Minggu, 15 Oktober 2017

MEMPERBAIKI BIROKRASI POLRI BERDASARKAN ILMU KEPOLISIAN

I.    PENDAHULUAN

Birokrasi dalam sebuah Negara demokrasi memang tidak akan pernah bisa terpisahkan satu sama lain. Birokrasi sangatlah penting untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang profesioal dan modern bagi sebuah Negara berdaulat. Tak terlepas juga birokrasi pada salah satu institusi Negara yang kental dengan syarat hirarki dan loyalitas yaitu intitusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sebelum membahas Sistem birokrasi yang terdapat di tubuh Polri alangkah baiknya penulis menguraikan makna apa itu yang dimaksud dengan birokrasi. 

Birokrasi memiliki asal kata dari Bureau, digunakan pada awal abad ke 18 di Eropa Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor, semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari bahasa perancis berarti pelapis meja. Kata birokrasi sendiri kemudian digunakan segera setelah Revolusi Perancis tahun 1789, dan kemudian tersebar ke negara lain. Kata imbuhan -kratia berasal dari bahasa Yunani atau kratos yang berarti kekuasaan atau kepemimpinan. Birokrasi secara mendasar berarti kekuasaan perkantoran ataupun kepemimpinan dari strata kepegawaian (Thoha, 2011).

Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan mengambil kesimpulan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikanmasyarakat.

Menurut Etzioni-Havely (dalam Savirani : 2004) birokrasi adalah organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Ciri khas yang melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk organisasi yang berjenjang, rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi juga merupakan unit yang secara perlahan mengalami penguatan, independen, dan kuat. Penguasaan berbagai sumber daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi menjadi kekuatan besar yang dimiliki oleh negara. Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut juga dengan pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh politik berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan publik. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang berkaitan dengan partai, demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan politik.

Sementara birokrasi adalah sebuah institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya, namun pada lain sisi sistem kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor yang mengepalai birokrasi melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa dilepaskan dari aspek politik. Pada gilirannya, birokrasi mau tidak mau harus rela dikepalai oleh mereka yang umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Artinya, kepentingan politik dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintah. Persoalan yang mengemuka adalah mampukah kepala daerah memberikan peluang kepada birokrasi yang dipimpinya dengan arif untuk tetap  mengikuti kaidah demokrasi yang normatif.

Reformasibirokrasi pada hakekatnya adalah perubahan besar dalamp aradigma dan tata kelola pemerintahan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif; berintegritas, bersih dari perilaku korupsi kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik secara akuntabel, serta memegang teguh nilai-nilai dasar organisasi dan kode etik perilaku aparatur negara.

 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Kepolisian sebagai badan (organisasi) pemerintah yang diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian arti polisi tetap ditonjolkan sebagai badan atau lembaga yang harus menjalankan fungsi pemerintahan, dan sebagai sebutan anggota dari lembaga Kepolisan sebagai lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tetap tunduk dan patuh pada tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a.         Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b.         Menegakkan hukum
c.         Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

  Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan. Organisasi Polri tingkat pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri); sedang organisasi Polri tingkat kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) di tingkat provinsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres) di tingkat kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor (Polsek) di wilayah kecamatan.

Ditinjau dari segi keilmuan kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan maka Ilmu Kepolisian mempunyai paradigma atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup ontologi, epistemologi dan axiologi yang mempersatukan berbagai unsur-unsur yang tercakup di dalamnnya sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh. Paradigma dalam ilmu kepolisian adalah antar-bidang (interdisipliner). Dengan memperhatikan fase – fase perkembangan masyarakat dan proses timbulnya tugas Kepolisian dan fungsi Kepolisian dalam Masyarakat, ilmu Kepolisian merupakan ilmu terapan yang menggunakan metode pendekatan sebagaimana yang digunakan dalam ilmu terapan dengan kajian pokok sebagai berikut :

a.       Ontologi Ilmu Kepolisian Objek pembahasan ilmu Kepolisian terdiri dari objek material dan objek forma. Dimana objek material ilmu Kepolisian adalah hal yang diselidiki, dipandang dan atau dibahas oleh ilmu Kepolisian baik hal – hal yang kongkret maupun hal – hal yang abstrak, yang berdasar pada tiga bahan objek penelitian yang terkait dengan masyarakat, Negara, dan manusia/penduduk secara individual yang disimpulkan dari perkembangan tugas dan organ Polisi dalam masyarakat dan Negara. Sebenarnya Polisi berasal dari masyarakat yang bertugas mengawasi masyarakat lainnya. Mereka membentuk kelompok atau badan tertentu untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran, menindak pelakunya dan menegakkan norma kehidupan bersama seperti yang telah disepakati sebelumnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa kegiatan polisi melekat pada masyarakatnya dan secara alami masyarakat dapat diindikasikan sebagai pokok bahasan (objek material ) ilmu Kepolisian. Seperti yang terjadi dalam konteks Negara, pengemban fungsi Kepolisian sebagai fungsi pemerintahan dan yang ditunjuk oleh Negara. Dimana Negara merupakan objek material ilmu Kepolisian dan penduduk serta manusia sebagai individunya sebagai pokok bahasan Ilmu Kepolisian. Sedangkan objek formal dari suatu ilmu yang khas yang memberikan keutuhan suatu ilmu dan pada saat yang sama membedakannya dari bidang lain. Dalam membahas masyarakat sebagai objek material, ilmu Kepolisian memfokuskan pandangannya dengan 3 fokus pandangan, yaitu :

a) Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka kepentingan masyarakat, objek performanya adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat ;
b) Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka menjamin dan mempertahankan kepentingan dan kewibawaan Negara yang secara resmi dinyatakan dalam hukum Negara, objek performanya adalah penegakan hukum Negara ;
c) Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka kewajiban Polisi dalam melindungi serta melayani hak – hak asasi dan hak – hak politik rakyat/warga Negara/penduduk secara individual, objek performanya adalah perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

 b. Epistemologi Ilmu Kepolisian. Epistemologi ilmu Kepolisian membahas tentang kajian filsafat dan/atau kajian ilmu Kepolisian itu sendiri, yaitu sebuah teori mengenai hakekat ilmu Kepolisian dari sesuatu bidang ilmu pengetahuan melalui proses sistematik dan pengujian / pembuktian tentang kebenarannya sehingga diperoleh pengakuan yang benar dan diterima oleh umum. Pengembangan konsep awal yang sederhana yang berasal dari dinamika proses kegiatan Kepolisian yang sistematis, kemudian fakta dari fenomena realitas yang lazim dicatat dan diberi lambang dengan menggunakan bahasa sehari-hari selanjutnya disosialisasikan dan akhirnya menggunakan istilah tertentu yang baku, diberikan penjelasan yang spesifik dalam bentuk definisi.

