Minggu, 15 Oktober 2017

PEMOLISIAN DAN KONFLIK SOSIAL

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Kepolisian sebagai badan (organisasi) pemerintah yang diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian arti polisi tetap ditonjolkan sebagai badan atau lembaga yang harus menjalankan fungsi pemerintahan, dan sebagai sebutan anggota dari lembaga Kepolisan sebagai lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tetap tunduk dan patuh pada tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a.      Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b.      Menegakkan hukum
c.      Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Salah satu penjabaran dari tugas pokok Polri memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat yaitu dengan cara Polmas (Pemolisian Masyarakat), Model Polmas "Pemolisian Masyarakat", merupakan bentuk Pemolisian yang dikembangkan banyak negara dan merupakan satu model Pemolisian yang sangat penting di Asia. Tidak seperti model Militeristik yang umumnya banyak di negara berkembang, Polmas memiliki potensi untuk menjadi modek Pemolisian yang akan diikuti kebanyak negara demokratis pada abad ke-21. Model Polmas berkembang karena organisasi kepolisian di sana menyadari bahwa sebagaian besar upaya mereka untuk "memberantas kejahatan" tidaklah efektif. Merekapun mengadakan penelitian untuk mengetahui efektifitas kegiatan yang terdapat dalam model Pemolisian tradisional seperti patroli preventif, reaksi cepat terhadap peristiwa-peristiwa kejahatan, dan kegiatan investigasi kejahatan. Untuk dapat terlaksananya Strategi Polmas tersebut dengan baik, maka setiap anggota Polri harus memahami sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Di dalam mempelajari Polmas, ada beberapa istilah yang perlu dipahami agar dapat melaksanakan tugas Polmas dengan sebaik-baiknya, yaitu diantaranya : Perpolisian (policing) yaitu segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi Kepolisian , tidak hanya menyangkut operasionalisasi (taktik / tehnik) fungsi kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran menegemen puncak sampai dengan managemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafati yang melatar belakanginya. Pemolisian (policing), yaitu pemberdayaan segenap komponen dan segala sumber daya yang dapat dilibatkan dalam pelaksanaan tugas atau fungsi kepolisian guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal. Dan masyarakat (Community) diartikan sebagai Sekelompok warga (laki-laki dan perempuan) atau komunitas yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya (geografis community). Batas wilayah komunitas dapat berbentuk RT,RW, desa, Kelurahan, ataupun berupa pasar/pusat belanja/mal, kawasan industri, pusat/ komplek olehraga, stasiun bus/kerta api, dan lain-lainnya. Warga masyarakat yang membentuk suatu kelompok atau merasa menjadi bagian dari suatu kelompok berdasarkan kepentingan (communitu of interst), contohnya kelompok berdasarkan etnis/suku, agama, profesi, pekerjaan, keahlian, hobi, dll.

Polmas diterapkan dalam komunitas-komunitas atau kelompok masyarakat yang didalam suatu lokasi tertentu atau lingkungan komunitas berkesamaan profesi (misalnya kesamaan kerja, keahlian, hobi, kepentingan dls), sehingga warga masyarakatnya tidak harus tinggal di suatru tempat yang sama, tetapi dapat saja tempatnya berjauhan sepanjang komunikasi antara warga satu sama lain berlangsung secara intensif atau adanya kesamaan kepentingan (misalnya, kelompok ojek, hobi burung perkutut, pembalap motor, hobi komputer dsb) yang semuanya bisa menjadi sarana penyelenggaraan Polmas. Polmas adalah penyelenggaraan tugas kepolisian yang mendasari pada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subyek dan masyarakat sebagai obyek, melainkan harus dilakukan bersama oleh polisi dan melalui kemitraan polisi dan warga masyarakat , sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban di lingkungannya.

Strategi Polmas adalah implementasi pemolisian proaktif yang menekankan kemitraan sejajar antara polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penangkalan kejahatan, pemecahan masalah sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan Kamtibmas dalam rangka meningkatkan kepatuhan hukum dan kualitas hidup masyarakat. Falsafat Polmas sebagai falsafah, Polmas mengandung makna suatu model pemolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dalam kesetaraan, menampilkan sikap prilaku yang santun serta salaing menghargai antara polisi dan warga sehingga menimbulkan rasa saling percaya dan kebersamaan dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada umunya orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang memungkinkan perilaku seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam juga memiliki aspek “social space” yang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa menjadi langka atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan, permintaan pasar dan distribusi yang tidak merata. Yang terakhir, sumber daya alam pada derajat tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok tertentu.

Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001).

Dalam setiap kelompok sosial selalu ada benih-benih pertentangan antara individudan individu, kelompok dan kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk non fisik. Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak berbentuk kekerasaan. Konflik berasal dari kata kerja Latin, yaitu configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Berwujud pada pertentangan fisik. Secara umum, Pengertian Konflik Sosial (Pertentangan) adalah sebagai suatu proses sosial antara dua pihak atau lebih ketika pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Latar belakang adanya konflik adalah adanya perbedaan yang sulit ditemukan kesamaannya atau didamaikan baik itu perbedaan kepandaian, ciri fisik, pengetahuan, keyakinan, dan adat istiadat. Konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat. Bahkan, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik. Tiap masyarakat pasti pernah mengalami konflik, baik konflik dalam cakupan kecil atau konflik berskala besar. Konflik yang cakupannya kecil, seperti konflik dalam keluarga, teman, dan atasan/bawahan. Sementara itu, konflik dalam cakupan besar, seperti konflik antargolongan atau antarkampung.

Menurut Soerjono Soekanto: Pengertian konflik menurut Soerjono Soekanto adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan dengan disertai ancaman dan kekerasan. Konflik sosial adalah suatu bentuk interaksi yang ditandai oleh keadaan saling mengancam, menghancurkan, melukai, dan melenyapkan di antara pihak-pihak yang terlibat. Sebenarnya, konflik tidak selalu membawa dampak negatif. Sisi positif konflik sosial adalah konflik mengawali terjadinya perubahan. Pertentangan antara kelompok-kelompok sosial pada dasarnya adalah bentuk tuntutan terhadap perubahan kondisi yang tidak menguntungkan. Suatu kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil menuntut perubahan, untuk memperjuangkan perubahan itu, jalan yang ditempuh adalah dengan menentang kondisi yang ada.

Dalam hal ini penulis ingin menjabarkan bahwa munculnya konflik social dikarenakan adanya perbedaan dan keragaman serta upaya penanganan konflik sosial mengggunakan Polmas. Berkaca dari pernyataan tersebut, Indonesia adalah salah satu negara yang berpotensi konflik. Lihat saja berita-berita di media massa, berbagai konflik terjadi di Indonesia baik konflik horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal menunjuk pada konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat. Yang termasuk dalam konflik horizontal adalah konflik yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan seperti di Papua, Poso, Sambas, dan Sampit. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dengan negara. Umumnya konflik ini terjadi karena ketidakpuasan akan cara kerja pemerintah. Seperti konflik dengan para buruh, konflik Aceh, serta daerah-daerah yang muncul gerakan separatisme.

Namun, dalam kenyataannya ditemukan banyak konflik dengan bentuk dan jenis yang beragam. Soerjono Soekanto (1989:90) berusaha mengklasifikasikan bentuk dan jenis-jenis konflik tersebut. Menurutnya, konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, yaitu:

a. Konflik Pribadi
Konflik terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya konflik pribadi diawali perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya melahirkan perasaan benci yang mendalam. Perasaan ini mendorong tersebut untuk memaki, menghina, bahkan memusnahkan pihak lawan. Pada dasarnya konflik pribadi sering terjadi dalam masyarakat.

b. Konflik Rasial
Konfilk rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragaman suku dan ras. Lantas, apa yang dimaksud dengan ras? Ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri biologisnya, seperti bentuk muka, bentuk hidung, warna kulit, dan warna rambut. Secara umum ras di dunia dikelompokkan menjadi lima ras, yaitu Australoid, Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan ras-ras khusus. Hal ini berarti kehidupan dunia berpotensi munculnya konflik juga jika perbedaan antarras dipertajam.

c. Konflik Antarkelas Sosial
Terjadinya kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai, seperti kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan. Kesemua itu menjadi dasar penempatan seseorang dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah, dan bawah. Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar menempati posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan berada pada posisi bawah. Dari setiap kelas mengandung hak dan kewajiban serta kepentingan yang berbeda-beda. Jika perbedaan ini tidak dapat terjembatani, maka situasi kondisi tersebut mampu memicu munculnya konflik rasial.

