Kepolisian Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Kepolisian
kita yang saat ini dikenal dengan Polri merupakan sistem birokrasi yang telah
ada sejak jaman kolonial Belanda. Kepolisian pada masa itu ditujukan untuk
melayani penjajah Belanda. Tujuan kepolisian saat itu adalah sebagai pelindung,
baik manusia, harta benda dan kekayaan lainnya dari ancaman pencurian,
penjarahan dan hal lainnya yang merugikan pihak Belanda. Pendudukan Belanda,
Polri berorientasi membela kepentingan penguasa dan elite pribumi (G. Ambar
Wulan 2009 : 9). Pada masa pemerintahan Jepang, kedudukan dan fungsi tetap
sama, meskipun sebagian besar anggota polisinya berasal dari penduduk pribumi.
Perbedaannya hanya pada penggunaan senjata, kalau pada masa Jepang, polisi
pribumi boleh menggunakan senjata api. Pemerintah Jepang di Indonesia memberikan
kewenangan kepada organisasi kepolisian untuk menggunakan senjata secara resmi.
sementara jaman Belanda, hanya polisi dari unsur Belanda saja yang boleh
menggunakan senjata api. Kepolisian di zaman Jepang juga mempunyai departemen
sendiri yaitu Keimubu (Departemen
Kepolisian). Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang
pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang
(sidookaan) yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi (G. Ambar
Wulan, 2009: 80).
Kita
ketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia lahir pada tanggal 1 Juli
1946, atau sering disebut hari Bhayangkara dikarenakan tanggal 1 Juli 1946
dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara
yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada awalnya lembaga
Kepolisian berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri, namun karena
kewenangan Kepolisian yang sangat luas ini menjadi sangat terbatas serta
mendapat kendala struktural dan operasionalnya. Lembaga Kepolisian akhirnya
bertanggungjawab langsung di bawah Perdana Menteri yang sederajat dengan
Kejaksaan dan Kehakiman Republik Indonesia (Awaloedin Djamin, 2006: 129).
Perjalanan sejarah perkembangan lembaga Kepolisian mengalami beberapa perubahan-perubahan
status dan struktur organisasinya. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan
kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri
Ir. Djuanda diganti dengan sebutan Menteri Pertama, maka RS Seokanto memperoleh
kedudukan sebagai Menteri Muda Kepolisian RI. Kedudukan POLRI masih tetap di
bawah Menteri Pertama sampai keluarnya Keputusan Presiden No. 153/1959, di mana
Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara.
Menurut
Keputusan Presiden No 154/1959 tanggal 10 Juli 1959, berisi tentang Kepolisian
Negara dimasukkan dalam Bidang Keamanan/Pertahanan yang dikepalai oleh Menteri
Muda Kepolisian/KKN Said Soekamto Tjokrodiatmojo. Tanggal 26 Agustus 1959,
menurut surat edaran Menteri Pertama (Menpama) No.1/MP/RI/1959, berisi tentang
pergantian nama dari nama Kementrian diganti dengan Departemen, sehingga
Djawatan Kepolisian Negara diganti menjadi Departemen Kepolisian Menteri/ KKN.
Pada tahun 1960 terjadi perubahan pada status Kepolisian menjadi angkatan
bersenjata menuru Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960, berisi tentang dimasukkannya
Departemen Kepolisian ke dalam Bidang Keamanan Nasional, bersama dengan AD, AL
dan AU. Maka dibentuklah Undang-undang Kepolisian yaitu Undang-Undang No.13
tahun 1961, yang berisi tentang Ketentuanketentuan Pokok Kepolisian Negara RI.
Menurut Keppres No. 94/1962, pada tanggal 11 November 1962, Kepolisian Negara
diubah menjadi AKRI dengan disertai perubahan susunan dan pola organisasinya
serta dalam Keputusan Pressiden RI No. 134/ 1962 (Memet Tanumidjaja, 1971:
121–122). Selajutnya dalam keputusan Presiden No. 290/1964, yaitu pada tanggal
12 November 1964, AKRI berintegrasi penuh dengan ABRI, dan Kepalanya disebut
Panglima Angkatan Kepolisian ( PANGAK ), keputusan ini tertera dalam Keputusan
Presiden No. 290 tahun 1964, pasal 3 (Soeparno,1871: 380).
