Kamis, 26 Oktober 2017

SEJARAH KEPOLISIAN INDONESIA

1.      Periode Sejarah Kepolisian Pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Kepolisian kita yang saat ini dikenal dengan Polri merupakan sistem birokrasi yang telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Kepolisian pada masa itu ditujukan untuk melayani penjajah Belanda. Tujuan kepolisian saat itu adalah sebagai pelindung, baik manusia, harta benda dan kekayaan lainnya dari ancaman pencurian, penjarahan dan hal lainnya yang merugikan pihak Belanda. Pendudukan Belanda, Polri berorientasi membela kepentingan penguasa dan elite pribumi (G. Ambar Wulan 2009 : 9). Pada masa pemerintahan Jepang, kedudukan dan fungsi tetap sama, meskipun sebagian besar anggota polisinya berasal dari penduduk pribumi. Perbedaannya hanya pada penggunaan senjata, kalau pada masa Jepang, polisi pribumi boleh menggunakan senjata api. Pemerintah Jepang di Indonesia memberikan kewenangan kepada organisasi kepolisian untuk menggunakan senjata secara resmi. sementara jaman Belanda, hanya polisi dari unsur Belanda saja yang boleh menggunakan senjata api. Kepolisian di zaman Jepang juga mempunyai departemen sendiri yaitu Keimubu (Departemen Kepolisian). Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang (sidookaan) yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi (G. Ambar Wulan, 2009: 80).

Kita ketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia lahir pada tanggal 1 Juli 1946, atau sering disebut hari Bhayangkara dikarenakan tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada awalnya lembaga Kepolisian berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri, namun karena kewenangan Kepolisian yang sangat luas ini menjadi sangat terbatas serta mendapat kendala struktural dan operasionalnya. Lembaga Kepolisian akhirnya bertanggungjawab langsung di bawah Perdana Menteri yang sederajat dengan Kejaksaan dan Kehakiman Republik Indonesia (Awaloedin Djamin, 2006: 129). Perjalanan sejarah perkembangan lembaga Kepolisian mengalami beberapa perubahan-perubahan status dan struktur organisasinya. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri Ir. Djuanda diganti dengan sebutan Menteri Pertama, maka RS Seokanto memperoleh kedudukan sebagai Menteri Muda Kepolisian RI. Kedudukan POLRI masih tetap di bawah Menteri Pertama sampai keluarnya Keputusan Presiden No. 153/1959, di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara.

Menurut Keputusan Presiden No 154/1959 tanggal 10 Juli 1959, berisi tentang Kepolisian Negara dimasukkan dalam Bidang Keamanan/Pertahanan yang dikepalai oleh Menteri Muda Kepolisian/KKN Said Soekamto Tjokrodiatmojo. Tanggal 26 Agustus 1959, menurut surat edaran Menteri Pertama (Menpama) No.1/MP/RI/1959, berisi tentang pergantian nama dari nama Kementrian diganti dengan Departemen, sehingga Djawatan Kepolisian Negara diganti menjadi Departemen Kepolisian Menteri/ KKN. Pada tahun 1960 terjadi perubahan pada status Kepolisian menjadi angkatan bersenjata menuru Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960, berisi tentang dimasukkannya Departemen Kepolisian ke dalam Bidang Keamanan Nasional, bersama dengan AD, AL dan AU. Maka dibentuklah Undang-undang Kepolisian yaitu Undang-Undang No.13 tahun 1961, yang berisi tentang Ketentuanketentuan Pokok Kepolisian Negara RI. Menurut Keppres No. 94/1962, pada tanggal 11 November 1962, Kepolisian Negara diubah menjadi AKRI dengan disertai perubahan susunan dan pola organisasinya serta dalam Keputusan Pressiden RI No. 134/ 1962 (Memet Tanumidjaja, 1971: 121–122). Selajutnya dalam keputusan Presiden No. 290/1964, yaitu pada tanggal 12 November 1964, AKRI berintegrasi penuh dengan ABRI, dan Kepalanya disebut Panglima Angkatan Kepolisian ( PANGAK ), keputusan ini tertera dalam Keputusan Presiden No. 290 tahun 1964, pasal 3 (Soeparno,1871: 380).

Nama Orde Baru digunakan untuk membedakan Pemerintahan Soeharto dengan pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan Soekarno kemudian dikenal dengan Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak tahun 1966 – 1998, dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret, yang kemudian disalahartikan sebagai surat pemindahan kekuasaan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden hal ini berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai hasil pemilu ditetapkan pada tanggal 10 Maret 1983, beliau mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional (Ghalia 1986 : 43).

Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan yaitu Pangad, Pangal, Pangau, dan Pangak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama. Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean (G. Ambar Wulan 2016 : 277-278). Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang. Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.( www.polri.go.id). Tanggal 27 Juni 1969, menurut Keputusan Presiden No. 52 tahun 1969, tentang sebutan, kedudukan organik dan tanggung jawab Kepolisian Negara sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam Departemen Pertahanan Keamanan, memutuskan, mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 290 tahun 1964, dengan kata lain sebutan AKRI ( Angkatan Kepolisian Republik Indonesia ) yang sejenis dengan AD, AL, dan AU yang masih sifat militer, diubah menjadi POLRI ( Polisi Republik Indonesia ).Hal ini juga di jelaskan di dalam KePres RI No. 52 Tahun 1969, dalam pasal 1ayat ( 1 dan 2 ), pasal 3 dan pasal 5 (Soeparno, 1871: 380). 

Pada masa pemerintahan Orde Baru ini, Presiden Soeharto melakukan perubahan dengan meletakkan lembaga-lembaga tinggi Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan mengabdi kepada kepentingan nasional yang dilandasi falsafah Pancasila. Perubahan selanjutnya yang dilakukan Presiden Soeharto, yaitu perubahan pada lembaga Kepolisian, dengan melakukan peralihan nama, kedudukan dan tanggungjawab Angkatan Kepolisian menjadi POLRI. Pada tanggal 1 Juli 1968, dalam peringatan hari Bhayangkara, Presiden Soeharto menekankan agar polisi kembali pada fungsinya sebagai lembaga Kepolisian seutuhnya. Peralihan ini terjadi berdasarkan pada ketentuan pokok Kepolisian dalam Undang-undang No. 13 tahun 1961, pasal 1 dan 2, (Koesparmono Irsan, 1995: 14). Penyebab terjadinya peralihan berikutnya adalah adanya Keputusan Presiden No. 52 tahun 1969, yang menyebutkan bahwa nama AKRI diubah menjadi POLRI, Keppres No. 79 tahun 1969, tanggal 5 Oktober 1969, merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 132/1967, merupakan penegasan lebih lanjut tentang tugas dan tanggung jawab POLRI. Keppres No.132/1967 tidak mengandung penegasan tugas pokok dan fungsi POLRI sebagai Penegak Hukum dan penanggung jawab kamtibmas (Dadi Rohaedi, 2013: 14).

Kesejahteraan anggota polisi pada masa orde baru dapat terlihat dari bagaimana pengaturan sistem pengawasan bidang keuangan Angkatan Bersenjata. Bidang keuangan yang diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 132 tahun 1967, pada Bab II, pasal 25 Tentang Keuangan HANKAM dan Kepres RI No.52 tahun 1969, dalam pasal 2. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kesejahteraan polisi sebelum dan setelah terjadi peralihan dari AKRI menjadi POLRI pada masa Orde Baru boleh dikatakan belum mencukupi bagi kehidupan keluarga mereka. Hal ini dikarenakan Lembaga Kepolisian berada didalam ABRI dan mempunyai kedudukan sebagai Angkatan keempat dan berada di bawah Angakatan Udara, jadi semua hal yang berurusan dengan POLRI, seperti keuangan, pendanaan, tugas, logistik, dan lain sebagainya harus diatur oleh ABRI terlebih dahulu sebagai lembaga pertahanan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Selain itu beban hidup yang mereka jalani berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, namun demikian gaji mereka tetap sama di seluruh kawasan wilayah Republik Indonesia. Banyaknya beban tugas POLRI dan segenap resiko yang harus dihadapi, rasanya tidak sebanding dengan gaji dan kesejahteraan lain yang diterimanya (Thomas Hutasoit,2004: 380).              Berubahnya status, tugas dan kedudukan polisi menjadi Angkatan Kepolisian yang setara dengan AD, AL dan AU, yang bertugas untuk mempertahankan Negara dari serbuan kekuatan asing. Kedudukan polisi yang demikian merupakan salah satu penyebab mengapa rakyat kurang dekat dengan polisi. Kerenggangan ini membuat polisi merasa jauh dari rakyat, begitu pula sebaliknya rakyat juga merasa jauh dari polisi. Dalam melaksanakan tugasnya, POLRI diharapkan mau untuk mengajak masyarakat agar ikut berpartisipasi. Hal ini akan membuat “ Citra Kepolisian ” baik dimata masyarakat. Setiap anggota POLRI diharapkan mampu mengembangkan yang lebih luas agar dapat menjadi panutan masyarakat, seperti anggota POLRI dapat menjadi sosiolog, psikolog, bahkan dapat menjadi seorang pemuka agama. Sehingga masyarakat akan merasa dilindungi, diayomi, dan dilayani kepentingannya sesuai dengan prosedur polisi yang berlaku. (Thomas Hutasoit, 2004: 379). 