d. Konflik Politik Antargolongan dalam Satu Masyarakat maupun antara Negara-Negara yang Berdaulat
Dunia perpolitikan pun tidak lepas dari munculnya konflik sosial. Politik adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Konflik politik terjadi karena setiap golongan di masyarakat melakukan politik yang berbeda-beda pada saat menghadapi suatu masalah yang sama. Karena perbedaan inilah, maka peluang terjadinya konflik antargolongan terbuka lebar. Contoh rencana undang-undang pornoaksi dan pornografi sedang diulas, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua pemikiran, sehingga terjadi pertentangan antara kelompok masyarakat yang setuju dengan kelompok yang tidak menyetujuinya.

e. Konflik Bersifat Internasional
Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaanperbedaan kepentingan di mana menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu negara, maka akibat konflik ini dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu negara. Apabila kita mau merenungkan sejenak, pada umumnya konflik internasional selalu berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan pada akhirnya menimbulkan perang antarbangsa.

Banyak orang berpendapat bahwa konflik terjadi karena adanya perebutan sesuatu yang jumlahnya terbatas. Adapula yang berpendapat bahwa konflik muncul karena adanya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat, terutama antara kelas atas dan kelas bawah. Selain itu juga karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan tujuan dari masing masing anggota masyarakat. Sementara itu, Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebab sebab terjadinya konflik antara lain sebagai berikut.

1. Perbedaan Antar perorangan
Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau pendapat. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena tidak pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang lain.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain. Misalnya dalam suatu diskusi kelas, kamu bersama kelompokmu kebetulan sebagai penyaji makalah. Pada satu kesempatan, ada temanmu yang mencoba untuk mengacaukan jalannya diskusi dengan menanyakan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu dibahas dalam diskusi tersebut. Kamu yang bertindak selaku moderator melakukan interupsi dan mencoba meluruskan pertanyaan untuk kembali ke permasalahan pokok. Namun temanmu (si penanya) tadi menganggap kelompokmu payah dan tidak siap untuk menjawab pertanyaan. Perbedaan pandangan dan pendirian tersebut akan menimbulkan perasaan amarah dan benci yang apabila tidak ada kontrol terhadap emosional kelompok akan terjadi konflik.

2. Perbedaan Kebudayaan
Perbedaan kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Selain perbedaan dalam tataran individual, kebudayaan dalam masing-masing kelompok juga tidak sama. Setiap individu dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam lingkungan kelompok masyarakat yang samapun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan kebudayaan, karena kebudayaan lingkungan keluarga yang membesarkannya tidak sama. Yang jelas, dalam tataran kebudayaan ini akan terjadi perbedaan nilai dan norma yang ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran yang dipakai oleh satu kelompok atau masyarakat tidak akan sama dengan yang dipakai oleh kelompok atau masyarakat lain. Apabila tidak terdapat rasa saling pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial. Contohnya seseorang yang dibesarkan pada lingkungan kebudayaan yang bersifat individualis dihadapkan pada pergaulan kelompok yang bersifat sosial. Dia akan mengalami kesulitan apabila suatu saat ia ditunjuk selaku pembuat kebijakan kelompok. Ada kecenderungan dia akan melakukan pemaksaan kehendak sehingga kebijakan yang diambil hanya menguntungkan satu pihak saja. Kebijakan semacam ini akan di tentang oleh kelompok besar dan yang pasti kebijakan tersebut tidak akan diterima sebagai kesepakatan bersama. Padahal dalam kelompok harus mengedepankan kepentingan bersama. Di sinilah letak timbulnya pertentangan yang disebabkan perbedaan kebudayaan.
Contoh lainnya adalah seseorang yang berasal dari etnis A yang memiliki kebudayaan A, pindah ke wilayah B dengan kebudayaan B. Jika orang tersebut tetap membawa kebudayaan asal dengan konservatif, tentu saja ia tidak akan diterima dengan baik di wilayah barunya. Dengan kata lain meskipun orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat, alangkah lebih baik jika tetap melakukan penyesuaian terhadap kebudayaan tempat tinggalnya yang baru.