Nama
Orde Baru digunakan untuk membedakan Pemerintahan Soeharto dengan pemerintahan
sebelumnya. Pemerintahan Soekarno kemudian dikenal dengan Orde Lama.
Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak tahun 1966 – 1998, dengan adanya Surat
Perintah Sebelas Maret, yang kemudian disalahartikan sebagai surat pemindahan
kekuasaan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden hal
ini berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai hasil pemilu
ditetapkan pada tanggal 10 Maret 1983, beliau mendapat penghargaan sebagai
Bapak Pembangunan Nasional (Ghalia 1986 : 43).
Karena
pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya
integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun
1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan
Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang
menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,
AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan yaitu
Pangad, Pangal, Pangau, dan Pangak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai
Menhankam/Pangab yang pertama. Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada
tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean
(G. Ambar Wulan 2016 : 277-278). Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi
ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal
memang bukan angkatan perang. Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969
sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961
menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi
Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.(
www.polri.go.id). Tanggal 27 Juni 1969, menurut Keputusan Presiden No. 52 tahun
1969, tentang sebutan, kedudukan organik dan tanggung jawab Kepolisian Negara
sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam Departemen
Pertahanan Keamanan, memutuskan, mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 290 tahun 1964, dengan kata lain sebutan AKRI ( Angkatan Kepolisian
Republik Indonesia ) yang sejenis dengan AD, AL, dan AU yang masih sifat
militer, diubah menjadi POLRI ( Polisi Republik Indonesia ).Hal ini juga di
jelaskan di dalam KePres RI No. 52 Tahun 1969, dalam pasal 1ayat ( 1 dan 2 ),
pasal 3 dan pasal 5 (Soeparno, 1871: 380).
Pada
masa pemerintahan Orde Baru ini, Presiden Soeharto melakukan perubahan dengan
meletakkan lembaga-lembaga tinggi Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan
mengabdi kepada kepentingan nasional yang dilandasi falsafah Pancasila.
Perubahan selanjutnya yang dilakukan Presiden Soeharto, yaitu perubahan pada
lembaga Kepolisian, dengan melakukan peralihan nama, kedudukan dan
tanggungjawab Angkatan Kepolisian menjadi POLRI. Pada tanggal 1 Juli 1968,
dalam peringatan hari Bhayangkara, Presiden Soeharto menekankan agar polisi
kembali pada fungsinya sebagai lembaga Kepolisian seutuhnya. Peralihan ini
terjadi berdasarkan pada ketentuan pokok Kepolisian dalam Undang-undang No. 13
tahun 1961, pasal 1 dan 2, (Koesparmono Irsan, 1995: 14). Penyebab terjadinya
peralihan berikutnya adalah adanya Keputusan Presiden No. 52 tahun 1969, yang
menyebutkan bahwa nama AKRI diubah menjadi POLRI, Keppres No. 79 tahun 1969,
tanggal 5 Oktober 1969, merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 132/1967,
merupakan penegasan lebih lanjut tentang tugas dan tanggung jawab POLRI.
Keppres No.132/1967 tidak mengandung penegasan tugas pokok dan fungsi POLRI
sebagai Penegak Hukum dan penanggung jawab kamtibmas (Dadi Rohaedi, 2013: 14).
