I. PENDAHULUAN
Birokrasi dalam sebuah Negara demokrasi
memang tidak akan pernah bisa terpisahkan satu sama lain. Birokrasi sangatlah
penting untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang profesioal dan modern bagi
sebuah Negara berdaulat. Tak terlepas juga birokrasi pada salah satu institusi
Negara yang kental dengan syarat hirarki dan loyalitas yaitu intitusi
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sebelum membahas Sistem birokrasi
yang terdapat di tubuh Polri alangkah baiknya penulis menguraikan makna apa itu
yang dimaksud dengan birokrasi.
Birokrasi memiliki asal kata dari
Bureau, digunakan pada awal abad ke 18 di Eropa Barat bukan hanya untuk
menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor, semisal tempat
kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari bahasa
perancis berarti pelapis meja. Kata birokrasi sendiri kemudian digunakan segera
setelah Revolusi Perancis tahun 1789, dan kemudian tersebar ke negara lain.
Kata imbuhan -kratia berasal dari bahasa Yunani atau kratos yang berarti
kekuasaan atau kepemimpinan. Birokrasi secara mendasar berarti kekuasaan
perkantoran ataupun kepemimpinan dari strata kepegawaian (Thoha, 2011).
Birokrasi adalah sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki
dan jenjang jabatan. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan
kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya
birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan mengambil kesimpulan bahwa
birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat
pemerintah (birokratisme) yang merugikanmasyarakat.
Menurut Etzioni-Havely (dalam Savirani
: 2004) birokrasi adalah organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk
menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Ciri khas yang melekat dalam tubuh
birokrasi adalah bentuk organisasi yang berjenjang, rekrutmen berdasarkan
keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi juga merupakan unit yang secara
perlahan mengalami penguatan, independen, dan kuat. Penguasaan berbagai sumber
daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi menjadi kekuatan besar yang dimiliki
oleh negara. Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut juga dengan
pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh politik berlangsung dalam
berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan publik.
Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang berkaitan dengan partai,
demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan politik.
Sementara birokrasi adalah sebuah
institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya, namun pada lain sisi sistem
kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor yang mengepalai birokrasi
melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah tidak
bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang
membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa dilepaskan dari aspek politik.
Pada gilirannya, birokrasi mau tidak mau harus rela dikepalai oleh mereka yang
umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Artinya, kepentingan politik
dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintah.
Persoalan yang mengemuka adalah mampukah kepala daerah memberikan peluang
kepada birokrasi yang dipimpinya dengan arif untuk tetap mengikuti kaidah
demokrasi yang normatif.
Reformasibirokrasi pada hakekatnya
adalah perubahan besar dalamp aradigma dan tata kelola pemerintahan untuk
menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif;
berintegritas, bersih dari perilaku korupsi kolusi dan nepotisme, mampu
melayani publik secara akuntabel, serta memegang teguh nilai-nilai dasar
organisasi dan kode etik perilaku aparatur negara.
Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung
jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di
seluruh wilayah Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri). Kepolisian sebagai badan (organisasi) pemerintah yang
diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian arti
polisi tetap ditonjolkan sebagai badan atau lembaga yang harus menjalankan
fungsi pemerintahan, dan sebagai sebutan anggota dari lembaga Kepolisan sebagai
lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tetap tunduk dan patuh pada
tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 13 dinyatakan
bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b.
Menegakkan hukum
c.
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Organisasi Polri disusun secara
berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan. Organisasi Polri tingkat
pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri);
sedang organisasi Polri tingkat kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik
Indonesia Daerah (Polda) di tingkat provinsi, Kepolisian Negara Republik
Indonesia Resort (Polres) di tingkat kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia Sektor (Polsek) di wilayah kecamatan.
Ditinjau dari segi keilmuan kepolisian
merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah bidang ilmu
pengetahuan maka Ilmu Kepolisian mempunyai paradigma atau sebuah sudut pandang
ilmiah yang mencakup ontologi, epistemologi dan axiologi yang mempersatukan
berbagai unsur-unsur yang tercakup di dalamnnya sebagai sebuah sistem yang
bulat dan menyeluruh. Paradigma dalam ilmu kepolisian adalah antar-bidang
(interdisipliner). Dengan memperhatikan fase – fase perkembangan masyarakat dan
proses timbulnya tugas Kepolisian dan fungsi Kepolisian dalam Masyarakat, ilmu
Kepolisian merupakan ilmu terapan yang menggunakan metode pendekatan sebagaimana
yang digunakan dalam ilmu terapan dengan kajian pokok sebagai berikut :
a. Ontologi
Ilmu Kepolisian Objek pembahasan ilmu Kepolisian terdiri dari objek material
dan objek forma. Dimana objek material ilmu Kepolisian adalah hal yang
diselidiki, dipandang dan atau dibahas oleh ilmu Kepolisian baik hal – hal yang
kongkret maupun hal – hal yang abstrak, yang berdasar pada tiga bahan objek
penelitian yang terkait dengan masyarakat, Negara, dan manusia/penduduk secara
individual yang disimpulkan dari perkembangan tugas dan organ Polisi dalam
masyarakat dan Negara. Sebenarnya Polisi berasal dari masyarakat yang bertugas
mengawasi masyarakat lainnya. Mereka membentuk kelompok atau badan tertentu
untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran, menindak pelakunya dan
menegakkan norma kehidupan bersama seperti yang telah disepakati sebelumnya
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa
kegiatan polisi melekat pada masyarakatnya dan secara alami masyarakat dapat
diindikasikan sebagai pokok bahasan (objek material ) ilmu Kepolisian. Seperti
yang terjadi dalam konteks Negara, pengemban fungsi Kepolisian sebagai fungsi
pemerintahan dan yang ditunjuk oleh Negara. Dimana Negara merupakan objek
material ilmu Kepolisian dan penduduk serta manusia sebagai individunya sebagai
pokok bahasan Ilmu Kepolisian. Sedangkan objek formal dari suatu ilmu yang khas
yang memberikan keutuhan suatu ilmu dan pada saat yang sama membedakannya dari
bidang lain. Dalam membahas masyarakat sebagai objek material, ilmu Kepolisian
memfokuskan pandangannya dengan 3 fokus pandangan, yaitu :
a) Fokus pandangan ilmu Kepolisian
dalam rangka kepentingan masyarakat, objek performanya adalah pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat ;
b) Fokus pandangan ilmu Kepolisian
dalam rangka menjamin dan mempertahankan kepentingan dan kewibawaan Negara yang
secara resmi dinyatakan dalam hukum Negara, objek performanya adalah penegakan
hukum Negara ;
c) Fokus pandangan ilmu Kepolisian
dalam rangka kewajiban Polisi dalam melindungi serta melayani hak – hak asasi
dan hak – hak politik rakyat/warga Negara/penduduk secara individual, objek
performanya adalah perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
b. Epistemologi Ilmu Kepolisian.
