Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab
langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh
wilayah Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri). Kepolisian sebagai badan (organisasi) pemerintah yang
diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian arti
polisi tetap ditonjolkan sebagai badan atau lembaga yang harus menjalankan
fungsi pemerintahan, dan sebagai sebutan anggota dari lembaga Kepolisan sebagai
lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tetap tunduk dan patuh pada
tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 13 dinyatakan
bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan
hukum
c. Memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Salah satu penjabaran dari tugas
pokok Polri memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat yaitu dengan cara Polmas
(Pemolisian Masyarakat), Model Polmas "Pemolisian Masyarakat",
merupakan bentuk Pemolisian yang dikembangkan banyak negara dan merupakan satu
model Pemolisian yang sangat penting di Asia. Tidak seperti model Militeristik
yang umumnya banyak di negara berkembang, Polmas memiliki potensi untuk menjadi
modek Pemolisian yang akan diikuti kebanyak negara demokratis pada abad ke-21.
Model Polmas berkembang karena organisasi kepolisian di sana menyadari bahwa
sebagaian besar upaya mereka untuk "memberantas kejahatan" tidaklah
efektif. Merekapun mengadakan penelitian untuk mengetahui efektifitas kegiatan
yang terdapat dalam model Pemolisian tradisional seperti patroli preventif,
reaksi cepat terhadap peristiwa-peristiwa kejahatan, dan kegiatan investigasi
kejahatan. Untuk dapat terlaksananya Strategi Polmas tersebut dengan baik, maka
setiap anggota Polri harus memahami sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7
Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Di dalam mempelajari Polmas, ada beberapa
istilah yang perlu dipahami agar dapat melaksanakan tugas Polmas dengan
sebaik-baiknya, yaitu diantaranya : Perpolisian (policing) yaitu segala hal
ihwal tentang penyelenggaraan fungsi Kepolisian , tidak hanya menyangkut
operasionalisasi (taktik / tehnik) fungsi kepolisian tetapi juga pengelolaan
fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran menegemen puncak sampai
dengan managemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafati yang
melatar belakanginya. Pemolisian (policing), yaitu pemberdayaan segenap
komponen dan segala sumber daya yang dapat dilibatkan dalam pelaksanaan tugas
atau fungsi kepolisian guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar
mendapatkan hasil yang lebih optimal. Dan masyarakat (Community) diartikan
sebagai Sekelompok warga (laki-laki dan perempuan) atau komunitas yang berada
di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya (geografis community).
Batas wilayah komunitas dapat berbentuk RT,RW, desa, Kelurahan, ataupun berupa
pasar/pusat belanja/mal, kawasan industri, pusat/ komplek olehraga, stasiun
bus/kerta api, dan lain-lainnya. Warga masyarakat yang membentuk suatu kelompok
atau merasa menjadi bagian dari suatu kelompok berdasarkan kepentingan
(communitu of interst), contohnya kelompok berdasarkan etnis/suku, agama,
profesi, pekerjaan, keahlian, hobi, dll.
Polmas diterapkan dalam
komunitas-komunitas atau kelompok masyarakat yang didalam suatu lokasi tertentu
atau lingkungan komunitas berkesamaan profesi (misalnya kesamaan kerja,
keahlian, hobi, kepentingan dls), sehingga warga masyarakatnya tidak harus
tinggal di suatru tempat yang sama, tetapi dapat saja tempatnya berjauhan
sepanjang komunikasi antara warga satu sama lain berlangsung secara intensif
atau adanya kesamaan kepentingan (misalnya, kelompok ojek, hobi burung
perkutut, pembalap motor, hobi komputer dsb) yang semuanya bisa menjadi sarana
penyelenggaraan Polmas. Polmas adalah penyelenggaraan tugas kepolisian yang
mendasari pada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak
mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subyek dan masyarakat sebagai
obyek, melainkan harus dilakukan bersama oleh polisi dan melalui kemitraan
polisi dan warga masyarakat , sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi
gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan
solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta
ketertiban di lingkungannya.
Strategi Polmas adalah implementasi
pemolisian proaktif yang menekankan kemitraan sejajar antara polisi dan
masyarakat dalam upaya pencegahan dan penangkalan kejahatan, pemecahan masalah
sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan Kamtibmas dalam rangka meningkatkan
kepatuhan hukum dan kualitas hidup masyarakat. Falsafat Polmas sebagai
falsafah, Polmas mengandung makna suatu model pemolisian yang menekankan
hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dalam kesetaraan,
menampilkan sikap prilaku yang santun serta salaing menghargai antara polisi
dan warga sehingga menimbulkan rasa saling percaya dan kebersamaan dalam rangka
menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian
dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Konflik sudah menjadi bagian dari
kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya
memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan
hutan yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada umunya
orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan
utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang
memungkinkan perilaku seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber
daya alam juga memiliki aspek “social space” yang menghasilkan
hubungan-hubungan tertentu diantara para pelaku. Selain itu sumber daya alam
bisa menjadi langka atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan
lingkungan, permintaan pasar dan distribusi yang tidak merata. Yang terakhir,
sumber daya alam pada derajat tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang
atau kelompok tertentu.