 c. Axiologi Ilmu Kepolisian  Aksiologi Ilmu Kepolisian merupakan penjelasan mengenai hakekat nilai - nilai ilmu Kepolisian dan penilaian mengenai kegunaan ilmu Kepolisian sebagai bidang ilmu pengetahuan. Kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut :

a) Untuk apa pengetahuan berupa ilmu Kepolisian itu dipergunakan ?
b) Bagaimana kaitan penggunaan ilmu Kepolisian dengan kaidah – kaidah  moral ?
c) Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan – pilihan moral ?
d) Bagaimana operasionalisasi metode ilmiah yang berupa teknik dan prosedur dengan norma –norma moral dan profesi ?

          Sedangkan ilmu kepolisian menurut Menurut Prof. Harsya Bachtiar dalam buku beliau yang berjudul Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru. Beliau mengatakan bahwa perkembangan kepolisian sebagai suatu profesi terkait erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkenaan dengan masalah-masalah kepolisian, sedangkan cara masalah-masalah kepolisian ini dikaji, diteliti, mengalami perkembangan dari ketidakpedulian terhadap masalah-masalah ini sebagai kenyataan-kenyataan yang perlu dipelajari secara serius menjadi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penelitian yang dirancang dan dilaksanakan atas dasar pemikiran rasional dan dengan memperhatikan ilmu pengetahuan yang sudah dikembangkan. usaha untuk menguraikan secara ilmiah keberadaan ilmu kepolisian ini sebagai suatu disiplin tersendiri, baru dilakukan dalam tahun 1994 dalam buku Harsja Bachtiar, Ilmu Kepolisian. Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. Dalam hal. 16 Harsja Bachtiar berpendapat bahwa “Ilmu Kepolisian ... yang baru, terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama ...”. Dikatakan selanjutnya bahwa “Ilmu Kepolisian lambat laun menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline) yang baru dan yang mempunyai identitas tersendiri...”. Pada bagian pertama kutipan di atas, memang ilmu kepolisian (yang baru) dilihat sebagai pengetahuan dengan pendekatan “multi-bidang”, namun dalam bagian kedua dari kutipan di atas, kita dapat menafsirkan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, ilmu kepolisian akan “menjelma” dengan “identitas tersendiri”, sehingga menjadi suatu pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin).

         Harsja Bachtiar (hal. 36) juga menginginkan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia ini akan “... berakar pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang dihadapi anggota-anggota kepolisian di Indonesia ...”. Pada akhirnya beliau meminta agar ilmu pengetahuan ini juga berusaha “... untuk mengembangkan suatu kerangka teori yang sesuai dengan tata keteraturan berpikir logika dan juga sesuai dengan kenyataan-kenyataan ... di Indonesia, sebagai pengatur fakta-fakta, konsep-konsep, serta generalisasi-generalisasi...” yang nantinya akan merupakan wujud ilmu kepolisian Indonesia. Usaha untuk meneliti gejala-gejala sosial di Indonesia dan menggambarkan kenyataan di masyarakat, kebudayaan, dan alam lingkungan Indonesia, yang relevan dengan pelaksanaan tugas Polri, telah dilakukan di Program Magister KIK melalui sejumlah penelitian untuk tesis para mahasiswa. Juga melalui Jurnal Polisi Indonesia yang mulai diterbitkan oleh program studi KIK tiga tahun yang lalu, para dosen dan mahasiswa mendapat kesempatan menyebarluaskan penemuan penelitian dan kesimpulan mereka.

  Menurut Prof. Parsudi Suparlan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan antar bidang (interdisplinary). Dikatakan interdisciplinary apabila suatu masalah sudah ada dalam bingkai penyelesaiannya, dalam artian macam metode ataupun teori sudah menjadi satu bingkai untuk memecahkan masalah tersebut.

  Ilmu Kepolisian adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.

  Sebuah bidang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan maka Ilmu Kepolisian mempunyai paradigma atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi yang mempersatukan berbagai unsur-unsur yang tercakup di dalamnnya sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh. Paradigma dalam ilmu kepolisian adalah antar-bidang (interdisipliner).

  Jadi ilmu kepolisian tidak seharusnya mempunyai paradigma yang multi-bidang (multidisipliner) sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof Harsja Bachtiar. Sebab kalau pendekatannya adalah multi-bidang, maka ilmu kepolisian hanya merupakan penggabungan berbagai bidang ilmu pengetahuan melalui berbagai bidang pengajaran dalam sebuah kurikulum yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada kaitan antara satu dengan yang lainnya. Karena itu apabila Ilmu Kepolisian adalah multi-bidang maka Ilmu Kepolisian tidak mempunyai paradigma, dan juga tidak memerlukan adanya epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi yang mencirikannya sebagai sebuah Ilmu Kepolisian.

  Sebagai sebuah ilmu yang antar-bidang, maka Ilmu Kepolisian tidak mengenal adanya ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dalam ruang lingkup bidangnya. Jadi dalam ilmu kepolisian seharusnya tidak mungkin harus ada antropologi, sosiologi, psikologi atau ilmu-ilmu hukum dan sebagainya.

  Karena sebagai sebuah bidang ilmu yang antar-bidang maka coraknya adalah eklektik. Sehingga, berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mendukung dan menjadikannya sebagai Ilmu Kepolisian terserap menjadi bagian dari Ilmu Kepolisian dan tidak seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bidang ilmu yang berbeda dari Ilmu Kepolisian, tetapi ada dalam cakupan bidang Ilmu Kepolisian. Misalnya, mata kuliah yang berisikan teori-teori mengenai “kebudayaan polisi” yang ada dalam Ilmu Kepolisian bukan lagi dan tidak seharusnya disebut sebagai mata kuliah “antropologi kepolisian” atau “sosiologi pengetahuan tentang kepolisian” atau “administrasi kepolisian” dan bukan “ilmu administrasi untuk polisi” atau “hukum kepolisian” bukan pula “Ilmu hukum kepolisian”, dan sebagainya. ( Buku Bunga Rampai Ilmu Kepolisian , 2011 : 12)

  Corak antar bidang (interdisiplinar) yang didisain tersebut harus terfokus pada seperangkat pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan sebagai acuan dalam penerapan tugas-tugas profesinya. Untuk itu, sebuah program pendidikan tinggi ilmu kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah seharusnya mendisain sebuah kurikulum yang coraknya antar bidang (interdisiplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK UI saat ini. Di mana kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah antara satu sama lain saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang bulat, dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta kondisi lingkungan setempat.