Kesejahteraan
anggota polisi pada masa orde baru dapat terlihat dari bagaimana pengaturan
sistem pengawasan bidang keuangan Angkatan Bersenjata. Bidang keuangan yang
diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 132 tahun 1967, pada Bab II, pasal 25
Tentang Keuangan HANKAM dan Kepres RI No.52 tahun 1969, dalam pasal 2. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa kesejahteraan polisi sebelum dan setelah terjadi
peralihan dari AKRI menjadi POLRI pada masa Orde Baru boleh dikatakan belum
mencukupi bagi kehidupan keluarga mereka. Hal ini dikarenakan Lembaga
Kepolisian berada didalam ABRI dan mempunyai kedudukan sebagai Angkatan keempat
dan berada di bawah Angakatan Udara, jadi semua hal yang berurusan dengan
POLRI, seperti keuangan, pendanaan, tugas, logistik, dan lain sebagainya harus
diatur oleh ABRI terlebih dahulu sebagai lembaga pertahanan dan keamanan Negara
Republik Indonesia. Selain itu beban hidup yang mereka jalani berbeda-beda
antara satu daerah dengan daerah lainnya, namun demikian gaji mereka tetap sama
di seluruh kawasan wilayah Republik Indonesia. Banyaknya beban tugas POLRI dan
segenap resiko yang harus dihadapi, rasanya tidak sebanding dengan gaji dan
kesejahteraan lain yang diterimanya (Thomas Hutasoit,2004: 380). Berubahnya
status, tugas dan kedudukan polisi menjadi Angkatan Kepolisian yang setara
dengan AD, AL dan AU, yang bertugas untuk mempertahankan Negara dari serbuan
kekuatan asing. Kedudukan polisi yang demikian merupakan salah satu penyebab
mengapa rakyat kurang dekat dengan polisi. Kerenggangan ini membuat polisi
merasa jauh dari rakyat, begitu pula sebaliknya rakyat juga merasa jauh dari
polisi. Dalam melaksanakan tugasnya, POLRI diharapkan mau untuk mengajak
masyarakat agar ikut berpartisipasi. Hal ini akan membuat “ Citra Kepolisian ”
baik dimata masyarakat. Setiap anggota POLRI diharapkan mampu mengembangkan
yang lebih luas agar dapat menjadi panutan masyarakat, seperti anggota POLRI
dapat menjadi sosiolog, psikolog, bahkan dapat menjadi seorang pemuka agama.
Sehingga masyarakat akan merasa dilindungi, diayomi, dan dilayani
kepentingannya sesuai dengan prosedur polisi yang berlaku. (Thomas Hutasoit,
2004: 379).
2.
Refleksi Historis
Kita
ketahui bersama bahwa kepolisian pada masa Orde Baru sangat kental dengan unsur
militeristik. Pada masa pemerintahan Orde Baru Kepolisian Republik Indonesia
dibenamkan dalam sebuah satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
yang bergerak dalam pengaruh budaya militer. Militeristik begitu mengikat
karena masa lebih dari 30 tahun kepolisian dibalut dengan budaya militer
tersebut. Hingga pada tahun 1998 tuntutan masyarakat begitu kuat dalam upaya
membangun sebuah pemerintahan yang bersih dan mempunyai keberpihakan terhadap
kepentingan masyarakat.
Dahalu
pada masa Orde Baru Polri lebih condong menerapkan hukum yang bersifat militan
seperti yang digunakan Combatan karena bergabung dalam satu lingkup ABRI dan
sering digununakan untuk kepentingan politik penguasa pada masa itu. Namun
untuk sekarang setelah melalui masa orde baru Polri dituntut untuk menjalankan
tugasnya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku bukan lagi menggunakan cara
militeristik. Profesionalitas Polri pada saat ini dituntut untuk lebih baik
untuk tidak digunakan sebagai ajang politik melainkan demi tercapainya azas
keadilan negeri ini, seperti yang terjadi saat ini dalam kasus “Ahok” Polri
dituntut untuk lebih professional dan independen tidak berpihak kepada penguasa
melainkan tetap bekerja profesional sesuai dengan kaidah dan koridor hukum yang
beraku. Integritas Polri juga terus
dituntut oleh masyarakat yang tak menghendaki ketidakjujuran, penyelewengan
wewenang, ketidak berpihakan pada kepentingan umum, atau tindakan yang
merugikan rakyat. Masyarakat masih prihatin terhadap wewenang dan
penyalahgunaan yang menyebabkan rapuhnya dukungan publik terhadap kepolisian.