Konflik merupakan kenyataan hidup,
tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan
masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa
diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik
bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001).
Dalam setiap kelompok sosial selalu
ada benih-benih pertentangan antara individudan individu, kelompok dan
kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya
berbentuk non fisik. Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan
dan tidak berbentuk kekerasaan. Konflik berasal dari kata kerja Latin, yaitu
configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan
atau membuatnya tidak berdaya.
Berwujud pada pertentangan fisik.
Secara umum, Pengertian Konflik Sosial (Pertentangan) adalah sebagai suatu
proses sosial antara dua pihak atau lebih ketika pihak yang satu berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak
berdaya. Latar belakang adanya konflik adalah adanya perbedaan yang sulit
ditemukan kesamaannya atau didamaikan baik itu perbedaan kepandaian, ciri
fisik, pengetahuan, keyakinan, dan adat istiadat. Konflik merupakan situasi
yang wajar dalam setiap masyarakat. Bahkan, tidak ada satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik. Tiap masyarakat pasti pernah mengalami konflik,
baik konflik dalam cakupan kecil atau konflik berskala besar. Konflik yang
cakupannya kecil, seperti konflik dalam keluarga, teman, dan atasan/bawahan.
Sementara itu, konflik dalam cakupan besar, seperti konflik antargolongan atau
antarkampung.
Menurut Soerjono Soekanto: Pengertian
konflik menurut Soerjono Soekanto adalah suatu proses sosial dimana individu
atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak
lawan dengan disertai ancaman dan kekerasan. Konflik sosial adalah suatu bentuk
interaksi yang ditandai oleh keadaan saling mengancam, menghancurkan, melukai,
dan melenyapkan di antara pihak-pihak yang terlibat. Sebenarnya, konflik tidak
selalu membawa dampak negatif. Sisi positif konflik sosial adalah konflik
mengawali terjadinya perubahan. Pertentangan antara kelompok-kelompok sosial
pada dasarnya adalah bentuk tuntutan terhadap perubahan kondisi yang tidak
menguntungkan. Suatu kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil menuntut
perubahan, untuk memperjuangkan perubahan itu, jalan yang ditempuh adalah
dengan menentang kondisi yang ada.
Dalam hal ini penulis ingin
menjabarkan bahwa munculnya konflik social dikarenakan adanya perbedaan dan
keragaman serta upaya penanganan konflik sosial mengggunakan Polmas. Berkaca
dari pernyataan tersebut, Indonesia adalah salah satu negara yang berpotensi
konflik. Lihat saja berita-berita di media massa, berbagai konflik terjadi di
Indonesia baik konflik horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal menunjuk
pada konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat. Yang termasuk dalam
konflik horizontal adalah konflik yang bernuansa suku, agama, ras, dan
antargolongan seperti di Papua, Poso, Sambas, dan Sampit. Sedangkan konflik
vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dengan negara. Umumnya
konflik ini terjadi karena ketidakpuasan akan cara kerja pemerintah. Seperti
konflik dengan para buruh, konflik Aceh, serta daerah-daerah yang muncul
gerakan separatisme.
Namun, dalam kenyataannya ditemukan
banyak konflik dengan bentuk dan jenis yang beragam. Soerjono Soekanto
(1989:90) berusaha mengklasifikasikan bentuk dan jenis-jenis konflik tersebut.
Menurutnya, konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, yaitu:
a. Konflik Pribadi
Konflik terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya
konflik pribadi diawali perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada
akhirnya melahirkan perasaan benci yang mendalam. Perasaan ini mendorong
tersebut untuk memaki, menghina, bahkan memusnahkan pihak lawan. Pada dasarnya
konflik pribadi sering terjadi dalam masyarakat.
b. Konflik Rasial
Konfilk rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki
keragaman suku dan ras. Lantas, apa yang dimaksud dengan ras? Ras merupakan pengelompokan
manusia berdasarkan ciri-ciri biologisnya, seperti bentuk muka, bentuk hidung,
warna kulit, dan warna rambut. Secara umum ras di dunia dikelompokkan menjadi
lima ras, yaitu Australoid, Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan ras-ras khusus.
Hal ini berarti kehidupan dunia berpotensi munculnya konflik juga jika
perbedaan antarras dipertajam.
c. Konflik Antarkelas Sosial
Terjadinya kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang
dihargai, seperti kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan. Kesemua itu menjadi
dasar penempatan seseorang dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas sosial atas,
menengah, dan bawah. Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar
menempati posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan
kekuasaan berada pada posisi bawah. Dari setiap kelas mengandung hak dan
kewajiban serta kepentingan yang berbeda-beda. Jika perbedaan ini tidak dapat
terjembatani, maka situasi kondisi tersebut mampu memicu munculnya konflik
rasial.
d. Konflik Politik Antargolongan
dalam Satu Masyarakat maupun antara Negara-Negara yang Berdaulat
Dunia perpolitikan pun tidak lepas dari munculnya konflik sosial.