Epistemologi ilmu Kepolisian membahas tentang kajian filsafat dan/atau kajian
ilmu Kepolisian itu sendiri, yaitu sebuah teori mengenai hakekat ilmu
Kepolisian dari sesuatu bidang ilmu pengetahuan melalui proses sistematik dan
pengujian / pembuktian tentang kebenarannya sehingga diperoleh pengakuan yang
benar dan diterima oleh umum. Pengembangan konsep awal yang sederhana yang
berasal dari dinamika proses kegiatan Kepolisian yang sistematis, kemudian
fakta dari fenomena realitas yang lazim dicatat dan diberi lambang dengan menggunakan
bahasa sehari-hari selanjutnya disosialisasikan dan akhirnya menggunakan
istilah tertentu yang baku, diberikan penjelasan yang spesifik dalam bentuk
definisi.
c. Axiologi Ilmu Kepolisian
Aksiologi Ilmu Kepolisian merupakan penjelasan mengenai hakekat nilai - nilai
ilmu Kepolisian dan penilaian mengenai kegunaan ilmu Kepolisian sebagai bidang
ilmu pengetahuan. Kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
a) Untuk apa pengetahuan berupa ilmu
Kepolisian itu dipergunakan ?
b) Bagaimana kaitan penggunaan ilmu
Kepolisian dengan kaidah – kaidah moral ?
c) Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan – pilihan moral ?
d) Bagaimana operasionalisasi metode
ilmiah yang berupa teknik dan prosedur dengan norma –norma moral dan profesi ?
Sedangkan ilmu kepolisian menurut Menurut Prof. Harsya
Bachtiar dalam buku beliau yang berjudul Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu
Pengetahuan yang baru. Beliau mengatakan bahwa perkembangan kepolisian sebagai
suatu profesi terkait erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkenaan
dengan masalah-masalah kepolisian, sedangkan cara masalah-masalah kepolisian
ini dikaji, diteliti, mengalami perkembangan dari ketidakpedulian terhadap
masalah-masalah ini sebagai kenyataan-kenyataan yang perlu dipelajari secara
serius menjadi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penelitian yang dirancang dan
dilaksanakan atas dasar pemikiran rasional dan dengan memperhatikan ilmu
pengetahuan yang sudah dikembangkan. usaha untuk menguraikan secara ilmiah
keberadaan ilmu kepolisian ini sebagai suatu disiplin tersendiri, baru
dilakukan dalam tahun 1994 dalam buku Harsja Bachtiar, Ilmu Kepolisian. Suatu
Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. Dalam hal. 16 Harsja Bachtiar berpendapat
bahwa “Ilmu Kepolisian ... yang baru, terbentuk sebagai hasil penggabungan
unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah
lama ...”. Dikatakan selanjutnya bahwa “Ilmu Kepolisian lambat laun menjelma
menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline) yang baru dan yang mempunyai
identitas tersendiri...”. Pada bagian pertama kutipan di atas, memang ilmu
kepolisian (yang baru) dilihat sebagai pengetahuan dengan pendekatan
“multi-bidang”, namun dalam bagian kedua dari kutipan di atas, kita dapat
menafsirkan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, ilmu kepolisian akan
“menjelma” dengan “identitas tersendiri”, sehingga menjadi suatu pengetahuan
dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin).