II.  PEMBAHASAN

Reformasi Birokrasi Polri sebagai suatu tindakan untuk menata kembali Organisasi Polri dalam rangka untuk menjadikan birokrasi Polri yang efektif, efisien, dan tepat sasaran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti Reformasi adalah suatu perubahan secara drastis untuk perbaikan dibidang sosial, politik, ekonomi, dll disuatu masyarakat atau negara. Dalam reformasi yang telah dan sedang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk dapat mencapai suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yangdemokratis. Menurut Suparlan (1999) bahwa dalam tatanan demokratis ada beberapa unsur yang mendasar yaitu individu, masyarakat, dan negara yang unsur itu selalu berada dalam konflik karena terjadi suatu kepentingan dalam rangka proses persaingan untuk dapat memenangkan dan unsur tersebut harus seimbang karena dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Menurut Gellner (1995), masyarakat sipil adalah masyarakat dengan perangkat-perangkatnya non pemerintah yang kuat untuk menyeimbangi dari kekuasaan negara dan mendorong pada pemerintah untuk menjalankan fungsi dan peranannya dan melindungi masyarakatnya.

Polri merupakan bagian dari sistem administrasi negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya terkait dengan sub-sub sistem administrasi Negara yang kental denga syarat birokrasi. Keberhasilan Polri dalam melaksanakan tugasnya tergantung pada kemampuan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan pengawasan meliputi pengorganisasian, manajemen personil, hubungan tata cara kerja, manajemen keuangan, manajemen materiil, dan manajemen pengawasan.

Polri dalam melaksanakan tugas pokoknya diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Menurut Bayley (1994) untuk mewujudkan rasa aman itu mustahil dapat dilakukan oleh Polisi saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara bertindak Polisi yang konvensional yang melibatkan birokrasi yang rumit, mustahil terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain (Kunarto,1998:xi).

Bangsa Indonesia sekarang ini sedang melakukan reformasi dalam rangka untuk mencapai suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang demoktratis, meliputi prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi manusia, proses hukum yang adil, pembatasan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional, nilai-nilai toleransi, dan kemajemukan politik, sosial, ekonomi. Polri sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan harus melakukan reformasi terhadap perkembangan politik yang menjadi tuntutan reformasi.

        Kalau kita berbicara tentang birokrasi suatu system pemerintahan maka akan berhubungan dengan Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution) atau alokasi (alocation), karena politik selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan masyarakat tercakup juga kepolisian. Menurut Toha (2003), birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “official dom” atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern. Pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah mempunyai kekuasaan yang sangat menentukan, karena segala urusan yang berkaitan dengan jabatan itu,yang menentukan orang yang berada dalam jabatan tersebut. Jabatan yang berada dalam hirarki jabatan tersusun hirarkis dari atas kebawah, dimana jabatan yang berada diatas mempunyai kewenangan jabatan yang lebih besar daripada jabatan dibawahnya. Dan semua orang yang menduduki pada jabatan tersebut, mendapat segala fasilitas yang mencerminkan akan kekuasaan.

Birokrasi dalam pemerintahan yang menganut birokrasi Weberian akan menunjukkan cara-cara officialdom, dimana para pejabat birokrasi pemerintah merupakan pusat atau sentral dari semua penyelesaian urusan masyarakat. Dan masyarakat tergantung kepada pejabat tersebut, bukannya pejabat itu tergantung pada masyarakat sehingga akhirnya berdampak pada pelayanan kepada masyarakat tidak diletakkan pada tugas yang utama, namun menjadi tugas yang kesekian. Selain itu berkembang pula upaya untuk menyenangkan hati atasan dalam bentuk penghormatan dan pengabdian yang sekarang ini adalah dalam bentuk upeti. Upeti ini menjadi penting karena gajinya pejabat kecil, sehingga pejabat itu akan dinilai loyal atau baik oleh atasannya, maka akan mudah untuk mendapat atau mempertahankan jabatan/posisinya. Karena pada posisi atau jabatan tertentu (yang dianggap basah) memiliki kewenangan fasilitas dan keistimewaan. Hal ini termasuk pada level atas hingga bawah atau telah menjadi kebudayaan dalam organisasi.
Sebagai suatu kegiatan yang bermula pada sesuatu titik, maju lewat sederetan langkah, dan berpuncak dalam sesuatu hasil yang diharapkan oleh mereka yang terlibat sebagai suatu perbaikan terhadap titik awal. Perubahan pada organisasi pada hakekatnya untuk mempertahankan suatu keseimbangan dimana menuntut suatu penyesuaian untuk mencapai suatu keadaan yang diharapkan.

Budaya dalam organisasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan bersama dan berulang-ulang oleh anggota organisasi yang mempunyai makna bersama. Dalam hal ini budaya yang ada pada organisasi Polri yang menyebabkan tidak dipercaya oleh masyarakat tetapi tetap dilakukan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Misalnya, anggota Polri melakukan pemerasan, melakukan pungli, dan melakukan diskresi yang mengarah ketindakan korupsi. Maka dari itu perlu dilakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh di dalam tubuh Polri. Dalam menuju Polri yang professional dan memperbaiki birokrasi secara menyeluruh perlu dilakukan perubahan kebudayaan dalam organisasi Polri yang meliputi :

1. Kode etik Polri
Suatu peraturan atau petunjuk yang jelas dan dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman para petugas Polri dilapangan baik dari tingkat manajemen maupun individu mulai dari tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek. Kode etik itu berisi aturan, norma-norma yang berkaitan dengan moral dalam pelaksanaan tugas dari pangkat Bharada sampai dengan Jendral mana yang boleh dilakukan dan yang mana tidak boleh dilakukan sehingga merupakan suatu kebanggaan bagi anggota Polri dan dapat dijadikan sebagai pegangan agar hal-hal yang memalukan dapat tidak dilakukan.