3.Bentrokan Kepentingan
Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama dengan kelompok lain. Misalnya kebijakan mengirimkan pemenang Putri Indonesia untuk mengikuti kontes ‘Ratu Sejagat’ atau ‘Miss Universe’. Dalam hal ini pemerintah menyetujui pengiriman tersebut, karena dipandang sebagai kepentingan untuk promosi kepariwisataan dan kebudayaan. Di sisi lain kaum agamis menolak pengiriman itu karena dipandang bertentangan dengan norma atau adat ketimuran (bangsa Indonesia). Bangsa Indonesia yang selama ini dianggap sebagai suatu bangsa yang menjunjung tinggi budaya timur yang santun, justru merelakan wakilnya untuk mengikuti kontes yang ternyata di dalamnya ada salah satu persyaratan yang mengharuskan untuk berfoto menggunakan swim suit (pakaian untuk berenang).

4. Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat di dalam Masyarakat
Perubahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru. Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat keguncangan proses-prosessosial di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu yang wajar terjadi, namun jika terjadinya secara cepat akan menyebabkan gejolak sosial, karena adanya ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik sosial. Contohnya kenaikan BBM, termasuk perubahan yang begitu cepat. Masyarakat banyak yang kurang siap dan kemudian menimbulkan aksi penolakan terhadap perubahan tersebut.

Selain yang disebutkan di atas, proses sosial dalam masyarakat ada juga yang menyebabkan atau berpeluang menimbulkan konflik adalah persaingan dankontravensi.

1. Persaingan (Competition)
Dalam persaingan individu atau kelompok berusaha mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum. Cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu adalah dengan menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang telah ada tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.

Jika dikelompokkan, ada dua macam persaingan, yaitu persaingan yang bersifat pribadi dan tidak pribadi atau kelompok. Persaingan pribadi merupakan persaingan yang dilakukan orang per orang atau individu untuk memperoleh kedudukan dalam organisasi. Persaingan kelompok, misalnya terjadi antara dua macam perusahaan dengan produk yang sama untuk memperebutkan pasar di suatu wilayah.

Persaingan pribadi dan kelompok menghasilkan beberapa bentuk persaingan, antara lain persaingan di bidang ekonomi, kebudayaan, kedudukan dan peranan, dan persaingan ras.

a. Persaingan di Bidang Kebudayaan
Persaingan di bidang kebudayaan merupakan persaingan antara dua kebudayaan untuk memperebutkan pengaruh di suatu wilayah. Persaingan kebudayaan misalnya terjadi antara kebudayaan pendatang dengan kebudayaan penduduk asli. Bangsa pendatang akan berusaha agar kebudayaannya dipakai di wilayah di mana ia datang. Begitu pula sebaliknya, penduduk asli akan berusaha agar bangsa pendatang menggunakan kebudayaannya dalam kehidupan.

b. Persaingan Kedudukan dan Peranan
Apabila dalam diri seseorang atau kelompok terdapat keinginan-keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan dan peranan terpandang maka terjadilah persaingan. Kedudukan dan peranan yang dikejar tergantung pada apa yang paling dihargai oleh masyarakat pada suatu masa tertentu.

c. Persaingan Ras
Persaingan ras sebenarnya juga merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Perbedaan ras baik perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, maupun corak rambut hanya merupakan suatu perlambang kesadaran dan sikap atau perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan. Persaingan dalam batas-batas tertentu memiliki fungsi. Berikut ini adalah beberapa fungsi persaingan:

1) alat untuk mengadakan seleksi atas dasar jenis kelamin dan sosial;
2) menyalurkan keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif;
3) jalan untuk menyalurkan keinginan, kepentingan, serta nilai-nilai yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian sehingga tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing;
4) alat untuk menyaring para warga golongan fungsional sehingga menghasilkan pembagian kerja yang efektif.

2. Kontravensi
Kontravensi berasal dari bahasa Latin, contra dan venire yang berarti menghalangi atau menantang. Kontravensi merupakan usaha untuk menghalang-halangi pihak lain dalam mencapai tujuan. Tujuan utama tindakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain. Hal itu dilakukan karena rasa tidak senang atas keberhasilan pihak lain yang dirasa merugikan. Namun demikian, dalam kontravensi tidak ada maksud untuk menghancurkan pihak lain.

Menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker ada lima macam bentuk kontravensi.
1.       Kontravensi umum, antara lain dilakukan dengan penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan menghalanghalangi, protes, gangguan-gangguan, dan kekerasan.
2.       Kontravensi sederhana, antara lain dilakukan dengan menyangkal pernyataan pihak lain di depan umum, memakimaki orang lain melalui selebaran, mencerca, dan memfitnah.
3.       Kontravensi intensif, antara lain dilakukan dengan menghasut, menyebarkan desas-desus, dan mengecewakan pihak lain.
4.       Kontravensi rahasia, antara lain dilakukan dengan pengkhianatan dan mengumumkan rahasia pihak lain.
5.       Kontravensi taktis, antara lain dilakukan dengan mengejutkan lawan dan mengganggu pihak lain.