Harsja Bachtiar (hal. 36) juga menginginkan bahwa perkembangan
ilmu kepolisian di Indonesia ini akan “... berakar pada kenyataan di masyarakat
dan kebudayaan Indonesia sendiri sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang
dihadapi anggota-anggota kepolisian di Indonesia ...”. Pada akhirnya beliau
meminta agar ilmu pengetahuan ini juga berusaha “... untuk mengembangkan suatu
kerangka teori yang sesuai dengan tata keteraturan berpikir logika dan juga
sesuai dengan kenyataan-kenyataan ... di Indonesia, sebagai pengatur
fakta-fakta, konsep-konsep, serta generalisasi-generalisasi...” yang nantinya
akan merupakan wujud ilmu kepolisian Indonesia. Usaha untuk meneliti
gejala-gejala sosial di Indonesia dan menggambarkan kenyataan di masyarakat,
kebudayaan, dan alam lingkungan Indonesia, yang relevan dengan pelaksanaan
tugas Polri, telah dilakukan di Program Magister KIK melalui sejumlah
penelitian untuk tesis para mahasiswa. Juga melalui Jurnal Polisi Indonesia
yang mulai diterbitkan oleh program studi KIK tiga tahun yang lalu, para dosen
dan mahasiswa mendapat kesempatan menyebarluaskan penemuan penelitian dan
kesimpulan mereka.
Menurut Prof. Parsudi Suparlan
bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan
pendekatan antar bidang (interdisplinary). Dikatakan interdisciplinary apabila
suatu masalah sudah ada dalam bingkai penyelesaiannya, dalam artian macam
metode ataupun teori sudah menjadi satu bingkai untuk memecahkan masalah
tersebut.
Ilmu Kepolisian adalah sebuah
bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu
penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat,
mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari
teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta
cara-cara pencegahannya.
Sebuah bidang ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan maka Ilmu Kepolisian mempunyai paradigma
atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup epistemologi, ontologi,
aksiologi dan metodologi yang mempersatukan berbagai unsur-unsur yang tercakup
di dalamnnya sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh. Paradigma dalam
ilmu kepolisian adalah antar-bidang (interdisipliner).
Jadi ilmu kepolisian tidak
seharusnya mempunyai paradigma yang multi-bidang (multidisipliner) sebagaimana
yang dikemukakan oleh Prof Harsja Bachtiar. Sebab kalau pendekatannya adalah
multi-bidang, maka ilmu kepolisian hanya merupakan penggabungan berbagai bidang
ilmu pengetahuan melalui berbagai bidang pengajaran dalam sebuah kurikulum yang
masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada kaitan antara satu dengan yang
lainnya. Karena itu apabila Ilmu Kepolisian adalah multi-bidang maka Ilmu
Kepolisian tidak mempunyai paradigma, dan juga tidak memerlukan adanya
epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi yang mencirikannya sebagai
sebuah Ilmu Kepolisian.
Sebagai sebuah ilmu yang
antar-bidang, maka Ilmu Kepolisian tidak mengenal adanya ilmu pengetahuan yang
berdiri sendiri dalam ruang lingkup bidangnya. Jadi dalam ilmu kepolisian
seharusnya tidak mungkin harus ada antropologi, sosiologi, psikologi atau
ilmu-ilmu hukum dan sebagainya.
Karena sebagai sebuah bidang
ilmu yang antar-bidang maka coraknya adalah eklektik. Sehingga, berbagai bidang
ilmu pengetahuan yang mendukung dan menjadikannya sebagai Ilmu Kepolisian
terserap menjadi bagian dari Ilmu Kepolisian dan tidak seharusnya berdiri
sendiri sebagai sebuah bidang ilmu yang berbeda dari Ilmu Kepolisian, tetapi
ada dalam cakupan bidang Ilmu Kepolisian. Misalnya, mata kuliah yang berisikan
teori-teori mengenai “kebudayaan polisi” yang ada dalam Ilmu Kepolisian bukan
lagi dan tidak seharusnya disebut sebagai mata kuliah “antropologi kepolisian”
atau “sosiologi pengetahuan tentang kepolisian” atau “administrasi kepolisian”
dan bukan “ilmu administrasi untuk polisi” atau “hukum kepolisian” bukan pula
“Ilmu hukum kepolisian”, dan sebagainya. ( Buku Bunga Rampai Ilmu Kepolisian ,
2011 : 12)
Corak antar bidang
(interdisiplinar) yang didisain tersebut harus terfokus pada seperangkat
pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan
sebagai acuan dalam penerapan tugas-tugas profesinya. Untuk itu, sebuah program
pendidikan tinggi ilmu kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah
seharusnya mendisain sebuah kurikulum yang coraknya antar bidang
(interdisiplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK UI saat
ini. Di mana kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata
kuliah antara satu sama lain saling berkaitan dan saling berhubungan, namun
tetap dalam satu bingkai yang bulat, dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut
berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta
memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta
kondisi lingkungan setempat.
II. PEMBAHASAN
Reformasi Birokrasi Polri sebagai suatu
tindakan untuk menata kembali Organisasi Polri dalam rangka untuk menjadikan
birokrasi Polri yang efektif, efisien, dan tepat sasaran. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, arti Reformasi adalah suatu perubahan secara drastis untuk
perbaikan dibidang sosial, politik, ekonomi, dll disuatu masyarakat atau
negara. Dalam reformasi yang telah dan sedang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia bertujuan untuk dapat mencapai suatu kehidupan berbangsa dan
bernegara yangdemokratis. Menurut Suparlan (1999) bahwa dalam tatanan
demokratis ada beberapa unsur yang mendasar yaitu individu, masyarakat, dan
negara yang unsur itu selalu berada dalam konflik karena terjadi suatu
kepentingan dalam rangka proses persaingan untuk dapat memenangkan dan unsur
tersebut harus seimbang karena dalam rangka mencapai kesejahteraan
masyarakatnya. Menurut Gellner (1995), masyarakat sipil adalah masyarakat
dengan perangkat-perangkatnya non pemerintah yang kuat untuk menyeimbangi dari
kekuasaan negara dan mendorong pada pemerintah untuk menjalankan fungsi dan
peranannya dan melindungi masyarakatnya.