2.      Refleksi Historis

Kita ketahui bersama bahwa kepolisian pada masa Orde Baru sangat kental dengan unsur militeristik. Pada masa pemerintahan Orde Baru Kepolisian Republik Indonesia dibenamkan dalam sebuah satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang bergerak dalam pengaruh budaya militer. Militeristik begitu mengikat karena masa lebih dari 30 tahun kepolisian dibalut dengan budaya militer tersebut. Hingga pada tahun 1998 tuntutan masyarakat begitu kuat dalam upaya membangun sebuah pemerintahan yang bersih dan mempunyai keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat.

Dahalu pada masa Orde Baru Polri lebih condong menerapkan hukum yang bersifat militan seperti yang digunakan Combatan karena bergabung dalam satu lingkup ABRI dan sering digununakan untuk kepentingan politik penguasa pada masa itu. Namun untuk sekarang setelah melalui masa orde baru Polri dituntut untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku bukan lagi menggunakan cara militeristik. Profesionalitas Polri pada saat ini dituntut untuk lebih baik untuk tidak digunakan sebagai ajang politik melainkan demi tercapainya azas keadilan negeri ini, seperti yang terjadi saat ini dalam kasus “Ahok” Polri dituntut untuk lebih professional dan independen tidak berpihak kepada penguasa melainkan tetap bekerja profesional sesuai dengan kaidah dan koridor hukum yang beraku.  Integritas Polri juga terus dituntut oleh masyarakat yang tak menghendaki ketidakjujuran, penyelewengan wewenang, ketidak berpihakan pada kepentingan umum, atau tindakan yang merugikan rakyat. Masyarakat masih prihatin terhadap wewenang dan penyalahgunaan yang menyebabkan rapuhnya dukungan publik terhadap kepolisian. Citra yang ternoda akan berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi polisi melaksanakan tugasnya secara efektif. Pentingnya persatuan dalam semangat korps Kepolisian Republik Indonesia menjadi kekuatan yang dibutuhkan bagi lembaga yang bertanggung jawab pada tertib hukum dan tertib keadaan umum. Akuntabilitas polisi menjadi ukuran dalam menjamin terselenggaranya pembaruan yang telah dirancang dalam cetak biru Reformasi Polri. (G Ambar Wulan Dosen Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana UI Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 April 2010).

Tugas dari suatu Lembaga Kepolisian adalah bagian dari pada tugas negara, perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib, ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan pengertian ketaatan dan kepatuhan. Terdapat 3 tugas utama polisi yaitu :
1) Menjaga keamanan dan ketertiban umum.
2) Menegakkan hukum.
3)Memberi pelayanan, perlindungan dan pengayoman.

Tugas-tugas Polisi sendiri diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai berikut:
1. Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1961, tentang ketentuan pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2.   Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 52 tahun 1969, dalam Pasal 4.
3.   Keppres No. 79 tahun 1969, tanggal 5 Oktober 1969, merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 132/1967, merupakan penegasan lebih lanjut tentang tugas dan tanggung jawab POLRI.

Lembaga Kepolisian pada masa Orde Baru bersama-sama dengan ABRI bertugas untuk menghadapi pemberontakan G 30 S PKI ( 1965 ). Bisa kita refleksikan pada masa sekarang bahwa Polri dalam menghadapi berbagai ancaman kemananan selalu bekerjasama dengan TNI contohnya dalam menghadapi terorisme di Poso, dan yang masih hangat yaitu bersama sama dalam melaksanakan pengamanan demo “Ahok” yang terjadi di ibukota DKI Jakarta. Hal itu tidak lepas dari kerjasama dan terdapat ikatan persaudaraan yang telah terjalin sejak dulu pada masa Orde Baru saat Polri dan TNI bersatu dalam ABRI.
     
Bergabungnya Polri dalam ABRI saat masa Orde Baru memiliki dampak positif maupun negatifnya. Dari segi Positif:
1. Kedudukan polisi di dalam ABRI setara dengan AD, AL, dan AU
2. Polisi terlibat dalam berbagai operasi keamanan bersama tentara dalam menjaga keutuhan NKRI dari berbagai gangguan, baik gangguan dari dalam maupun dari luar.
Dari segi Negatif:
1. Polisi tidak professional dan dijauhi masyarakat.
2. Pekerjaan polisi banyak yang diselesaikan secara militer.
3. Polisi sulit berkembang.
4. Ruang gerak polisi di pengaruhi oleh budaya militer.
Hal ini mengakibatkan polisi kurang berkembang tidak bisa menjadikan dirinya sebagai polisi sipil, tetapi lebih menunjukkan militeristik karena ketatnya integrasi dan secara umum polisi bukan merupakan angkatan perang. Namun kita bisa mengambil hikmah serta nilai-nilai pelajarannya bahwa seyogyanya masyarakat rindu akan kehadiran polisi ditengah-tengah masyarakat yang bersifat humanis yang bisa membawa ketentraman dan bisa melindungi, mengayomi semua lapisan masyarakat baik dari kalangan bawah sampai atas. Hal itu akan tercermin pada masa sekarang dengan Polri menerapkan kebijakan Grand Strategi Polri yaitu :
a. Periode 2005 – 2010 Terhadap Trust Building.
Masyarakat cenderung lebih mendambakan rasa aman dan rasa keadilan dari pemerintah, peningkatan service quality focus pada kebutuhan tersebut.
b. Periode 2010 – 2015 Tahap Partnership
Tingkat kepuasan terhadap rasa aman dan keadilan diharapkan semakin baik, tuntutan masyarakat akan melebar pada manajemen rasa aman dan adil yang akuntabel, transparan, open dan patuh rule of law.
c. Periode 2016 – 2025 Tahap Strive for Excellence
Tahap ini kebutuhan masyarakan akan lebih mengharapkan multi dimensional service quality yang efektif dan efisien ditengah globalisasi kejahatan yang makin canggih.