Politik adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Konflik politik terjadi karena setiap golongan di masyarakat melakukan politik
yang berbeda-beda pada saat menghadapi suatu masalah yang sama. Karena
perbedaan inilah, maka peluang terjadinya konflik antargolongan terbuka lebar.
Contoh rencana undang-undang pornoaksi dan pornografi sedang diulas, masyarakat
Indonesia terbelah menjadi dua pemikiran, sehingga terjadi pertentangan antara
kelompok masyarakat yang setuju dengan kelompok yang tidak menyetujuinya.
e. Konflik Bersifat Internasional
Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaanperbedaan
kepentingan di mana menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Karena
mencakup suatu negara, maka akibat konflik ini dirasakan oleh seluruh rakyat
dalam suatu negara. Apabila kita mau merenungkan sejenak, pada umumnya konflik
internasional selalu berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan pada akhirnya
menimbulkan perang antarbangsa.
Banyak orang berpendapat bahwa konflik
terjadi karena adanya perebutan sesuatu yang jumlahnya terbatas. Adapula yang
berpendapat bahwa konflik muncul karena adanya ketimpangan-ketimpangan dalam
masyarakat, terutama antara kelas atas dan kelas bawah. Selain itu juga karena
adanya perbedaan-perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan tujuan dari masing
masing anggota masyarakat. Sementara itu, Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa
sebab sebab terjadinya konflik antara lain sebagai berikut.
1. Perbedaan Antar perorangan
Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau
pendapat. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau
istimewa, karena tidak pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan
yang lain.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab
terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial,
tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain. Misalnya
dalam suatu diskusi kelas, kamu bersama kelompokmu kebetulan sebagai penyaji
makalah. Pada satu kesempatan, ada temanmu yang mencoba untuk mengacaukan
jalannya diskusi dengan menanyakan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu dibahas
dalam diskusi tersebut. Kamu yang bertindak selaku moderator melakukan
interupsi dan mencoba meluruskan pertanyaan untuk kembali ke permasalahan
pokok. Namun temanmu (si penanya) tadi menganggap kelompokmu payah dan tidak
siap untuk menjawab pertanyaan. Perbedaan pandangan dan pendirian tersebut akan
menimbulkan perasaan amarah dan benci yang apabila tidak ada kontrol terhadap
emosional kelompok akan terjadi konflik.
2. Perbedaan Kebudayaan
Perbedaan kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku
perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Selain perbedaan
dalam tataran individual, kebudayaan dalam masing-masing kelompok juga tidak
sama. Setiap individu dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda.
Dalam lingkungan kelompok masyarakat yang samapun tidak menutup kemungkinan
akan terjadi perbedaan kebudayaan, karena kebudayaan lingkungan keluarga yang
membesarkannya tidak sama. Yang jelas, dalam tataran kebudayaan ini akan
terjadi perbedaan nilai dan norma yang ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran
yang dipakai oleh satu kelompok atau masyarakat tidak akan sama dengan yang
dipakai oleh kelompok atau masyarakat lain. Apabila tidak terdapat rasa saling
pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor
ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial. Contohnya seseorang yang
dibesarkan pada lingkungan kebudayaan yang bersifat individualis dihadapkan
pada pergaulan kelompok yang bersifat sosial. Dia akan mengalami kesulitan
apabila suatu saat ia ditunjuk selaku pembuat kebijakan kelompok. Ada
kecenderungan dia akan melakukan pemaksaan kehendak sehingga kebijakan yang
diambil hanya menguntungkan satu pihak saja. Kebijakan semacam ini akan di
tentang oleh kelompok besar dan yang pasti kebijakan tersebut tidak akan
diterima sebagai kesepakatan bersama. Padahal dalam kelompok harus
mengedepankan kepentingan bersama. Di sinilah letak timbulnya pertentangan yang
disebabkan perbedaan kebudayaan.
Contoh lainnya adalah seseorang yang berasal dari etnis A yang memiliki
kebudayaan A, pindah ke wilayah B dengan kebudayaan B. Jika orang tersebut
tetap membawa kebudayaan asal dengan konservatif, tentu saja ia tidak akan
diterima dengan baik di wilayah barunya. Dengan kata lain meskipun orang
tersebut memiliki pengaruh yang kuat, alangkah lebih baik jika tetap melakukan
penyesuaian terhadap kebudayaan tempat tinggalnya yang baru.
3.Bentrokan Kepentingan
Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan
sebagainya. Hal ini karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan
yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula halnya
dengan suatu kelompok tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang
tidak sama dengan kelompok lain. Misalnya kebijakan mengirimkan pemenang Putri
Indonesia untuk mengikuti kontes ‘Ratu Sejagat’ atau ‘Miss Universe’. Dalam hal
ini pemerintah menyetujui pengiriman tersebut, karena dipandang sebagai
kepentingan untuk promosi kepariwisataan dan kebudayaan. Di sisi lain kaum
agamis menolak pengiriman itu karena dipandang bertentangan dengan norma atau
adat ketimuran (bangsa Indonesia). Bangsa Indonesia yang selama ini dianggap
sebagai suatu bangsa yang menjunjung tinggi budaya timur yang santun, justru
merelakan wakilnya untuk mengikuti kontes yang ternyata di dalamnya ada salah
satu persyaratan yang mengharuskan untuk berfoto menggunakan swim suit (pakaian
untuk berenang).
4. Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat di dalam Masyarakat
Perubahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan
perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru.
Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat
keguncangan proses-prosessosial di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehidupan masyarakat yang telah ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu yang
wajar terjadi, namun jika terjadinya secara cepat akan menyebabkan gejolak
sosial, karena adanya ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat, yang pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik sosial. Contohnya kenaikan BBM,
termasuk perubahan yang begitu cepat. Masyarakat banyak yang kurang siap dan
kemudian menimbulkan aksi penolakan terhadap perubahan tersebut.
Selain yang disebutkan di atas, proses
sosial dalam masyarakat ada juga yang menyebabkan atau berpeluang menimbulkan
konflik adalah persaingan dankontravensi.
1. Persaingan (Competition)
Dalam persaingan individu atau kelompok
berusaha mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu
masa tertentu menjadi pusat perhatian umum. Cara yang dilakukan untuk mencapai
tujuan itu adalah dengan menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang
telah ada tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.
Jika dikelompokkan, ada dua macam
persaingan, yaitu persaingan yang bersifat pribadi dan tidak pribadi atau
kelompok. Persaingan pribadi merupakan persaingan yang dilakukan orang per
orang atau individu untuk memperoleh kedudukan dalam organisasi. Persaingan
kelompok, misalnya terjadi antara dua macam perusahaan dengan produk yang sama
untuk memperebutkan pasar di suatu wilayah.
Persaingan pribadi dan kelompok menghasilkan
beberapa bentuk persaingan, antara lain persaingan di bidang ekonomi,
kebudayaan, kedudukan dan peranan, dan persaingan ras.
a. Persaingan di Bidang Kebudayaan
Persaingan di bidang kebudayaan
merupakan persaingan antara dua kebudayaan untuk memperebutkan pengaruh di
suatu wilayah. Persaingan kebudayaan misalnya terjadi antara kebudayaan
pendatang dengan kebudayaan penduduk asli. Bangsa pendatang akan berusaha agar
kebudayaannya dipakai di wilayah di mana ia datang. Begitu pula sebaliknya,
penduduk asli akan berusaha agar bangsa pendatang menggunakan kebudayaannya
dalam kehidupan.
b. Persaingan Kedudukan dan Peranan
Apabila dalam diri seseorang atau
kelompok terdapat keinginan-keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok
yang mempunyai kedudukan dan peranan terpandang maka terjadilah persaingan.
Kedudukan dan peranan yang dikejar tergantung pada apa yang paling dihargai
oleh masyarakat pada suatu masa tertentu.
c. Persaingan Ras
Persaingan ras sebenarnya juga
merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Perbedaan ras baik perbedaan warna
kulit, bentuk tubuh, maupun corak rambut hanya merupakan suatu perlambang
kesadaran dan sikap atau perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan. Persaingan dalam
batas-batas tertentu memiliki fungsi. Berikut ini adalah beberapa fungsi
persaingan:
1) alat untuk mengadakan seleksi atas
dasar jenis kelamin dan sosial;
2) menyalurkan keinginan individu atau
kelompok yang bersifat kompetitif;
3) jalan untuk menyalurkan keinginan,
kepentingan, serta nilai-nilai yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat
perhatian sehingga tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing;
4) alat untuk menyaring para warga
golongan fungsional sehingga menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
2. Kontravensi
Kontravensi berasal dari bahasa Latin,
contra dan venire yang berarti menghalangi atau menantang. Kontravensi
merupakan usaha untuk menghalang-halangi pihak lain dalam mencapai tujuan.
Tujuan utama tindakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan
pihak lain. Hal itu dilakukan karena rasa tidak senang atas keberhasilan pihak
lain yang dirasa merugikan. Namun demikian, dalam kontravensi tidak ada maksud
untuk menghancurkan pihak lain.
Menurut Leopold von Wiese dan Howard
Becker ada lima macam bentuk kontravensi.
1.
Kontravensi umum, antara lain
dilakukan dengan penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan
menghalanghalangi, protes, gangguan-gangguan, dan kekerasan.
2.
Kontravensi sederhana, antara
lain dilakukan dengan menyangkal pernyataan pihak lain di depan umum,
memakimaki orang lain melalui selebaran, mencerca, dan memfitnah.
3.
Kontravensi intensif, antara
lain dilakukan dengan menghasut, menyebarkan desas-desus, dan mengecewakan
pihak lain.
4.
Kontravensi rahasia, antara
lain dilakukan dengan pengkhianatan dan mengumumkan rahasia pihak lain.
5.
Kontravensi taktis, antara lain
dilakukan dengan mengejutkan lawan dan mengganggu pihak lain.