Polri merupakan bagian dari sistem
administrasi negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya terkait
dengan sub-sub sistem administrasi Negara yang kental denga syarat birokrasi.
Keberhasilan Polri dalam melaksanakan tugasnya tergantung pada kemampuan
merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan pengawasan meliputi
pengorganisasian, manajemen personil, hubungan tata cara kerja, manajemen
keuangan, manajemen materiil, dan manajemen pengawasan.
Polri dalam melaksanakan tugas pokoknya
diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Polri bertujuan
untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan
dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman dan pelayan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Menurut Bayley (1994) untuk mewujudkan
rasa aman itu mustahil dapat dilakukan oleh Polisi saja, mustahil dapat
dilakukan dengan cara-cara bertindak Polisi yang konvensional yang melibatkan
birokrasi yang rumit, mustahil terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat
tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu
dengan tempat yang lain (Kunarto,1998:xi).
Bangsa Indonesia sekarang ini sedang
melakukan reformasi dalam rangka untuk mencapai suatu kehidupan berbangsa dan
bernegara yang demoktratis, meliputi prinsip-prinsip kedaulatan rakyat,
pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat, kekuasaan mayoritas, hak-hak
minoritas, jaminan hak asasi manusia, proses hukum yang adil, pembatasan
kekuasaan pemerintahan secara konstitusional, nilai-nilai toleransi, dan
kemajemukan politik, sosial, ekonomi. Polri sebagai bagian dari birokrasi
pemerintahan harus melakukan reformasi terhadap perkembangan politik yang
menjadi tuntutan reformasi.
Kalau kita berbicara tentang birokrasi suatu system pemerintahan maka akan
berhubungan dengan Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution) atau
alokasi (alocation), karena politik selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan
masyarakat tercakup juga kepolisian. Menurut Toha (2003), birokrasi pemerintah
sering diartikan sebagai “official dom” atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan
yang raja-rajanya adalah para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang
digolongkan modern. Pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi
pemerintah mempunyai kekuasaan yang sangat menentukan, karena segala urusan
yang berkaitan dengan jabatan itu,yang menentukan orang yang berada dalam
jabatan tersebut. Jabatan yang berada dalam hirarki jabatan tersusun hirarkis
dari atas kebawah, dimana jabatan yang berada diatas mempunyai kewenangan
jabatan yang lebih besar daripada jabatan dibawahnya. Dan semua orang yang
menduduki pada jabatan tersebut, mendapat segala fasilitas yang mencerminkan
akan kekuasaan.
Birokrasi dalam pemerintahan yang
menganut birokrasi Weberian akan menunjukkan cara-cara officialdom, dimana para
pejabat birokrasi pemerintah merupakan pusat atau sentral dari semua
penyelesaian urusan masyarakat. Dan masyarakat tergantung kepada pejabat tersebut,
bukannya pejabat itu tergantung pada masyarakat sehingga akhirnya berdampak
pada pelayanan kepada masyarakat tidak diletakkan pada tugas yang utama, namun
menjadi tugas yang kesekian. Selain itu berkembang pula upaya untuk
menyenangkan hati atasan dalam bentuk penghormatan dan pengabdian yang sekarang
ini adalah dalam bentuk upeti. Upeti ini menjadi penting karena gajinya pejabat
kecil, sehingga pejabat itu akan dinilai loyal atau baik oleh atasannya, maka
akan mudah untuk mendapat atau mempertahankan jabatan/posisinya. Karena pada
posisi atau jabatan tertentu (yang dianggap basah) memiliki kewenangan
fasilitas dan keistimewaan. Hal ini termasuk pada level atas hingga bawah atau
telah menjadi kebudayaan dalam organisasi.
Sebagai suatu kegiatan yang bermula
pada sesuatu titik, maju lewat sederetan langkah, dan berpuncak dalam sesuatu
hasil yang diharapkan oleh mereka yang terlibat sebagai suatu perbaikan
terhadap titik awal. Perubahan pada organisasi pada hakekatnya untuk
mempertahankan suatu keseimbangan dimana menuntut suatu penyesuaian untuk
mencapai suatu keadaan yang diharapkan.
Budaya dalam organisasi merupakan suatu
tindakan yang dilakukan bersama dan berulang-ulang oleh anggota organisasi yang
mempunyai makna bersama. Dalam hal ini budaya yang ada pada organisasi Polri
yang menyebabkan tidak dipercaya oleh masyarakat tetapi tetap dilakukan dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari. Misalnya, anggota Polri melakukan pemerasan,
melakukan pungli, dan melakukan diskresi yang mengarah ketindakan korupsi. Maka
dari itu perlu dilakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh di dalam tubuh
Polri. Dalam menuju Polri yang professional dan memperbaiki birokrasi secara
menyeluruh perlu dilakukan perubahan kebudayaan dalam organisasi Polri yang
meliputi :
1. Kode etik Polri
Suatu peraturan atau petunjuk yang
jelas dan dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman para petugas Polri
dilapangan baik dari tingkat manajemen maupun individu mulai dari tingkat
Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek. Kode etik itu berisi aturan,
norma-norma yang berkaitan dengan moral dalam pelaksanaan tugas dari pangkat
Bharada sampai dengan Jendral mana yang boleh dilakukan dan yang mana tidak
boleh dilakukan sehingga merupakan suatu kebanggaan bagi anggota Polri dan
dapat dijadikan sebagai pegangan agar hal-hal yang memalukan dapat tidak
dilakukan.