2. Standarisasi Tugas Kepolisian
Standarisasi tugas Kepolisian ini mencakup antara lain pedoman yang dimiliki oleh setiap anggota Polri, yang mana setiap fungsi berbeda dengan fungsi yang lain. Misalnya standarisasi tugas di Reserse tidak sama dengan anggota yang bertugas di fungsi Lalulintas. Dengan adanya standarisasi ini petugas kepolisian akan melaksanakan tugas dan bertindak dalam pelayanan masyarakat sesuai dengan standarisasi yang telah ditetapkan sebagai pedoman disetiap fungsi.

3. Uji Kelayakan
Uji Kelayakan ini sebagai syarat utama untuk menduduki jabatan tertentu (kapolda, Kapolwil, Kapolres dan Kapolsek) atau pejabat staff yang dilakukan oleh pejabat yang independent. Dengan diadakan uji kelayakan tersebut dimaksudkan agar pejabat yang menjabat jabatan tertentu akan bekerja secara obyektif dan efektif serta mempunyai rasa tanggungjawab terhadap tugasnya. Dan apabila terdapat penyimpangan atau pelanggaran pejabat tersebut siap menerima hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4. Sistem Penilaian Kerja
Bagian yang diberi kewenangan untuk menilai kinerja menggunakan pedoman yang telah ditetapkan dalam standarisasi sehingga dalam memberikan penilaian berdasarkan dengan pedoman. Dengan mengacu pada pedoman penilaian maka pejabat yang dinilai tidak dapat melakukan KKN atas pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan dan apabila melakukan pelanggaran siap untuk menerima hukuman.

5. Sistem Penghargaan dan hukuman
Sistem ini diberikan kepada anggota Polri yang berprestasi dalam pelaksanaan tugasnya dan memberikan hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, maka keberhasilan petugas dilapangan dapat terukur dan yang melakukan penyimpangan harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya.

Dalam pembahasan Reformasi Birokrasi khususnya Polri, maka perlu menerapkan prinsip good governance dalam memberikan jaminan keamanan, ketertiban melalui penegakan hukum serta mampu memberikan  perlindungan serta penghargaan terhadap hak asasi manusia kepada masyarakat, dengan kata lain bahwa Reformasi Birokrasi merupakan faktor yang sangat penting untuk diuraikan menuju pelayanan yang efektif dan efisien kepada masayarakat, karena secara faktual instutusi Polri yang memberikan pelayanan kepada masyarakat / publik selama ini masih cukup banyak disoroti melakukan tindakan-tindakan pembiaran atas keluhan masyarakat, maka dalam rangka menciptakan Polri yang mampu melayani, melindungi masyarakat secara baik dan memahami keadaan awal Polri pada saat sebelum berangkat menuju Reformasi Birokrasi kondisi Polri yang memerlukan perbaikan dan perubahan sehinga Reformasi kultural dapat semaksimal mungkin berjalan secara efektif dalam tubuh Polri dan perlu adanya upaya percepatan (akselerasi)  dalam pembenahan kultur Polri yang meliputi 3 program akselerasi utama  yaitu keberlanjutan program, peningkatan kualitas kinerja dan komitmen terhadap organisasi. Ketiga Program Akselerasi utama tersebut selanjutnya ditindak lanjuti dengan adanya Program Unggulan Quick Wins yang merupakan Program Akselerasi dan Transformasi Polri dalam rangka membenahi Polri sesuai dengan tugas pokok, peran, dan fungsinya. Polri telah menetapkan Grand Strategi Polri 2005-2025 yang terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu 2005-2009 trust building, 2010-2015 partnership building, dan 2016-2025 strieve for excellence. Sejalan dengan sudah habisnya waktu pelaksanaan tahap pertama menuju tahap kedua, Polri berupaya untuk mempercepat pencapaiannya melalui Program Akselerasi dan Transformasi Polri mulai dari keberlanjutan program, peningkatan kualitas kerja dan komitmen terhadap organisasi dalam upaya membangun Polri yang mandiri, professional, dan dipercaya masyarakat.

      Sementara untuk saat ini Reformasi birokrasi Polri yang dikomandoi oleh Kaplolri Jenderal M. Tito Karnavian menerapakan Visi yaitu adalah terwujudnya Polri yang makin profesional, modern, dan terpercaya, guna mendukung terciptanya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong-royong. Visi itu kemudian dijabarkan sebagai berikut:

1. Profesional: Meningkatkan kompetensi SDM Polri yang semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya.

2. Modern: Melakukan modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi sehingga semakin mudah dan cepat diakses oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan Almatsus dan Alpakam yang makin modern.

3. Terpercaya: Melakukan reformasi internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Untuk mewujudkan visinya, Jenderal Pol Tito Karnavian telah menyusun strategi 8-11-10, yakni 8 misi, 11 program, dan 10 komitmen.

Misi:
1.  Berupaya melanjutkan reformasi internal Polri.
2. Mewujudkan organisasi dan postur Polri yang ideal dengan didukung sarana dan prasarana kepolisian yang modern.
3. Mewujudkan pemberdayaan kualitas sumber daya manusia Polri yang profesional dan kompeten, yang menjunjung etika dan HAM.
4.  Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
5. Meningkatkan kualitas pelayanan prima dan kepercayaan publik kepada Kepolisian RI.
6. Memperkuat kemampuan pencegahan kejahatan dan deteksi dini berlandaskan prinsip pemolisian proaktif dan pemolisian yang berorientasi pada penyelesaian akar masalah.
7. Meningkatkan Harkamtibmas dengan mengikutsertakan publik melalui sinergitas polisional.
8. Mewujudkan penegakan hukum yang profesional, berkeadilan, menjunjung tinggi  HAM dan anti KKN.

Program Prioritas:

1. Pemantapan reformasi internal Polri.
2. Peningkatan pelayanan publik yang lebih mudah bagi masyarakat dan berbasis TI.
3. Penanganan kelompok radikal prokekerasan dan intoleransi yang lebih optimal.
4. Peningkatan profesionalisme Polri menuju keunggulan.
5. Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
6. Tata kelembagaan, pemenuhan proporsionalitas anggaran dan kebutuhan Min Sarpras.
7. Bangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap Kamtibmas.
8. Penguatan Harkamtibmas (Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).
9. Penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan.
10. Penguatan pengawasan.
11. Quick Wins Polri.