Citra yang ternoda akan berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap
kompetensi polisi melaksanakan tugasnya secara efektif. Pentingnya persatuan
dalam semangat korps Kepolisian Republik Indonesia menjadi kekuatan yang
dibutuhkan bagi lembaga yang bertanggung jawab pada tertib hukum dan tertib
keadaan umum. Akuntabilitas polisi menjadi ukuran dalam menjamin
terselenggaranya pembaruan yang telah dirancang dalam cetak biru Reformasi
Polri. (G Ambar Wulan Dosen Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana UI Tulisan ini
disalin dari Kompas, 8 April 2010).
Tugas
dari suatu Lembaga Kepolisian adalah bagian dari pada tugas negara,
perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib, ketentraman dan
keamanan, menegakkan negara, menanamkan pengertian ketaatan dan kepatuhan.
Terdapat 3 tugas utama polisi yaitu :
1)
Menjaga keamanan dan ketertiban umum.
2)
Menegakkan hukum.
3)Memberi
pelayanan, perlindungan dan pengayoman.
Tugas-tugas
Polisi sendiri diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia sebagai berikut:
1.
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1961, tentang ketentuan pokok Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 52
tahun 1969, dalam Pasal 4.
3.
Keppres No. 79 tahun 1969, tanggal 5
Oktober 1969, merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 132/1967, merupakan penegasan
lebih lanjut tentang tugas dan tanggung jawab POLRI.
Lembaga
Kepolisian pada masa Orde Baru bersama-sama dengan ABRI bertugas untuk
menghadapi pemberontakan G 30 S PKI ( 1965 ). Bisa kita refleksikan pada masa
sekarang bahwa Polri dalam menghadapi berbagai ancaman kemananan selalu
bekerjasama dengan TNI contohnya dalam menghadapi terorisme di Poso, dan yang
masih hangat yaitu bersama sama dalam melaksanakan pengamanan demo “Ahok” yang
terjadi di ibukota DKI Jakarta. Hal itu tidak lepas dari kerjasama dan terdapat
ikatan persaudaraan yang telah terjalin sejak dulu pada masa Orde Baru saat
Polri dan TNI bersatu dalam ABRI.
Bergabungnya Polri
dalam ABRI saat masa Orde Baru memiliki dampak positif maupun negatifnya. Dari
segi Positif:
1. Kedudukan polisi di
dalam ABRI setara dengan AD, AL, dan AU
2. Polisi terlibat dalam
berbagai operasi keamanan bersama tentara dalam menjaga keutuhan NKRI dari
berbagai gangguan, baik gangguan dari dalam maupun dari luar.
Dari segi Negatif:
1. Polisi tidak professional
dan dijauhi masyarakat.
2. Pekerjaan polisi banyak
yang diselesaikan secara militer.
3. Polisi sulit berkembang.
4. Ruang gerak polisi di
pengaruhi oleh budaya militer.
Hal ini
mengakibatkan polisi kurang berkembang tidak bisa menjadikan dirinya sebagai polisi
sipil, tetapi lebih menunjukkan militeristik karena ketatnya integrasi dan
secara umum polisi bukan merupakan angkatan perang. Namun kita bisa mengambil
hikmah serta nilai-nilai pelajarannya bahwa seyogyanya masyarakat rindu akan
kehadiran polisi ditengah-tengah masyarakat yang bersifat humanis yang bisa
membawa ketentraman dan bisa melindungi, mengayomi semua lapisan masyarakat
baik dari kalangan bawah sampai atas. Hal itu akan tercermin pada masa sekarang
dengan Polri menerapkan kebijakan Grand Strategi Polri yaitu :
a. Periode 2005 – 2010 Terhadap Trust
Building.
Masyarakat cenderung lebih mendambakan rasa aman dan rasa keadilan dari
pemerintah, peningkatan service quality focus pada kebutuhan tersebut.
b. Periode 2010 – 2015 Tahap Partnership
Tingkat kepuasan terhadap rasa aman dan keadilan diharapkan semakin
baik, tuntutan masyarakat akan melebar pada manajemen rasa aman dan adil yang
akuntabel, transparan, open dan patuh rule of law.
c. Periode 2016 – 2025 Tahap Strive for
Excellence
Tahap ini kebutuhan masyarakan akan lebih mengharapkan multi dimensional
service quality yang efektif dan efisien ditengah globalisasi kejahatan yang
makin canggih.