2. Standarisasi Tugas Kepolisian
Standarisasi tugas Kepolisian ini
mencakup antara lain pedoman yang dimiliki oleh setiap anggota Polri, yang mana
setiap fungsi berbeda dengan fungsi yang lain. Misalnya standarisasi tugas di
Reserse tidak sama dengan anggota yang bertugas di fungsi Lalulintas. Dengan
adanya standarisasi ini petugas kepolisian akan melaksanakan tugas dan
bertindak dalam pelayanan masyarakat sesuai dengan standarisasi yang telah
ditetapkan sebagai pedoman disetiap fungsi.
3. Uji Kelayakan
Uji Kelayakan ini sebagai syarat utama
untuk menduduki jabatan tertentu (kapolda, Kapolwil, Kapolres dan Kapolsek)
atau pejabat staff yang dilakukan oleh pejabat yang independent. Dengan diadakan
uji kelayakan tersebut dimaksudkan agar pejabat yang menjabat jabatan tertentu
akan bekerja secara obyektif dan efektif serta mempunyai rasa tanggungjawab
terhadap tugasnya. Dan apabila terdapat penyimpangan atau pelanggaran pejabat
tersebut siap menerima hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Sistem Penilaian Kerja
Bagian yang diberi kewenangan untuk
menilai kinerja menggunakan pedoman yang telah ditetapkan dalam standarisasi
sehingga dalam memberikan penilaian berdasarkan dengan pedoman. Dengan mengacu
pada pedoman penilaian maka pejabat yang dinilai tidak dapat melakukan KKN atas
pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan dan apabila melakukan pelanggaran
siap untuk menerima hukuman.
5. Sistem Penghargaan dan hukuman
Sistem ini diberikan kepada anggota
Polri yang berprestasi dalam pelaksanaan tugasnya dan memberikan hukuman bagi
yang melakukan pelanggaran. Dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, maka keberhasilan petugas dilapangan dapat terukur dan yang
melakukan penyimpangan harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang
dilakukannya.
Dalam pembahasan Reformasi Birokrasi
khususnya Polri, maka perlu menerapkan prinsip good governance dalam memberikan
jaminan keamanan, ketertiban melalui penegakan hukum serta mampu
memberikan perlindungan serta penghargaan terhadap hak asasi manusia kepada
masyarakat, dengan kata lain bahwa Reformasi Birokrasi merupakan faktor yang
sangat penting untuk diuraikan menuju pelayanan yang efektif dan efisien kepada
masayarakat, karena secara faktual instutusi Polri yang memberikan pelayanan
kepada masyarakat / publik selama ini masih cukup banyak disoroti melakukan
tindakan-tindakan pembiaran atas keluhan masyarakat, maka dalam rangka
menciptakan Polri yang mampu melayani, melindungi masyarakat secara baik dan
memahami keadaan awal Polri pada saat sebelum berangkat menuju Reformasi
Birokrasi kondisi Polri yang memerlukan perbaikan dan perubahan sehinga
Reformasi kultural dapat semaksimal mungkin berjalan secara efektif dalam tubuh
Polri dan perlu adanya upaya percepatan (akselerasi) dalam pembenahan kultur
Polri yang meliputi 3 program akselerasi utama yaitu keberlanjutan
program, peningkatan kualitas kinerja dan komitmen terhadap organisasi. Ketiga
Program Akselerasi utama tersebut selanjutnya ditindak lanjuti dengan adanya
Program Unggulan Quick Wins yang merupakan Program Akselerasi dan Transformasi
Polri dalam rangka membenahi Polri sesuai dengan tugas pokok, peran, dan
fungsinya. Polri telah menetapkan Grand Strategi Polri 2005-2025 yang terbagi
menjadi tiga tahapan, yaitu 2005-2009 trust building, 2010-2015 partnership
building, dan 2016-2025 strieve for excellence. Sejalan dengan sudah habisnya
waktu pelaksanaan tahap pertama menuju tahap kedua, Polri berupaya untuk
mempercepat pencapaiannya melalui Program Akselerasi dan Transformasi Polri
mulai dari keberlanjutan program, peningkatan kualitas kerja dan komitmen
terhadap organisasi dalam upaya membangun Polri yang mandiri, professional, dan
dipercaya masyarakat.
Sementara untuk saat ini Reformasi birokrasi Polri yang dikomandoi oleh
Kaplolri Jenderal M. Tito Karnavian menerapakan Visi yaitu adalah terwujudnya
Polri yang makin profesional, modern, dan terpercaya, guna mendukung
terciptanya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan
gotong-royong. Visi itu kemudian dijabarkan sebagai berikut:
1. Profesional: Meningkatkan kompetensi
SDM Polri yang semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan
pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang
sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya.
2. Modern: Melakukan modernisasi dalam
layanan publik yang didukung teknologi sehingga semakin mudah dan cepat diakses
oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan Almatsus dan Alpakam yang makin
modern.