Komitmen:

1. Melakukan konsolidasi internal dan menyiapkan langkah langkah strategis untuk mewujudkan organisasi Polri yang semakin solid dan profesional.
2. Melanjutkan program-program yang telah dilaksanakan oleh Kapolri sebelumnya.
3. Mewujudkan insan bhayangkara dan organisasi Polri yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta menjunjung etika dan moral.
4. Selalu mengembangkan sistem diklat Polri dalam rangka meningkatkan kompetensi dan integritas SDM Polri.
5. Melakukan koordinasi dengan stake holder terkait guna memudahkan dan memperlancar program program yang telah direncanakan dan ditetapkan.
6. Menunjukan teladan pemimpin yang memiliki Kompetensi, Proaktif, Tegas, tidak ragu ragu dan bertanggung jawab, serta melayani dan memberdayakan anggota serta antisipatif terhadap perubahan.
7. mewujudkan pelayanan prima Polri kepada masyarakat dengan lebih mudah, cepat, nyaman dan humanis.
8. Menerapkan pemberian penghargaan bagi yang berprestasi dan menindak bagi yang melakukan pelanggaran.
9. Mengamankan program prioritas nasional dan kebijakan Pemerintah.
10.Melaksanakan dengan sungguh-sungguh reformasi internal Polri, peningkatan pelayanan publik menjadi lebih prima.

Untuk Polri, reformasi birokrasi memiliki arti yang sangat penting dalam rangka menjalankan tugas pokoknya dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan dan upaya menciptakan keamanan dan ketertiban. Kita perlu mengadakan penelitian atau mempelajari sedalam-dalamnya bagaimana bentuk organisasi Polri itu. Karena bentuk organisasi itu akan menserasikan dengan misi, visi dan tugas pokok serta fungsi-fungsinya dengan beban kerjanya. Bentuk itu harus dipelajari apakah dalam bentuk system staf umum (general staff system), sistem direktorat (directory system) atau dalam bentuk gabungannya. Dengan membuat bentuk organisasi yang sudah baik maka tidak perlu lagi merubah atau ada penambahan lagi. Setelah dikaji dalam penyelenggaraannya tugas seandainya ditemukan kekurangan maka diadakan penelitian yang mendalam apakah perlu ditambah atau dikurangi. Jadi jangan setiap Pimpinan Polri baru kemudian membentuk organisasi baru pula. Hal ini akan membuat polisi menjadi tidak profesional. Penyusunan kembali atau penambahan dan pengurangan harus didasarkan pada studi yang mendalam dengan para ahli organisasi dan manajemen yang benar-benar ahli dan berpengalaman.

Dalam suatu organisasi yang besar, contohnya Institusi Kepolisian maka salah satu unsur untuk menjadi profesional adalah sistem penggajian. Saat ini besarnya gaji yang diterima hanya untuk cukup dua minggu saja maka sisa hari yang lain dengan berbagai macam akal dan rekayasa akan mencari tambahan lain guna menutupi kekurangan kehidupan keluarganya. Setelah struktur organisasi Polri dibenahi maka sistem penggajian juga dibenahi. Pejabat yang tingkat pengetahuannya, tanggungjawab dan pekerjaan yang berat harus memperoleh gaji netto yang besar. Yang sekarang sama saja hampir tidak ada perbedaan yang mencolok antara pejabat tertinggi sampai dengan pejabat terendah.

Setelah gaji dibuat adil sesuai dengan tanggungjawabnya selanjutnya pembiayaan operasional dalam rangka pelaksanaan tugas pokoknya. Apabila gaji sudah sesuai dengan keadilan maka pejabat Polri yang melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas, misalnya dalam penggunaan anggaran dapat dituntut hukuman yang sangat berat. Memang menjadi kendala dalam pembiayaan untuk operasional kepolisian, namun dengan anggaran yang ada perlu direncanakan agar dapat cukup. Untuk sekarang ini jangan harap menerima anggaran untuh, apalagi separo seperempat saja sudah cukup bagus. Hal inilah yang menyebabkan kecemburuan antara pejabat dengan anggota. Anggota yang bekerja tetapi pimpinan yang mendapat uangnya.

Tuntutan Polri pada direalisasikannya renumerasi sebagai filter perilaku korup oknum polisi saya rasa bukan merupakan solusi yang tepat, karena renumerasi dengan memberikan insentif pada pejabat yang memiliki tanggungjawab kerja yang besar hanya akan menyuburkan pola-pola KKN baru. Misalkan seorang Kasat Reskrim mendapat insentif (renumerasi) 10 juta, maka akan banyak perwira yang berminat menjadi Kasat Reskrim dan akhirnya mereka berlomba-lomba melakukan tindakan KKN kepada siapapun pejabat yang bisa melapangkan jalannya menuju kursi Kasat Reskrim. Kemudian jangan lupa bahwa sifat dasar manusia adalah tidak adanya kepuasan pada satu hal tertentu, sehingga keinginan untuk kaya akan membuat si pejabat meski telah mendapat renumerasi tidak akan menolak apabila ada masyarakat yang menawarkan sejumlah uang sebagai jalan untuk memuluskan kepentingannya.

Administrasi Polri saat ini, dipengaruhi oleh pendekatan birokratis yang menekankan pada pengaturan setiap kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan perundang-undangan (rules driven). Dimana prosedur yang dilakukan terasa berbelit-belit dalam memberikan pelayanan maupun penyelesaian permasalahan. Birokrasi bercirikan oleh tugas-tugas operasi yang sangat rutin yang dicapai lewat spesialisasi, aturan atau pengaturan secara formal, tugas-tugas yang dikelompokkan kedalam departemen fungsional, wewenang terpusat, rentang kendali yang sempit, dan pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando. Organisasi Polri saat ini menganut birokrasi weberian yang mempunyai corak otoriter dan feodalistik. Sistem yang digunakan dalam organisasi Polri bercorak sistem paternalistik, dimana seorang bawahan tidak berani melakukan tindakan apabila tidak mendapat perintah atau restu dari atasannya.