Salah satu tantangan utama Polri ke
depan adalah menciptakan polisi masa depan, yang mampu secara terus-menerus
beradaptasi dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat.
Polisi harus dapat menjadi figur panutan masyarakat agar mampu membangun simpati
dan kemitraan dengan masyarakat begitu pula dalah ham penanganan konflik di
masyarakat. Prasyarat dari semua ini adalah Polri harus memperbaiki citra
dirinya terlebih dahulu. Untuk memperbaiki citra Polri dibutuhkan suatu
paradigma baru Polri yang sesuai dengan tuntutan arus reformasi.
Polmas (community policing, CP)
merupakan paradigma baru Polri. Polmas adalah suatu sistem atau gaya
perpolisian modern yang dalam pelayanan publik lebih menekankan kepada
pentingnya penerapan pendekatan sosio-kultural, psikologis, personal, informal,
persuasive, dan akomodatif, menggantikan gaya perpolisian konvensional yang
cenderung birokratis, sentralistik, legalistik, formal/resmi, otoriter,
represif, kaku/keras, dan general/seragam.
Sebagai suatu strategi dalam penanganan
konflik social Polmas berarti model perpolisian yang menekankan kemitraan
sejajar antara Petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan
mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan, ketertiban
masyarakat serta ketenteraman kehidupan masyarakat setempat dengan tujuan untuk
mengurangi kejahatan dan rasa takut akan kejahatan serta meningkatkan kualitas
hidup warga setempat.
Menurut Soerjono Soekanto (2001)
Pendekatan penanggulangan dan penanganan konflik dikategorikan dalam dua
dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan
menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian
konflik ialah :
1. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak
mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal
dengan istilah win-lose orientation.
2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi
bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain
tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik
perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara
dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain
menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi
memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua
belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving
approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidak pedulian dari kedua kelompok.
Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan
kelompok lain.
Sedangkan dalam wikipedia dijelaskan Cara-cara Pemecahan
konflik seperti :
1.
Gencatan senjata, yaitu
penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu
pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan
perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan
perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
2.
Abitrasi, yaitu suatu
perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan
keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti
ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat,
bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka
pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3.
Mediasi, yaitu penghentian
pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan
Belanda.
4.
Konsiliasi, yaitu usaha untuk
mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai
persetujuan bersama. Misalnya panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang
dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam
kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.
5.
Stalemate, yaitu keadaan ketika
kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu
berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena
kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh :
adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
6.
Adjudication (ajudikasi), yaitu
penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik
adalah :
1.
Elimination, yaitu pengunduran
diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan
ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.
2.
Subjugation atau domination,
yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa
orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara
pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.
3.
Majority rule, yaitu suara
terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa
mempertimbangkan argumentasi.
4.
Minority consent, yaitu
kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok
minoritas. Kelompok minoritas sama sekali
tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok
mayoritas.
5.
Kompromi, yaitu jalan tengah
yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
6.
Integrasi, yaitu
mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai
diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.
Polri merupakan bagian dari sistem
administrasi negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya terkait
dengan sub-sub sistem administrasi Negara yang sangat perlu mengedepankan
prinsip preventif dalam menjalankan tugasnya. Keberhasilan Polri dalam
melaksanakan tugasnya tergantung pada kemampuan merencanakan,
mengorganisasikan, melaksanakan dan pengawasan meliputi pengorganisasian,
manajemen personil, hubungan tata cara kerja, manajemen keuangan, manajemen
materiil, dan manajemen pengawasan.
Polri dalam melaksanakan tugas
pokoknya diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Polri
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman dan pelayan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Menurut Bayley (1994) untuk mewujudkan
rasa aman itu mustahil dapat dilakukan oleh Polisi saja, mustahil dapat
dilakukan dengan cara-cara bertindak Polisi yang konvensional yang melibatkan
birokrasi yang rumit, mustahil terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat
tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu
dengan tempat yang lain (Kunarto,1998:xi).
Sementara untuk
saat ini Polri yang dikomandoi oleh Kaplolri Jenderal M. Tito Karnavian
menerapakan Visi yaitu adalah terwujudnya Polri yang makin profesional, modern,
dan terpercaya, guna mendukung terciptanya Indonesia yang berdaulat, mandiri,
dan berkepribadian berdasarkan gotong-royong. Visi itu kemudian dijabarkan
sebagai berikut:
1. Profesional: Meningkatkan
kompetensi SDM Polri yang semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas
pendidikan dan pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan
prosedur baku yang sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur
keberhasilannya.
2. Modern: Melakukan modernisasi
dalam layanan publik yang didukung teknologi sehingga semakin mudah dan cepat
diakses oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan Almatsus dan Alpakam yang
makin modern.
3. Terpercaya: Melakukan reformasi
internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya
penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Untuk mewujudkan visi Kapolri, Jenderal Pol Tito
Karnavian telah menyusun strategi 8-11-10, yakni 8 misi, 11 program, dan 10
komitmen.