3. Terpercaya: Melakukan reformasi
internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya
penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Untuk mewujudkan visinya, Jenderal Pol
Tito Karnavian telah menyusun strategi 8-11-10, yakni 8 misi, 11 program, dan
10 komitmen.
Misi:
1. Berupaya melanjutkan reformasi
internal Polri.
2. Mewujudkan organisasi dan postur
Polri yang ideal dengan didukung sarana dan prasarana kepolisian yang modern.
3. Mewujudkan pemberdayaan kualitas
sumber daya manusia Polri yang profesional dan kompeten, yang menjunjung etika
dan HAM.
4. Peningkatan kesejahteraan
anggota Polri.
5. Meningkatkan kualitas pelayanan
prima dan kepercayaan publik kepada Kepolisian RI.
6. Memperkuat kemampuan pencegahan
kejahatan dan deteksi dini berlandaskan prinsip pemolisian proaktif dan
pemolisian yang berorientasi pada penyelesaian akar masalah.
7. Meningkatkan Harkamtibmas dengan
mengikutsertakan publik melalui sinergitas polisional.
8. Mewujudkan penegakan hukum yang
profesional, berkeadilan, menjunjung tinggi HAM dan anti KKN.
Program Prioritas:
1. Pemantapan reformasi internal Polri.
2. Peningkatan pelayanan publik yang
lebih mudah bagi masyarakat dan berbasis TI.
3. Penanganan kelompok radikal
prokekerasan dan intoleransi yang lebih optimal.
4. Peningkatan profesionalisme Polri
menuju keunggulan.
5. Peningkatan kesejahteraan anggota
Polri.
6. Tata kelembagaan, pemenuhan
proporsionalitas anggaran dan kebutuhan Min Sarpras.
7. Bangun kesadaran dan partisipasi
masyarakat terhadap Kamtibmas.
8. Penguatan Harkamtibmas (Pemeliharaan
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).
9. Penegakan hukum yang lebih
profesional dan berkeadilan.
10. Penguatan pengawasan.
11. Quick Wins Polri.
Komitmen:
1. Melakukan konsolidasi internal dan
menyiapkan langkah langkah strategis untuk mewujudkan organisasi Polri yang
semakin solid dan profesional.
2. Melanjutkan program-program yang
telah dilaksanakan oleh Kapolri sebelumnya.
3. Mewujudkan insan bhayangkara dan
organisasi Polri yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta
menjunjung etika dan moral.
4. Selalu mengembangkan sistem diklat
Polri dalam rangka meningkatkan kompetensi dan integritas SDM Polri.
5. Melakukan koordinasi dengan stake
holder terkait guna memudahkan dan memperlancar program program yang telah
direncanakan dan ditetapkan.
6. Menunjukan teladan pemimpin yang
memiliki Kompetensi, Proaktif, Tegas, tidak ragu ragu dan bertanggung jawab,
serta melayani dan memberdayakan anggota serta antisipatif terhadap perubahan.
7. mewujudkan pelayanan prima Polri
kepada masyarakat dengan lebih mudah, cepat, nyaman dan humanis.
8. Menerapkan pemberian penghargaan
bagi yang berprestasi dan menindak bagi yang melakukan pelanggaran.
9. Mengamankan program prioritas
nasional dan kebijakan Pemerintah.
10.Melaksanakan dengan sungguh-sungguh
reformasi internal Polri, peningkatan pelayanan publik menjadi lebih prima.
Untuk
Polri, reformasi birokrasi memiliki arti yang sangat penting dalam rangka
menjalankan tugas pokoknya dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan dan upaya
menciptakan keamanan dan ketertiban. Kita perlu mengadakan penelitian atau
mempelajari sedalam-dalamnya bagaimana bentuk organisasi Polri itu. Karena
bentuk organisasi itu akan menserasikan dengan misi, visi dan tugas pokok serta
fungsi-fungsinya dengan beban kerjanya. Bentuk itu harus dipelajari apakah
dalam bentuk system staf umum (general staff system), sistem direktorat
(directory system) atau dalam bentuk gabungannya. Dengan membuat bentuk
organisasi yang sudah baik maka tidak perlu lagi merubah atau ada penambahan
lagi. Setelah dikaji dalam penyelenggaraannya tugas seandainya ditemukan
kekurangan maka diadakan penelitian yang mendalam apakah perlu ditambah atau
dikurangi. Jadi jangan setiap Pimpinan Polri baru kemudian membentuk organisasi
baru pula. Hal ini akan membuat polisi menjadi tidak profesional. Penyusunan
kembali atau penambahan dan pengurangan harus didasarkan pada studi yang
mendalam dengan para ahli organisasi dan manajemen yang benar-benar ahli dan
berpengalaman.
Dalam
suatu organisasi yang besar, contohnya Institusi Kepolisian maka salah satu
unsur untuk menjadi profesional adalah sistem penggajian. Saat ini besarnya
gaji yang diterima hanya untuk cukup dua minggu saja maka sisa hari yang lain
dengan berbagai macam akal dan rekayasa akan mencari tambahan lain guna
menutupi kekurangan kehidupan keluarganya. Setelah struktur organisasi Polri
dibenahi maka sistem penggajian juga dibenahi. Pejabat yang tingkat
pengetahuannya, tanggungjawab dan pekerjaan yang berat harus memperoleh gaji
netto yang besar. Yang sekarang sama saja hampir tidak ada perbedaan yang
mencolok antara pejabat tertinggi sampai dengan pejabat terendah.