Sehingga atasannya selalu dianggap sebagai pusat kekuasaaan karena atasan dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan yang dilakukan bawahannya sehingga mau tidak mau bawahan akan melakukannya. Misalnya seorang Kapolda dapat menunjukkan kekuasaannya terhadap Kapolres agar menghentikan kasus yang dilakukan oleh teman atasan tersebut. Kapolres akan menurut perintah atasannya karena kalau tidak menurut dianggap sebagai pembangkang dan tidak loyal sehingga dapat diganti kapolres tersebut. Dengan adanya intervensi dalam pelaksanaan tugas dilapangan akan menimbulkan konflik dalam organisasi. Konflik adalah suatu proses dimana pihak yang satu merasa bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif terhadap sesuatu. Terhadap sesuatu dapat berupa penempatan jabatan seseorang, harga diri, dan kehormatan. Misalnya, jabatan dalam lingkup organisasi Kepolisian diisi oleh orang-orang yang punya uang, ada hubungan keluarga dan yang banyak setor kepada atasan. Dengan adanya itu akan menimbulkan konflik dalam organisasi terhadap orang yang seperti tersebut diatas dengan orang atau kelompok yang hanya menerima apa adanya.

Lingkungan dalam organisasi terdiri dari lembaga-lembaga yang berada diluar organisasi tetapi dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Dalam organisasi Kepolisian sering adanya suatu lembaga diluar organisasi Polri yang dapat mengintervensi kinerja kepolisian sehingga hasil terhadap kinerja kepolisian tidak efektif. Misalnya, dalam penerimaan untuk seleksi masuk menjadi anggota Polri atau seleksi masuk sekolah pengembangan dilingkungan Polri. Dengan adanya memo-memo dari instansi diluar organisasi Polri agar orang-orang tersebut masuk sekolah akan mempengaruhi hasil yang akan dicapai, karena lingkungan luar organisasi Polri tidak tahu akan kinerja yang dilakukan oleh individu-individu yang dibantunya.

Menurut Suparlan (1999), pranata yang otoriter dan bercorak feodalistik berdasarkan kesetiaan kepada atasan, bukan kesetiaan pada kerja dan produktivitas serta KKN pada korupsi.
Dari uraian diatas, yang dilakukan oleh pengemban tugas pokok masih bersifat konvensional, sehingga akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat pada polisi, karena :
1. Sistem manajemen Polri yang sentralistik, dengan sistem ini pelaksana di tingkat bawah akan selalu berpedoman pada perintah atasan, yang menyebabkan dalam melaksanakan tugas pokok akan selalu menunggu perintah dan perintah yang dilaksanakan bersifat loyalitas serta yang terpenting tidak ada kesalahan atau tegoran. Dengan loyalitas tersebut pengemban fungsi akan melakukan kegiatan sesuai dengan pengalamannya dan kekuasaannya untuk melakukan tugas pokonya sesuai dengan seleranya.
2. Dukungan anggaran berdasarkan perintah lisan dari pimpinan birokrasi melakukan pemotongan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga daftar usulan proyek yang diusulkan kesatuan bawah hanya formalitas atau hanya diperwabku (pertanggungjawaban keuangan) saja.
3. Dalam melaksanakan tugas pokok, mengedepankan pada penegakan hukum, karena tolok ukur keberhasilan tidak jelas. Siapa yang dapat mengungkap kasus yang menonjol atau yang menjadi perhatian masyarakat dinilai berhasil. Ukuran keberhasilan hanya ditentukan dengan penurunan angka kejahatan (crime Total) dan pengungkapan (crime clereance).
4. Sistem pendeteksian terhadap gejala sosial dibuat berdasarkan laporan rutin yang diganti hari dan tanggalnya. Sehingga kebijakan yang dibuat bersifat rutinitas dan dikejutkan adanya gangguan kriminalitas diluar perkiraan atau dugaan.
5. Dalam pembinaan karir yang berkembang karena hubungan pribadi atau hubungan personal dengan sarat KKN, dan standar pembinaan karier bersifat formalitas.
Susunan organisasi yang baik, spesialisasinya dan pengaturan tata cara kerja yang jelas penting artinya, namun yang menentukan adalah manusianya. Manusia yang baik tidak akan berprestasi bila peraturan permainan (rules of the game) tidak jelas. Oleh karena keberhasilan organisasi juga ditentukan oleh yang menduduki atau yang mengawakinya.

Sebagai salah satu ilmu sosial (humaniora), ilmu kepolisian dalam mengikuti kebutuhan dan kemajuan keilmuan masa kini perlu dikembangkan agar lebih dapat dirasakan manfaatnya bagi pengembangan reformasi birokrasi di kepolisian  dan memerlukan spesialisasi yang lebih mendalam dan tidak hanya membahas tentang segala sesuatu tentang kepolisian tanpa menjelaskan secara detail dari sudut pandang mana ilmu kepolisian tersebut dipandang. Untuk lebih dapat mengkhususkan diri dan lebih dapat bermanfaat dan memperbaiki birokrasi kepolisian maka ilmu kepolisian pada saat ini dapat dibagi menjadi 5 (lima) disiplin ilmu khusus yang bisa diterapkan  antara lain :

a.   Manajemen Kepolisian Ilmu mengenai Manajemen Kepolisian sangat diperlukan mengingat Kepolisian sebagai subjek adalah sebuah organisasi yang besar yang terdiri dari struktur di tingkat markas besar sampai di tingkat polsek dan pospol, sehingga memerlukan suatu manajerial peraturan dan pengaturan yang tepat yang dapat menjalankan organisasi kepolisian  untuk mencapai tujuannya sebagai alat negara penegak hukum, pelindung pengayom dan pelayan masyarakat dan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tentunya inti dari sebuah organisasi yang maju adalah manajemen yang bagus sehingga sangat dibutuhkan adalah disiplin ilmu Manajemen Kepolisian.

b.   Hukum Kepolisian Sebagai alat negara untuk penegakan hokum agar tercipta keadilan bagi masyarakat, Hukum kepolisian merupakan suatu pedoman bagaimana fungsi kepolisian itu diorganisir (kepolisian sebagai badan) dan dikelola (kepolisian sebagai kegiatan) dalam menangani berbagai permasalahan yang ditangani kepolisian (kepolisian sebagai masalah) yang menjadi tugasnya untuk mewujudkan tujuan pemolisian yaitu tercipta dan terpeliharanya rasa aman masyarakat, dengan adanya disiplin ilmu Hukum kepolisian sebagai salah satu bidang ilmu kepolisian sehingga dapat menggunakan disiplin ilmu hukum untuk menganalisis segala sesuatu tentang fungsi kepolisian sebagai penegak hukum yang didasari kepolisian sebagai badan, kegiatan dan masalah.