Misi:
1.
Berupaya melanjutkan reformasi internal Polri.
2. Mewujudkan organisasi dan postur Polri
yang ideal dengan didukung sarana dan prasarana kepolisian yang modern.
3. Mewujudkan pemberdayaan kualitas sumber
daya manusia Polri yang profesional dan kompeten, yang menjunjung etika dan
HAM.
4.
Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
5. Meningkatkan kualitas pelayanan prima dan
kepercayaan publik kepada Kepolisian RI.
6. Memperkuat kemampuan pencegahan kejahatan
dan deteksi dini berlandaskan prinsip pemolisian proaktif dan pemolisian yang
berorientasi pada penyelesaian akar masalah.
7. Meningkatkan
Harkamtibmas dengan mengikutsertakan publik melalui sinergitas polisional.
8. Mewujudkan penegakan hukum yang
profesional, berkeadilan, menjunjung tinggi
HAM dan anti KKN.
Program Prioritas:
1. Pemantapan reformasi internal Polri.
2. Peningkatan pelayanan publik yang lebih mudah bagi
masyarakat dan berbasis TI.
3. Penanganan kelompok radikal prokekerasan dan
intoleransi yang lebih optimal.
4. Peningkatan profesionalisme Polri menuju keunggulan.
5. Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
6. Tata kelembagaan, pemenuhan proporsionalitas anggaran
dan kebutuhan Min Sarpras.
7. Bangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap
Kamtibmas.
8. Penguatan Harkamtibmas (Pemeliharaan Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat).
9. Penegakan hukum yang lebih profesional dan
berkeadilan.
10. Penguatan pengawasan.
11. Quick Wins Polri.
Komitmen:
1. Melakukan konsolidasi internal
dan menyiapkan langkah langkah strategis untuk mewujudkan organisasi Polri yang
semakin solid dan profesional.
2. Melanjutkan program-program yang
telah dilaksanakan oleh Kapolri sebelumnya.
3. Mewujudkan insan bhayangkara dan
organisasi Polri yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta
menjunjung etika dan moral.
4. Selalu mengembangkan sistem
diklat Polri dalam rangka meningkatkan kompetensi dan integritas SDM Polri.
5. Melakukan koordinasi dengan stake
holder terkait guna memudahkan dan memperlancar program program yang telah
direncanakan dan ditetapkan.
6. Menunjukan teladan pemimpin yang
memiliki Kompetensi, Proaktif, Tegas, tidak ragu ragu dan bertanggung jawab,
serta melayani dan memberdayakan anggota serta antisipatif terhadap perubahan.
7. mewujudkan pelayanan prima Polri
kepada masyarakat dengan lebih mudah, cepat, nyaman dan humanis.
8. Menerapkan pemberian penghargaan
bagi yang berprestasi dan menindak bagi yang melakukan pelanggaran.
9. Mengamankan program prioritas
nasional dan kebijakan Pemerintah.
10.Melaksanakan dengan
sungguh-sungguh reformasi internal Polri, peningkatan pelayanan publik menjadi
lebih prima.
Salah satu upaya preventif dalam menangani
konflik sosial pada kepolisian yaitu dengan menerapkan sistem pendekatan polisi
dengan masyarakat atau dengan istilah lain Polmas (pemolisian masyarakat) atau
community policing. Community policing
diyakini memiliki nilai sosial kultural bangsa, sejalan dengan
perkembangan masyarakat modern dan masyarakat madani yang menjunjung tinggi
nilai demokrasi dan pluralisme, egaliterisme dan partnership, mengatasi
kekerasan tanpa kekerasan, dan sebagainya. Seperti dikatakan Suparlan (2004)
gagasan membangun konsepsi (concept) bersama tentang community policing tidak
dapat dilepaskan dari munculnya kesadaran bersama adanya “keanekaragaman
sukubangsa dan keyakinan keagamaan”. Dan kesadaran kita (termasuk kepolisian)
akan adanya keanekaragaman tersebut, yang bukan sekedar masyarakat majemuk
(plural society), tetapi multikulturalisme sebagai ideologi kesederajatan,
memerlukan kemampuan pemahaman secara benar (Chrysnanda dalam Suparlan 2004:
95).
Pembangunan pemolisian masyarakat, harus
dibarengi dengan mendirikan forum-forum komunikasi antara kepolisian dan
masyarakat (police-community liaison committees). Dengan komunikasi tersebut
akan melahirkan beberapa konsensus tindakan yang diterima dan dilaksanakan oleh
warga. Pertimbangan utama dalam community policing adalah warga memberi
definisi masalah yang harus dipecahkan, warga terlibat dalam perencanaan dan
pengimplementasian kegiatan pemecahan masalah. Jadi tercipta suatu hubungan yang
erat dan saling menguntungkan antara polisi dengan anggota masyarakat (Lihawa
2005: 18). Meskipun Polmas mengemban misi penerapan hukum positif pada
masyarakat, namun tidak lupa untuk memperhatikan norma-norma sosial pada
masyarakat itu sendiri. Memanfaatkan adat istiadat masyarakat setempat juga
merupakan indikator keberhasilan polisi dalam berinteraksi dalam masyarakat.