Salah satu tantangan utama Polri ke depan adalah menciptakan polisi masa depan, yang mampu secara terus-menerus beradaptasi dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat. Polisi harus dapat menjadi figur panutan masyarakat agar mampu membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat begitu pula dalah ham penanganan konflik di masyarakat. Prasyarat dari semua ini adalah Polri harus memperbaiki citra dirinya terlebih dahulu. Untuk memperbaiki citra Polri dibutuhkan suatu paradigma baru Polri yang sesuai dengan tuntutan arus reformasi.

Polmas (community policing, CP) merupakan paradigma baru Polri. Polmas adalah suatu sistem atau gaya perpolisian modern yang dalam pelayanan publik lebih menekankan kepada pentingnya penerapan pendekatan sosio-kultural, psikologis, personal, informal, persuasive, dan akomodatif, menggantikan gaya perpolisian konvensional yang cenderung birokratis, sentralistik, legalistik, formal/resmi, otoriter, represif, kaku/keras, dan general/seragam.

Sebagai suatu strategi dalam penanganan konflik social Polmas berarti model perpolisian yang menekankan kemitraan sejajar antara Petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan, ketertiban masyarakat serta ketenteraman kehidupan masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa takut akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

Menurut Soerjono Soekanto (2001) Pendekatan penanggulangan dan penanganan konflik dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :

1. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.

2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.

3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.

4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.

5. Penghindaran
Menyangkut ketidak pedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.

Sedangkan dalam wikipedia dijelaskan Cara-cara Pemecahan konflik seperti :

1.            Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.

2.            Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.

3.            Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.

4.            Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.

5.            Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.

6.            Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.


Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

1.               Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.

2.               Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.

3.               Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.

4.               Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas.  Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.

5.               Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.

6.        Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.

Polri merupakan bagian dari sistem administrasi negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya terkait dengan sub-sub sistem administrasi Negara yang sangat perlu mengedepankan prinsip preventif dalam menjalankan tugasnya. Keberhasilan Polri dalam melaksanakan tugasnya tergantung pada kemampuan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan pengawasan meliputi pengorganisasian, manajemen personil, hubungan tata cara kerja, manajemen keuangan, manajemen materiil, dan manajemen pengawasan.

Polri dalam melaksanakan tugas pokoknya diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Menurut Bayley (1994) untuk mewujudkan rasa aman itu mustahil dapat dilakukan oleh Polisi saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara bertindak Polisi yang konvensional yang melibatkan birokrasi yang rumit, mustahil terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain (Kunarto,1998:xi).

      Sementara untuk saat ini Polri yang dikomandoi oleh Kaplolri Jenderal M. Tito Karnavian menerapakan Visi yaitu adalah terwujudnya Polri yang makin profesional, modern, dan terpercaya, guna mendukung terciptanya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong-royong. Visi itu kemudian dijabarkan sebagai berikut:

1. Profesional: Meningkatkan kompetensi SDM Polri yang semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya.

2. Modern: Melakukan modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi sehingga semakin mudah dan cepat diakses oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan Almatsus dan Alpakam yang makin modern.

3. Terpercaya: Melakukan reformasi internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Untuk mewujudkan visi Kapolri, Jenderal Pol Tito Karnavian telah menyusun strategi 8-11-10, yakni 8 misi, 11 program, dan 10 komitmen.

Misi:
1.  Berupaya melanjutkan reformasi internal Polri.
2. Mewujudkan organisasi dan postur Polri yang ideal dengan didukung sarana dan prasarana kepolisian yang modern.
3. Mewujudkan pemberdayaan kualitas sumber daya manusia Polri yang profesional dan kompeten, yang menjunjung etika dan HAM.
4.  Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
5. Meningkatkan kualitas pelayanan prima dan kepercayaan publik kepada Kepolisian RI.
6. Memperkuat kemampuan pencegahan kejahatan dan deteksi dini berlandaskan prinsip pemolisian proaktif dan pemolisian yang berorientasi pada penyelesaian akar masalah.
7. Meningkatkan Harkamtibmas dengan mengikutsertakan publik melalui sinergitas polisional.
8. Mewujudkan penegakan hukum yang profesional, berkeadilan, menjunjung tinggi  HAM dan anti KKN.