c.   Teknologi Kepolisian sebagai suatu ilmu yang sangat dibutuhkan pada saat ini disebabkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi terutama dalam pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan yang semakin lama semakin komplek dan canggih dalam pelaksanaannya memerlukan pemisahan ilmu dari ilmu kepolisian menjadi tehnologi kepolisian untuk mengimbangi dinamika perkembangan kejahatan yang selalu berkembang dan mutahir, agar kepoisian sendiri tidak kalah dengan penjahat. Namun kemajuan tekhnologi kepolisian dalam penggunaannya yang sifatnya rahasia tidak perlu ditunjukkan kepada masarakat dikarenakan bias memicu para penjahat untuk lebih berkembang lagi dalam melakukan kejahatan mereka.

d.   Ilmu Kepolisian Fungsional Secara operasional kegiatan kepolisian dilakukan dengan Pola Deteksi Aksi yang terdiri dari Fungsi-fungsi Operasional : 1) Deteksi (intelijen), 2) Preemtif (Penangkalan), 3) Preventif ( Pencegahan), 4) Represif (Penindakan) dan 5) Rehabilitasi (Pemulihan). Selanjutnya fungsi-fungsi operasional kepolisian diwadahi dalam : 1) Fungsi Intelijen Keamanan, 2) Fungsi Bimbingan Masyarakat, 3) Fungsi Samapta Bhayangkara, 4) Fungsi Brigade Mobil, 5) Fungsi Polairud, 6) Fungsi Lalu lintas, 7) Fungsi Reserse, dan fungsi-fungsi lain Pendukung Operasional Kepolisian yang apabila dikhususkan menjadi masing-masing kecabangan ilmu-ilmu tersebut tentunya pengemban fungsi-fungsi operasional tersebut akan lebih profesional dengan keahlian khusus yang mereka mereka miliki, hal ini juga dapat diterapkan kepada fungsi pembinaan misalnya sarana dan prasana kepolisian, sumber daya manusia kepolisian, maupun psikologi kepolisian.

e.   SDM Kepolisian yaitu Sumber Daya manusia Kepolsian merupakan suatu ilmu yang pada dasaranya menginduk dari ilmu manajemen kepolisian namun sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan organisasi kepolsian sangat diperlukan pengkhususan ilmu SDM kepolisian dikarenekan banyaknya sorotan masayarakat dan isu-isu yang menerpa kepolisian dari segi sumber daya manusianya, maka sangat diperlukan untuk mempelajari bagaimana ilmu sumber daya manusia yang baik dan diterpakan dalam organisasi kepolisian itu sendiri. Sehingga kedepan menjadikan perubahan yang signifikan dalam SDM kepolisian menjadi lebih professional,transparan,kredibilitas dan akuntabel. 

Salah satu upaya lain  dalam rangka memperbaiki sistem birokrasi pada kepolisian yaitu dengan menerapkan sistem pendekatan polisi dengan masyarakat atau dengan istilah lain Polmas (pemolisian masyarakat) atau community policing. Community policing  diyakini memiliki nilai sosial kultural bangsa, sejalan dengan perkembangan masyarakat modern dan masyarakat madani yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan pluralisme, egaliterisme dan partnership, mengatasi kekerasan tanpa kekerasan, dan sebagainya. Seperti dikatakan Suparlan (2004) gagasan membangun konsepsi (concept) bersama tentang community policing tidak dapat dilepaskan dari munculnya kesadaran bersama adanya “keanekaragaman sukubangsa dan keyakinan keagamaan”. Dan kesadaran kita (termasuk kepolisian) akan adanya keanekaragaman tersebut, yang bukan sekedar masyarakat majemuk (plural society), tetapi multikulturalisme sebagai ideologi kesederajatan, memerlukan kemampuan pemahaman secara benar (Chrysnanda dalam Suparlan 2004: 95). 

Pembangunan pemolisian masyarakat, harus dibarengi dengan mendirikan forum-forum komunikasi antara kepolisian dan masyarakat (police-community liaison committees). Dengan komunikasi tersebut akan melahirkan beberapa konsensus tindakan yang diterima dan dilaksanakan oleh warga. Pertimbangan utama dalam community policing adalah warga memberi definisi masalah yang harus dipecahkan, warga terlibat dalam perencanaan dan pengimplementasian kegiatan pemecahan masalah. Jadi tercipta suatu hubungan yang erat dan saling menguntungkan antara polisi dengan anggota masyarakat (Lihawa 2005: 18). Meskipun Polmas mengemban misi penerapan hukum positif pada masyarakat, namun tidak lupa untuk memperhatikan norma-norma sosial pada masyarakat itu sendiri. Memanfaatkan adat istiadat masyarakat setempat juga merupakan indikator keberhasilan polisi dalam berinteraksi dalam masyarakat. Ini menandakan polisi juga mempertimbangkan aspek-aspek pendekatan secara kewilayahan ketimbang murni pendekatan hukum. Karena proses menyelesaikan suatu masalah sosial di masyarakat tidak melulu melalui pendekatan hukum, namun adakalanya adat istiadat setempat turut mempengaruhi penyelesaian masalah. Dengan demikian polisi telah mencoba menginternalisasikan falsafah pemolisian kedalam lingkungan adat masyarakat setempat. Peran polmas sangat membantu kepolisian dalam mewujudkan birokrasi kepolisian yang baik, dengan polmas masyarakat akan percaya serta membantu tugas-tugas yang diemban oleh kepolisian sehingga dalam perjalanannya tugas kepolisian akan semakin ringan dan system birokrasi akan berjalan cepat.