Ini menandakan polisi juga mempertimbangkan aspek-aspek pendekatan secara
kewilayahan ketimbang murni pendekatan hukum. Karena proses menyelesaikan suatu
masalah sosial di masyarakat tidak melulu melalui pendekatan hukum, namun
adakalanya adat istiadat setempat turut mempengaruhi penyelesaian masalah.
Dengan demikian polisi telah mencoba menginternalisasikan falsafah pemolisian
kedalam lingkungan adat masyarakat setempat. Peran polmas sangat membantu
kepolisian dalam mewujudkan birokrasi kepolisian yang baik, dengan polmas
masyarakat akan percaya serta membantu tugas-tugas yang diemban oleh kepolisian
sehingga dalam perjalanannya tugas kepolisian akan semakin ringan dan system
birokrasi akan berjalan cepat.
Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi
standar pelayanan prima yang berarti: cepat, tepat, akurat, transparan,
akuntabel, informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan
melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif,
sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam
memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan
hukumnya. Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam konteks : 1.
Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity Building
(pembangunan kapasitas bagi institusi).
Model pemolisian dapat dibuat 3 kategori: 1.
Berbasis wilayah, 2. Berbasis kepentingan dan 3. Berbasis dampak masalah.
Ketiga kategori tersebut memiliki pendekatan yang berbeda namun ada benang
merahnya yang menunjukan adanya saling keterkaitan satu dengan lainya. Model
pemolisian ini dapat digunakan sebagai acuan dasar/pedoman dalam mengimplementasikanya,
(chrisnanda dalam artikel http://news.detik.com/kolom/2670876).
Pada masa sekarang ini bentuk perwujudan
polmas dalam mengatasi konflik sosial salah satunya menggunakan FKPM (Forum
Kemitraan Polisi Masyarakat) Berdasarkan Skep Kapolri No. Pol. :
Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi
Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri
dinyatakan bahwa dalam melakukan percepatan terwujudnya Polmas mengamanatkan
adanya pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). FKPM merupakan
forum kemitraan yang mencerminkan keterwakilan semua unsur dalam masyarakat
termasuk petugas Polmas sekaligus wadah kerja sama antara Polisi dengan
masyarakat yang mengoperasionalisasikan Polmas dalam lingkungannya yang salah
satu tugasnya guna menangani dan mencegah terjadinya konflik social di
masyarakat.
Mengingat keberadaan FKPM sangat penting bagi
operasionalisasi Polmas, maka Kapolres selaku roda penggerak utama organisasi
Polri di tingkat KOD atau daerah dituntut mampu mengoptimalisasikan peranan dan
fungsi FKPM sehingga eksistensinya benar-benar mampu mendukung keberhasilan
pelaksanaan Polmas.
Adapun pengaruh pembentukan FKPM terhadap
percepatan Polmas di tingkat KOD dapat dibuktikan dari peran FKPM sebagai : (1)
sarana/media partisipasi dan kemitraan masyarakat; (2) wadah pemecahan masalah
oleh polisi bersama warga; (3) wadah komunikasi dan kosultasi polisi terhadap
warga.
Sebagai sarana/media partisipasi dan
kemitraan masyarakat, FKPM dapat menjadi alat bagi masyarakat untuk
menyampaikan aspirasi, masukan, usulan dan komplain terhadap permasalahan
keamanan dan ketertiban masyarakat yang terkait dengan kinerja Polri. FKPM
dapat dijadikan alat untuk menampung dan menyalurkan keinginan masyarakat
terhadap persoalan social yang dihadapi sehingga sangat baik bagi Polri untuk
mengetahui, menyerap, dan mewujudkan keinginan masyarakat. Dengan pembentukan
FKPM, satuan Polri di tingkat KOD akan menjadi peka dan sensitif terhadap
kejadian dan kecenderungan di tengah masyarakat yang akan mengarah pada
terjadinya praktek pelanggaran hukum dan gangguan terhadap keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Sebagai wadah pemecahan masalah oleh polisi
bersama warga, FKPM dapat menjadi sarana dalam mendiskusikan, memusyawarahkan,
dan membahas semua persoalan yang ada di tengah masyarakat sehingga setiap
perbedaan kepentingan antar pihak/antar kelompok masyarakat tidak sampai
mengarah pada terjadinya konflik, kekerasan dan kerusuhan. Pembentukan FKPM
dapat mendeteksi secara dini gejala dan potensi konflik di tengah masyarakat
sehingga dilakukan tindakan sebelum terjadi konflik di tengah masyarakat.