Program Prioritas:

1. Pemantapan reformasi internal Polri.
2. Peningkatan pelayanan publik yang lebih mudah bagi masyarakat dan berbasis TI.
3. Penanganan kelompok radikal prokekerasan dan intoleransi yang lebih optimal.
4. Peningkatan profesionalisme Polri menuju keunggulan.
5. Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
6. Tata kelembagaan, pemenuhan proporsionalitas anggaran dan kebutuhan Min Sarpras.
7. Bangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap Kamtibmas.
8. Penguatan Harkamtibmas (Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).
9. Penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan.
10. Penguatan pengawasan.
11. Quick Wins Polri.

Komitmen:

1. Melakukan konsolidasi internal dan menyiapkan langkah langkah strategis untuk mewujudkan organisasi Polri yang semakin solid dan profesional.
2. Melanjutkan program-program yang telah dilaksanakan oleh Kapolri sebelumnya.
3. Mewujudkan insan bhayangkara dan organisasi Polri yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta menjunjung etika dan moral.
4. Selalu mengembangkan sistem diklat Polri dalam rangka meningkatkan kompetensi dan integritas SDM Polri.
5. Melakukan koordinasi dengan stake holder terkait guna memudahkan dan memperlancar program program yang telah direncanakan dan ditetapkan.
6. Menunjukan teladan pemimpin yang memiliki Kompetensi, Proaktif, Tegas, tidak ragu ragu dan bertanggung jawab, serta melayani dan memberdayakan anggota serta antisipatif terhadap perubahan.
7. mewujudkan pelayanan prima Polri kepada masyarakat dengan lebih mudah, cepat, nyaman dan humanis.
8. Menerapkan pemberian penghargaan bagi yang berprestasi dan menindak bagi yang melakukan pelanggaran.
9. Mengamankan program prioritas nasional dan kebijakan Pemerintah.
10.Melaksanakan dengan sungguh-sungguh reformasi internal Polri, peningkatan pelayanan publik menjadi lebih prima.

Salah satu upaya preventif dalam menangani konflik sosial pada kepolisian yaitu dengan menerapkan sistem pendekatan polisi dengan masyarakat atau dengan istilah lain Polmas (pemolisian masyarakat) atau community policing. Community policing  diyakini memiliki nilai sosial kultural bangsa, sejalan dengan perkembangan masyarakat modern dan masyarakat madani yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan pluralisme, egaliterisme dan partnership, mengatasi kekerasan tanpa kekerasan, dan sebagainya. Seperti dikatakan Suparlan (2004) gagasan membangun konsepsi (concept) bersama tentang community policing tidak dapat dilepaskan dari munculnya kesadaran bersama adanya “keanekaragaman sukubangsa dan keyakinan keagamaan”. Dan kesadaran kita (termasuk kepolisian) akan adanya keanekaragaman tersebut, yang bukan sekedar masyarakat majemuk (plural society), tetapi multikulturalisme sebagai ideologi kesederajatan, memerlukan kemampuan pemahaman secara benar (Chrysnanda dalam Suparlan 2004: 95). 

Pembangunan pemolisian masyarakat, harus dibarengi dengan mendirikan forum-forum komunikasi antara kepolisian dan masyarakat (police-community liaison committees). Dengan komunikasi tersebut akan melahirkan beberapa konsensus tindakan yang diterima dan dilaksanakan oleh warga. Pertimbangan utama dalam community policing adalah warga memberi definisi masalah yang harus dipecahkan, warga terlibat dalam perencanaan dan pengimplementasian kegiatan pemecahan masalah. Jadi tercipta suatu hubungan yang erat dan saling menguntungkan antara polisi dengan anggota masyarakat (Lihawa 2005: 18). Meskipun Polmas mengemban misi penerapan hukum positif pada masyarakat, namun tidak lupa untuk memperhatikan norma-norma sosial pada masyarakat itu sendiri. Memanfaatkan adat istiadat masyarakat setempat juga merupakan indikator keberhasilan polisi dalam berinteraksi dalam masyarakat. Ini menandakan polisi juga mempertimbangkan aspek-aspek pendekatan secara kewilayahan ketimbang murni pendekatan hukum. Karena proses menyelesaikan suatu masalah sosial di masyarakat tidak melulu melalui pendekatan hukum, namun adakalanya adat istiadat setempat turut mempengaruhi penyelesaian masalah. Dengan demikian polisi telah mencoba menginternalisasikan falsafah pemolisian kedalam lingkungan adat masyarakat setempat. Peran polmas sangat membantu kepolisian dalam mewujudkan birokrasi kepolisian yang baik, dengan polmas masyarakat akan percaya serta membantu tugas-tugas yang diemban oleh kepolisian sehingga dalam perjalanannya tugas kepolisian akan semakin ringan dan system birokrasi akan berjalan cepat.

Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya. Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam konteks : 1. Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).

Model pemolisian dapat dibuat 3 kategori: 1. Berbasis wilayah, 2. Berbasis kepentingan dan 3. Berbasis dampak masalah. Ketiga kategori tersebut memiliki pendekatan yang berbeda namun ada benang merahnya yang menunjukan adanya saling keterkaitan satu dengan lainya. Model pemolisian ini dapat digunakan sebagai acuan dasar/pedoman dalam mengimplementasikanya, (chrisnanda dalam artikel http://news.detik.com/kolom/2670876).

Pada masa sekarang ini bentuk perwujudan polmas dalam mengatasi konflik sosial salah satunya menggunakan FKPM (Forum Kemitraan Polisi Masyarakat) Berdasarkan Skep Kapolri No. Pol. : Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dinyatakan bahwa dalam melakukan percepatan terwujudnya Polmas mengamanatkan adanya pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). FKPM merupakan forum kemitraan yang mencerminkan keterwakilan semua unsur dalam masyarakat termasuk petugas Polmas sekaligus wadah kerja sama antara Polisi dengan masyarakat yang mengoperasionalisasikan Polmas dalam lingkungannya yang salah satu tugasnya guna menangani dan mencegah terjadinya konflik social di masyarakat.

Mengingat keberadaan FKPM sangat penting bagi operasionalisasi Polmas, maka Kapolres selaku roda penggerak utama organisasi Polri di tingkat KOD atau daerah dituntut mampu mengoptimalisasikan peranan dan fungsi FKPM sehingga eksistensinya benar-benar mampu mendukung keberhasilan pelaksanaan Polmas.

Adapun pengaruh pembentukan FKPM terhadap percepatan Polmas di tingkat KOD dapat dibuktikan dari peran FKPM sebagai : (1) sarana/media partisipasi dan kemitraan masyarakat; (2) wadah pemecahan masalah oleh polisi bersama warga; (3) wadah komunikasi dan kosultasi polisi terhadap warga.

Sebagai sarana/media partisipasi dan kemitraan masyarakat, FKPM dapat menjadi alat bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, masukan, usulan dan komplain terhadap permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat yang terkait dengan kinerja Polri. FKPM dapat dijadikan alat untuk menampung dan menyalurkan keinginan masyarakat terhadap persoalan social yang dihadapi sehingga sangat baik bagi Polri untuk mengetahui, menyerap, dan mewujudkan keinginan masyarakat. Dengan pembentukan FKPM, satuan Polri di tingkat KOD akan menjadi peka dan sensitif terhadap kejadian dan kecenderungan di tengah masyarakat yang akan mengarah pada terjadinya praktek pelanggaran hukum dan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sebagai wadah pemecahan masalah oleh polisi bersama warga, FKPM dapat menjadi sarana dalam mendiskusikan, memusyawarahkan, dan membahas semua persoalan yang ada di tengah masyarakat sehingga setiap perbedaan kepentingan antar pihak/antar kelompok masyarakat tidak sampai mengarah pada terjadinya konflik, kekerasan dan kerusuhan. Pembentukan FKPM dapat mendeteksi secara dini gejala dan potensi konflik di tengah masyarakat sehingga dilakukan tindakan sebelum terjadi konflik di tengah masyarakat. Eksistensi FKPM dapat menjembatani dan memediasi semua persoalan di masyarakat agar diselesaikan secara damai berdasarkan musyawarah mufakat. Dalam memecahkan persoalan masyarakat, FKPM juga perlu memberdayakan mekanisme dan prosedur resolusi konflik yang berbasis pada budaya/adapt masyarakat yang biasanya justru lebih manjur dalam menyelesaikan masalah masyarakat. Hal ini sejalan dengan filosofi Polmas, yakni menyelesaikan masalah setempat, dengan cara setempat, oleh masyarakat setempat. Anggota Polri dalam keanggotaan FKPM hanya bersifat advokasi/pendampingan terhadap pihak-pihak/stakeholders di tengah masyarakat.