Setelah
gaji dibuat adil sesuai dengan tanggungjawabnya selanjutnya pembiayaan
operasional dalam rangka pelaksanaan tugas pokoknya. Apabila gaji sudah sesuai
dengan keadilan maka pejabat Polri yang melakukan penyimpangan dalam
pelaksanaan tugas, misalnya dalam penggunaan anggaran dapat dituntut hukuman
yang sangat berat. Memang menjadi kendala dalam pembiayaan untuk operasional
kepolisian, namun dengan anggaran yang ada perlu direncanakan agar dapat cukup.
Untuk sekarang ini jangan harap menerima anggaran untuh, apalagi separo
seperempat saja sudah cukup bagus. Hal inilah yang menyebabkan kecemburuan
antara pejabat dengan anggota. Anggota yang bekerja tetapi pimpinan yang
mendapat uangnya.
Tuntutan
Polri pada direalisasikannya renumerasi sebagai filter perilaku korup oknum
polisi saya rasa bukan merupakan solusi yang tepat, karena renumerasi dengan
memberikan insentif pada pejabat yang memiliki tanggungjawab kerja yang besar
hanya akan menyuburkan pola-pola KKN baru. Misalkan seorang Kasat Reskrim
mendapat insentif (renumerasi) 10 juta, maka akan banyak perwira yang berminat
menjadi Kasat Reskrim dan akhirnya mereka berlomba-lomba melakukan tindakan KKN
kepada siapapun pejabat yang bisa melapangkan jalannya menuju kursi Kasat
Reskrim. Kemudian jangan lupa bahwa sifat dasar manusia adalah tidak adanya
kepuasan pada satu hal tertentu, sehingga keinginan untuk kaya akan membuat si
pejabat meski telah mendapat renumerasi tidak akan menolak apabila ada
masyarakat yang menawarkan sejumlah uang sebagai jalan untuk memuluskan
kepentingannya.
Administrasi
Polri saat ini, dipengaruhi oleh pendekatan birokratis yang menekankan pada
pengaturan setiap kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan
perundang-undangan (rules driven). Dimana prosedur yang dilakukan terasa
berbelit-belit dalam memberikan pelayanan maupun penyelesaian permasalahan.
Birokrasi bercirikan oleh tugas-tugas operasi yang sangat rutin yang dicapai
lewat spesialisasi, aturan atau pengaturan secara formal, tugas-tugas yang
dikelompokkan kedalam departemen fungsional, wewenang terpusat, rentang kendali
yang sempit, dan pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando.
Organisasi Polri saat ini menganut birokrasi weberian yang mempunyai corak
otoriter dan feodalistik. Sistem yang digunakan dalam organisasi Polri bercorak
sistem paternalistik, dimana seorang bawahan tidak berani melakukan tindakan
apabila tidak mendapat perintah atau restu dari atasannya.
Sehingga
atasannya selalu dianggap sebagai pusat kekuasaaan karena atasan dapat
mempengaruhi perilaku atau tindakan yang dilakukan bawahannya sehingga mau
tidak mau bawahan akan melakukannya. Misalnya seorang Kapolda dapat menunjukkan
kekuasaannya terhadap Kapolres agar menghentikan kasus yang dilakukan oleh
teman atasan tersebut. Kapolres akan menurut perintah atasannya karena kalau
tidak menurut dianggap sebagai pembangkang dan tidak loyal sehingga dapat
diganti kapolres tersebut. Dengan adanya intervensi dalam pelaksanaan tugas
dilapangan akan menimbulkan konflik dalam organisasi. Konflik adalah suatu
proses dimana pihak yang satu merasa bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara
negatif terhadap sesuatu. Terhadap sesuatu dapat berupa penempatan jabatan
seseorang, harga diri, dan kehormatan. Misalnya, jabatan dalam lingkup
organisasi Kepolisian diisi oleh orang-orang yang punya uang, ada hubungan
keluarga dan yang banyak setor kepada atasan. Dengan adanya itu akan
menimbulkan konflik dalam organisasi terhadap orang yang seperti tersebut
diatas dengan orang atau kelompok yang hanya menerima apa adanya.
Lingkungan
dalam organisasi terdiri dari lembaga-lembaga yang berada diluar organisasi
tetapi dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Dalam organisasi Kepolisian
sering adanya suatu lembaga diluar organisasi Polri yang dapat mengintervensi
kinerja kepolisian sehingga hasil terhadap kinerja kepolisian tidak efektif.
Misalnya, dalam penerimaan untuk seleksi masuk menjadi anggota Polri atau
seleksi masuk sekolah pengembangan dilingkungan Polri. Dengan adanya memo-memo
dari instansi diluar organisasi Polri agar orang-orang tersebut masuk sekolah
akan mempengaruhi hasil yang akan dicapai, karena lingkungan luar organisasi
Polri tidak tahu akan kinerja yang dilakukan oleh individu-individu yang
dibantunya.
Menurut
Suparlan (1999), pranata yang otoriter dan bercorak feodalistik berdasarkan
kesetiaan kepada atasan, bukan kesetiaan pada kerja dan produktivitas serta KKN
pada korupsi.
Dari
uraian diatas, yang dilakukan oleh pengemban tugas pokok masih bersifat
konvensional, sehingga akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat pada
polisi, karena :
1.