Pasca Orde Baru tumbang dimulailah masa Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 yang telah mengubah kondisi politik yang ada. Nilai demokrasi yang berkembang turut menjadi faktor yang mengubah pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah supremasi sipil. Kekuasaan sipil adalah yang utama. Supremasi sipil membuat kekuatan bersenjata sebagai penjaga hukum dan konstitusi, yang berarti mendukung, menjaga, dan mempertahankan militer sebagai institusi pertahanan negara, dan juga menjaga kondisi yang telah terbentuk dengan baik dalam negara . Tentara tunduk kepada kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Sementara kepolisian berfungsi di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat . Namun yang terjadi kemudian adalah kemunculan konflik yang terus menerus antara kelompok TNI melawan kelompok Polri sampai sekarang. banyak Argumen yang berpendapat bahwa pola hubungan TNI – Polri yang memburuk setelah pemisahan Polri dari ABRI bersifat sistemik, bukan bersifat kasuistik. Terlihat dari sebaran konflik yang hampir diseluruh wilayah Indonesia. Faktor struktur dan kepentingan TNI dan Polri memicu konflik yang terjadi. Penyelenggaraan pertahanan negara dan keamanan dalam negeri ternyata memunculkan persoalan pada tataran peran dan kewenangan antara TNI dan Polri.

Namun semuanya perlahan-lahan bisa diselesaikan baik secara kekeluargaan maupun secara hukum yang berlaku baik Polri menggunakan hukum sipil dan TNI yang mengunakan hukum peradilan militer. Hal tersebut tidak lepas dari terdapatnya saling memiliki sifat tenggangrasa dan saling berkeluarga sejak zaman Orde Baru bahwa TNI dan Polri yang bergabung menjadi satu dalam wadah ABRI, persaudaraan tua yang dulu pernah terjalin pada saat ini mulai dipupuk kembali dengan diadakannya berbagai macam kegiatan secara bersama-sama, pelaksaan tugas secara bersama-sama sehingga bisa saling bahu-membahu dan bisa melengkapi satu sama lain. Ditambah lagi dengan pemerataan kesejahteraan yang sama baik dari pihak TNI dan Polri yang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang membuat sifat korsa dan kompak dalam menjaga dan mengamankan negeri ini kian kokoh serta dalam mewujudkan Negara Indonesia yang adil dan sejahtera.
           
     




DAFTAR PUSTAKA


Ambar Wulan G. (2009). Polisi dan Politik: Intelejen Kepolisian pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949. Jakarta: Rajawali Press.

Awaloedin Djamin.(2006). Sejarah Perkembangan Kepolisian diIndonesia Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang. Jakarta: Yayasan Brata Bhakti POLRI.
Awaloedin Djamin dan G. Ambar Wulan. 2016. Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo : Bapak Kepolisiian Negara RI Peletak Dasar Kepolisian Nasional Yang Profesional dan Modern. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara. 

Dadi Rohaedi. (2013).“ Kepolisian Negara RI 1945 – Sekarang ”.Makalah, Diskusi tentang sejarah lahirnya Lembaga Kepolisian.Jakarta: Museum POLRI.
Ghalia Indonesia,1986. Ketetapan-ketetapan MPR, 1983-1988, 1978-1983. Jakarta.

Hutasoit, Thomas. (2004). Menjadi Polisi yang Dipercaya Masyarakat: Tahapan Perjalanan Reformasi Polisi. Jakarta: Mabes POLRI.
Koesparmono Irsan. (1995). “Inovasi Struktur Kelembagaan dalam Menciptakan rofesionalisme POLRI”. dalam Banurusman (Ed).Polisi, Masyarakat dan Negara. Yogyakarta: Bigraf Pubilshing.

Memet Tanumidjaja. (1971). Sejarah Perkembangan Angkatan Kepolisian. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.


Soeparno. (1871). Sejarah Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.

0 komentar:

Posting Komentar