Sebagai wadah informasi, komunikasi dan kosultasi polisi terhadap warga, FKPM dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk sumber informasi dan konsultasi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. FKPM harus menyediakan sumber informasi bagi warga masyarakat terhadap kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat serta tugas-tugas Polri kaitannya dengan masyarakat. FKPM menjadi media komunikasi bagi Polri dan masyarakat tentang pentingnya menjaga keamanan lingkungan masing-masing. FKPM menjadi alat konsultasi bagi warga yang menghadapi permasalahan, khususnya permasalahan hukum sehingga Polri bisa memberikan bimbingan dan nasehat hukum  yangbenar.(artikelagussubagyodalamhttps://agussubagyo1978.wordpress.com/2015/07/01/peran-fkpm-dalam-percepatan-implementasi-polmas/) .

Dengan demikian, dalam konteks percepatan Polmas di tengah masyarakat, pembentukan FKPM diarahkan untuk : Membina keharmonisan hubungan kerja sama kemitraan sejajar antara polisi dan masyarakat dalam penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketenteraman umum dalam kehidupan masyarakat; Menampung dan menyalurkan aspirasi warga dalam menyelesaikan dan mengatasi konflik social yang mengancam kamtibmas serta ketenteraman kehidupan masyarakat; Menghimpun seluruh kekuatan yang ada di masyarakat yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam tugas-tugas pengamanan di lingkungannya; Menyelesaikan dan mengatasi berbagai konflik sosialyang mengancam kamtibmas serta ketenteraman kehidupan masyarakat; Melakukan koordinasi, konsultasi, dan konsulidasi antara warga dengan polisi dalam rangka mencapai sinergitas dalam penanggulangan kejahatan, ketidaktertiban sosial, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
           
           











DAFTAR PUSTAKA
1.      Bachtiar, Harsya W, 1994, Ilmu Kepolisian, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
  1. Bailey, Kathleen M. and Savage, L. 1994. New Ways in Teaching speaking. Cambridge : Cambridge University Press.
  2. Chrysnanda DL. 2004. Pemolisian Komuniti dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Parsudi Suparlan (ed.). Jakarta: YPKIK.
4.      Chrysnanda DL . 2009. Polisi Penjaga Kehidupan . Jakarta : YPKIK.
5.      Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor),2008,Ilmu Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,
6.      Djamin, Awaloedin, 2002, Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jurnal Polisi Indonesia Tahun IV/September 2002, KIK Press, Jakarta.
7.      Djamin,Awaloeddin.2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta:PTIK Press.
8.      Djamin,Awaloeddin.2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta: YPKIK.
9.      ___________, 2007, Tantangan dan Kendala Menuju Polri Yang Profesional dan Mandiri, PTIK Press, Jakarta
10.  Fisher, Simon, dkk. 2001. Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, The British Counsil, Indonesia, Jakarta. 
  1. Gellner. Ernest. (1995). Nationalism, London : Phoenix
12.  Ilmu Kepolisian, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, PTIK Press.2015
  1. Kunarto . 1998. Police for the future = polisi masa depan . Jakarta : Cipta Manunggal
  2. Lihawa, Ronny. 2005. Memahami Community Policing. Jakarta: YPKIK.
15.  Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI)
16.  Muhammad, Farouk. “Menuju Reformasi Polri”. Restu Agung. 2005
  1. Savirani, Amalinda. 2004, Local Strongmen in New Regional Politics in Indonesia, thesis.
  2. Soekanto Soerjono, 2001, “ Sosiologi Suatu Pengantar “, Rajawali Pers, Jakarta
  3. Suparlan, Parsudi. 1999. Polisi Indonesia dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hukum Nasional VII Departemen Kehakiman, tidak diterbitkan.
20.  Suparlan, Parsudi. 2004. “Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
21.  Upreti, P & L.E. Metzger. 2006. Influence of Calcium and Phosphorus, Lactose, and Saltto Moisture Ratio on Cheddar Cheese Quality: Manufacture and Compotition. J. Dairy Sci. 89:420-428.
  1. https://id.wikipedia.org/wiki/Penanganan_konflik_sosial  tanggal 14 November 2016 .

24.  http://bathikmadrim.pun.bz/konflik-sosial.xhtml tanggal 15 November 2016.

0 komentar:

Posting Komentar