Di era digital saat ini, e-Policing merupakan kebutuhan bagi institusi kepolisian untuk dapat terus hidup tumbuh dan berkembang dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang modern dan demokratis dalam rangka mewujudkan dan memelihara keteraturan social serta sebagai perwujudan percepatan system birokrasi di tubuh kepolisian itu sendiri. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi tools bagi pemolisian yang mendasari perubahan paradigma dan nilai-nilai hakiki bagi polisi dan pemolisianya. Dengan membangun sistem akan menjadi suatu harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan dan akuntabel, informatif serta mudah di akses. Ide-ide kreatif bagi para petugas polisipun dapat disalurkan tanpa terhambat/terbentur dari sistem-sistem birokrasi yang feodal dan konvensional. Sistem-sistem dengan IT akan menunjukan adanya kemauan dan kerelaan para pejabat dan pemimpinnya untuk kehilangan previlegenya dan dengan suara lantang berani mengatakan sebagai inisiatif antikorupsi, reformasi birokrasi sekaligus creative breakthrough.

Untuk mempercepat system birokrasi pada kepolisian bisa menggunakan e-Policing, e-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi. Bisa juga dipahami membawa community policing pada sistem online. Dengan demikian e-Policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatf dan mudah diakses.

e-Policing bisa menjadi strategi inisiatif antikorupsi, reformasi birokrasi dan creative break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena meminimalisir bertemunya person to person dalam pelayanan-pelayanan kepolisian di bidang administrasi karena sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking, atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification) dan sebagai reformasi birokrasi karena dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit yang mampu menembus ruang dan waktu misalnya tentang pelayanan informasi dan komunikasi melalui internet, dan hubungan tata cara kerja dalam birokrasi dapat diselenggarakan secara langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang dibuat melalui intranet/ internet juga sehingga menjadi less paper dan sebagainya. Dikatakan sebagai bagian creative break through, melalui e-Policing banyak program dan berbagai inovasi dan kreasi dalam pemolisian yang dapat di kembangkan misalnya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat, atau juga dalam TMC baik melalui media elektronik, cetak maupun media sosial bahkan secara langsung sekaligus.

e-Policing bukan berarti menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang dillayaninya. e-Policing menyempurnakannya, meningkatkannya sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan sekaligus. e-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/ bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.

Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya. Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam konteks : 1. Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).

Unsur-unsur pendukung dalam membangun E-Policing:
a. Komitmen moral
b. Kepemimpinan yang transformative
c. Infrastruktur (hardware dan software) sebagai pusat data, informasi, komunikasi, kontrol, koordinasi, komando dan pengendalian.
d. Jaringan untuk komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi (K3i) melalui IT dan untuk kontrol situasi.
e. Petugas-petugas polisi yang berkarakter (yang mempunyai kompetensi, komitmen dan unggulan) untuk mengawaki untuk yang berbasis wilayah, menangani kepentingan dan dan dampak masalah.
f. Program-program unggulan untuk dioperasionalkan baik yang bersifat rutin, khusus maupun kontijensi, (tingkat manajemen maupun operasionalnya).
g. Tim transformasi sebagai tim kendalli mutu, tim backup yang menampung ide-ide dari bawah (bottom up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran kebijakan-kebijakan dari atas (top down). Tim ini sebagai dirigen untuk terwujudnya harmonisasi dalam dan di luar birokrasi. Dan melakukan monitoring dan evaluasi atas program-program yang diimplementasikan maupun menghasikan program-program baru.
h. Selalu ada produk-produk kreatif sebagai wujud dari pengembangan untuk update, upgrade dan mengantisipasi dinamika perubahan sosial yang begitu cepat.

Model pemolisian dapat dibuat 3 kategori: 1. Berbasis wilayah, 2. Berbasis kepentingan dan 3. Berbasis dampak masalah. Ketiga kategori tersebut memiliki pendekatan yang berbeda namun ada benang merahnya yang menunjukan adanya saling keterkaitan satu dengan lainya. Model pemolisian ini dapat digunakan sebagai acuan dasar/pedoman dalam mengimplementasikanya, (chrisnanda dalam artikel http://news.detik.com/kolom/2670876).




DAFTAR PUSTAKA
1.      Bachtiar, Harsya W, 1994, Ilmu Kepolisian, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
2.     Bailey, Kathleen M. and Savage, L. 1994. New Ways in Teaching speaking. Cambridge : Cambridge University Press.
3.     Chrysnanda DL. 2004. Pemolisian Komuniti dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Parsudi Suparlan (ed.). Jakarta: YPKIK.
4.      Chrysnanda DL . 2009. Polisi Penjaga Kehidupan . Jakarta : YPKIK.
5.      Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor),2008,Ilmu Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,
6.      Dahniel, Rycko Amelza, 2008, Birokrasi di Kepolisian Resor Kota Sukabumi, Disertasi Doktor Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Jakarta.
7.      Djamin, Awaloedin, 2002, Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jurnal Polisi Indonesia Tahun IV/September 2002, KIK Press, Jakarta.
8.      Djamin,Awaloeddin.2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta:PTIK Press.
9.      Djamin,Awaloeddin.2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta: YPKIK.
10.  ___________, 2007, Tantangan dan Kendala Menuju Polri Yang Profesional dan Mandiri, PTIK Press, Jakarta
11. Gellner. Ernest. (1995). Nationalism, London : Phoenix
12.  Ilmu Kepolisian, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, PTIK Press.2015
13.  Jalaluddin, 2013, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
14. Kunarto . 1998. Police for the future = polisi masa depan . Jakarta : Cipta Manunggal
15. Lihawa, Ronny. 2005. Memahami Community Policing. Jakarta: YPKIK.
16.  Mabes Polri,1999. Sejarah Kepolisian Di Indonesia. Bandung:Pustaka.
17.  Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI)
18.  Muhammad, Farouk. “Menuju Reformasi Polri”. Restu Agung. 2005
19. Savirani, Amalinda. 2004, Local Strongmen in New Regional Politics in Indonesia, thesis.
20. Suparlan, Parsudi. 1999. Polisi Indonesia dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hukum Nasional VII Departemen Kehakiman, tidak diterbitkan.
21.  Suparlan, Parsudi. 2004. “Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
22. Suparlan, Parsudi. 2009. “Ilmu Kepolisian”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
23. Toha, Miftah.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
24. Thoha, Miftah. 2004. “Birokrasi dan Politik di Indonesia”. Cetakan ke 3. Jakarta:





1 komentar:

  1. Casino.com - JeRhub.com
    Welcome to Casino.com. 통영 출장안마 Casino.com. is one of the most 울산광역 출장안마 trusted and trusted 구리 출장샵 sites in the gaming 하남 출장안마 industry. We have developed over 광주 출장샵 2,600 slots games,

    BalasHapus