Pasca
Orde Baru tumbang dimulailah masa Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 yang telah
mengubah kondisi politik yang ada. Nilai demokrasi yang berkembang turut
menjadi faktor yang mengubah pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan
nasional Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah supremasi sipil.
Kekuasaan sipil adalah yang utama. Supremasi sipil membuat kekuatan bersenjata
sebagai penjaga hukum dan konstitusi, yang berarti mendukung, menjaga, dan
mempertahankan militer sebagai institusi pertahanan negara, dan juga menjaga
kondisi yang telah terbentuk dengan baik dalam negara . Tentara tunduk kepada
kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum
yang bebas dan rahasia, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan
dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Sementara kepolisian
berfungsi di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat . Namun yang
terjadi kemudian adalah kemunculan konflik yang terus menerus antara kelompok
TNI melawan kelompok Polri sampai sekarang. banyak Argumen yang berpendapat
bahwa pola hubungan TNI – Polri yang memburuk setelah pemisahan Polri dari ABRI
bersifat sistemik, bukan bersifat kasuistik. Terlihat dari sebaran konflik yang
hampir diseluruh wilayah Indonesia. Faktor struktur dan kepentingan TNI dan
Polri memicu konflik yang terjadi. Penyelenggaraan pertahanan negara dan
keamanan dalam negeri ternyata memunculkan persoalan pada tataran peran dan
kewenangan antara TNI dan Polri.
Namun
semuanya perlahan-lahan bisa diselesaikan baik secara kekeluargaan maupun
secara hukum yang berlaku baik Polri menggunakan hukum sipil dan TNI yang
mengunakan hukum peradilan militer. Hal tersebut tidak lepas dari terdapatnya
saling memiliki sifat tenggangrasa dan saling berkeluarga sejak zaman Orde Baru
bahwa TNI dan Polri yang bergabung menjadi satu dalam wadah ABRI, persaudaraan
tua yang dulu pernah terjalin pada saat ini mulai dipupuk kembali dengan
diadakannya berbagai macam kegiatan secara bersama-sama, pelaksaan tugas secara
bersama-sama sehingga bisa saling bahu-membahu dan bisa melengkapi satu sama
lain. Ditambah lagi dengan pemerataan kesejahteraan yang sama baik dari pihak
TNI dan Polri yang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang membuat sifat korsa
dan kompak dalam menjaga dan mengamankan negeri ini kian kokoh serta dalam
mewujudkan Negara Indonesia yang adil dan sejahtera.
DAFTAR
PUSTAKA
Ambar Wulan G. (2009). Polisi
dan Politik: Intelejen Kepolisian pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949.
Jakarta: Rajawali Press.
Awaloedin Djamin.(2006). Sejarah
Perkembangan Kepolisian diIndonesia Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang.
Jakarta: Yayasan Brata Bhakti POLRI.
Awaloedin Djamin dan G. Ambar Wulan. 2016. Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo : Bapak Kepolisiian Negara
RI Peletak Dasar Kepolisian Nasional Yang Profesional dan Modern. Jakarta :
PT Kompas Media Nusantara.
Dadi Rohaedi. (2013).“ Kepolisian Negara RI 1945 – Sekarang
”.Makalah, Diskusi tentang sejarah lahirnya Lembaga Kepolisian.Jakarta: Museum
POLRI.
Ghalia Indonesia,1986. Ketetapan-ketetapan
MPR, 1983-1988, 1978-1983. Jakarta.
Hutasoit, Thomas. (2004). Menjadi
Polisi yang Dipercaya Masyarakat: Tahapan Perjalanan Reformasi Polisi.
Jakarta: Mabes POLRI.
Koesparmono Irsan. (1995). “Inovasi Struktur Kelembagaan dalam
Menciptakan rofesionalisme POLRI”. dalam Banurusman (Ed).Polisi, Masyarakat dan
Negara. Yogyakarta: Bigraf Pubilshing.
Memet Tanumidjaja. (1971). Sejarah
Perkembangan Angkatan Kepolisian. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.
Soeparno. (1871). Sejarah
Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern. Jakarta: Pusat Sejarah
ABRI.
0 komentar:
Posting Komentar