Eksistensi FKPM dapat menjembatani dan memediasi semua persoalan di masyarakat
agar diselesaikan secara damai berdasarkan musyawarah mufakat. Dalam memecahkan
persoalan masyarakat, FKPM juga perlu memberdayakan mekanisme dan prosedur
resolusi konflik yang berbasis pada budaya/adapt masyarakat yang biasanya
justru lebih manjur dalam menyelesaikan masalah masyarakat. Hal ini sejalan
dengan filosofi Polmas, yakni menyelesaikan masalah setempat, dengan cara
setempat, oleh masyarakat setempat. Anggota Polri dalam keanggotaan FKPM hanya
bersifat advokasi/pendampingan terhadap pihak-pihak/stakeholders di tengah
masyarakat.
Sebagai wadah informasi, komunikasi dan
kosultasi polisi terhadap warga, FKPM dapat menjadi sarana bagi masyarakat
untuk sumber informasi dan konsultasi terhadap permasalahan yang dihadapi
masyarakat. FKPM harus menyediakan sumber informasi bagi warga masyarakat
terhadap kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat serta tugas-tugas Polri
kaitannya dengan masyarakat. FKPM menjadi media komunikasi bagi Polri dan
masyarakat tentang pentingnya menjaga keamanan lingkungan masing-masing. FKPM
menjadi alat konsultasi bagi warga yang menghadapi permasalahan, khususnya
permasalahan hukum sehingga Polri bisa memberikan bimbingan dan nasehat
hukum yangbenar.(artikelagussubagyodalamhttps://agussubagyo1978.wordpress.com/2015/07/01/peran-fkpm-dalam-percepatan-implementasi-polmas/)
.
Dengan demikian, dalam konteks percepatan
Polmas di tengah masyarakat, pembentukan FKPM diarahkan untuk : Membina
keharmonisan hubungan kerja sama kemitraan sejajar antara polisi dan masyarakat
dalam penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka
menciptakan ketenteraman umum dalam kehidupan masyarakat; Menampung dan
menyalurkan aspirasi warga dalam menyelesaikan dan mengatasi konflik social yang
mengancam kamtibmas serta ketenteraman kehidupan masyarakat; Menghimpun seluruh
kekuatan yang ada di masyarakat yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam
tugas-tugas pengamanan di lingkungannya; Menyelesaikan dan mengatasi berbagai konflik
sosialyang mengancam kamtibmas serta ketenteraman kehidupan masyarakat; Melakukan
koordinasi, konsultasi, dan konsulidasi antara warga dengan polisi dalam rangka
mencapai sinergitas dalam penanggulangan kejahatan, ketidaktertiban sosial, dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bachtiar, Harsya W, 1994, Ilmu Kepolisian, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
- Bailey, Kathleen M. and Savage, L. 1994. New Ways in Teaching speaking. Cambridge : Cambridge
University Press.
- Chrysnanda DL. 2004. Pemolisian
Komuniti dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Dalam Bunga
Rampai Ilmu Kepolisian, Parsudi Suparlan (ed.). Jakarta: YPKIK.
4.
Chrysnanda DL . 2009. Polisi Penjaga Kehidupan . Jakarta : YPKIK.
5.
Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor),2008,Ilmu
Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,
6.
Djamin, Awaloedin, 2002, Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Jurnal Polisi Indonesia Tahun IV/September 2002, KIK Press,
Jakarta.
7.
Djamin,Awaloeddin.2007. Kedudukan
Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok,
Jakarta:PTIK Press.
8. Djamin,Awaloeddin.2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta: YPKIK.
9.
___________, 2007, Tantangan dan Kendala Menuju Polri
Yang Profesional dan Mandiri, PTIK Press, Jakarta
10. Fisher, Simon, dkk. 2001. Mengelola Konflik :
Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N.
Kartikasari, dkk, The British Counsil, Indonesia, Jakarta.
- Gellner. Ernest. (1995). Nationalism, London : Phoenix
12. Ilmu
Kepolisian, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, PTIK Press.2015
- Kunarto . 1998. Police for the future = polisi masa depan . Jakarta : Cipta
Manunggal
- Lihawa, Ronny. 2005. Memahami Community Policing. Jakarta: YPKIK.
15. Mardjono
Reksodiputro,2004, Ilmu Kepolisian dan
Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI)
16. Muhammad,
Farouk. “Menuju Reformasi Polri”.
Restu Agung. 2005
- Savirani, Amalinda. 2004, Local
Strongmen in New Regional Politics in Indonesia, thesis.
- Soekanto Soerjono, 2001, “ Sosiologi Suatu Pengantar “, Rajawali
Pers, Jakarta
- Suparlan, Parsudi. 1999. Polisi
Indonesia dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hukum Nasional
VII Departemen Kehakiman, tidak diterbitkan.
20. Suparlan,
Parsudi. 2004. “Bunga Rampai Ilmu
Kepolisian Indonesia”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
21. Upreti,
P & L.E. Metzger. 2006. Influence of
Calcium and Phosphorus, Lactose, and Saltto Moisture Ratio on Cheddar Cheese
Quality: Manufacture and Compotition. J. Dairy Sci. 89:420-428.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Penanganan_konflik_sosial tanggal 14 November 2016 .
28. http://blog.komputerbutut.com/campuran/menyelesaikan-permasalahan-konflik-sosial.php
tanggal 15 November 2016.
0 komentar:
Posting Komentar