Sistem manajemen Polri yang sentralistik, dengan sistem ini pelaksana di
tingkat bawah akan selalu berpedoman pada perintah atasan, yang menyebabkan
dalam melaksanakan tugas pokok akan selalu menunggu perintah dan perintah yang
dilaksanakan bersifat loyalitas serta yang terpenting tidak ada kesalahan atau
tegoran. Dengan loyalitas tersebut pengemban fungsi akan melakukan kegiatan
sesuai dengan pengalamannya dan kekuasaannya untuk melakukan tugas pokonya
sesuai dengan seleranya.
2.
Dukungan anggaran berdasarkan perintah lisan dari pimpinan birokrasi melakukan
pemotongan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga daftar usulan
proyek yang diusulkan kesatuan bawah hanya formalitas atau hanya diperwabku
(pertanggungjawaban keuangan) saja.
3.
Dalam melaksanakan tugas pokok, mengedepankan pada penegakan hukum, karena
tolok ukur keberhasilan tidak jelas. Siapa yang dapat mengungkap kasus yang
menonjol atau yang menjadi perhatian masyarakat dinilai berhasil. Ukuran
keberhasilan hanya ditentukan dengan penurunan angka kejahatan (crime Total)
dan pengungkapan (crime clereance).
4.
Sistem pendeteksian terhadap gejala sosial dibuat berdasarkan laporan rutin
yang diganti hari dan tanggalnya. Sehingga kebijakan yang dibuat bersifat
rutinitas dan dikejutkan adanya gangguan kriminalitas diluar perkiraan atau
dugaan.
5.
Dalam pembinaan karir yang berkembang karena hubungan pribadi atau hubungan
personal dengan sarat KKN, dan standar pembinaan karier bersifat formalitas.
Susunan
organisasi yang baik, spesialisasinya dan pengaturan tata cara kerja yang jelas
penting artinya, namun yang menentukan adalah manusianya. Manusia yang baik
tidak akan berprestasi bila peraturan permainan (rules of the game) tidak
jelas. Oleh karena keberhasilan organisasi juga ditentukan oleh yang menduduki
atau yang mengawakinya.
Sebagai
salah satu ilmu sosial (humaniora), ilmu kepolisian dalam mengikuti kebutuhan
dan kemajuan keilmuan masa kini perlu dikembangkan agar lebih dapat dirasakan
manfaatnya bagi pengembangan reformasi birokrasi di kepolisian dan
memerlukan spesialisasi yang lebih mendalam dan tidak hanya membahas tentang
segala sesuatu tentang kepolisian tanpa menjelaskan secara detail dari sudut
pandang mana ilmu kepolisian tersebut dipandang. Untuk lebih dapat
mengkhususkan diri dan lebih dapat bermanfaat dan memperbaiki birokrasi
kepolisian maka ilmu kepolisian pada saat ini dapat dibagi menjadi 5 (lima)
disiplin ilmu khusus yang bisa diterapkan antara lain :
a.
Manajemen Kepolisian Ilmu mengenai Manajemen Kepolisian sangat diperlukan
mengingat Kepolisian sebagai subjek adalah sebuah organisasi yang besar yang
terdiri dari struktur di tingkat markas besar sampai di tingkat polsek dan
pospol, sehingga memerlukan suatu manajerial peraturan dan pengaturan yang
tepat yang dapat menjalankan organisasi kepolisian untuk mencapai
tujuannya sebagai alat negara penegak hukum, pelindung pengayom dan pelayan
masyarakat dan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tentunya inti dari
sebuah organisasi yang maju adalah manajemen yang bagus sehingga sangat
dibutuhkan adalah disiplin ilmu Manajemen Kepolisian.
b.
Hukum Kepolisian Sebagai alat negara untuk penegakan hokum agar tercipta
keadilan bagi masyarakat, Hukum kepolisian merupakan suatu pedoman bagaimana
fungsi kepolisian itu diorganisir (kepolisian sebagai badan) dan dikelola
(kepolisian sebagai kegiatan) dalam menangani berbagai permasalahan yang
ditangani kepolisian (kepolisian sebagai masalah) yang menjadi tugasnya untuk
mewujudkan tujuan pemolisian yaitu tercipta dan terpeliharanya rasa aman
masyarakat, dengan adanya disiplin ilmu Hukum kepolisian sebagai salah satu
bidang ilmu kepolisian sehingga dapat menggunakan disiplin ilmu hukum untuk
menganalisis segala sesuatu tentang fungsi kepolisian sebagai penegak hukum
yang didasari kepolisian sebagai badan, kegiatan dan masalah.
c.
Teknologi Kepolisian sebagai suatu ilmu yang sangat dibutuhkan pada saat ini
disebabkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi terutama dalam
pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan yang semakin lama semakin komplek
dan canggih dalam pelaksanaannya memerlukan pemisahan ilmu dari ilmu kepolisian
menjadi tehnologi kepolisian untuk mengimbangi dinamika perkembangan kejahatan
yang selalu berkembang dan mutahir, agar kepoisian sendiri tidak kalah dengan
penjahat. Namun kemajuan tekhnologi kepolisian dalam penggunaannya yang
sifatnya rahasia tidak perlu ditunjukkan kepada masarakat dikarenakan bias
memicu para penjahat untuk lebih berkembang lagi dalam melakukan kejahatan
mereka.
d.
Ilmu Kepolisian Fungsional Secara operasional kegiatan kepolisian dilakukan
dengan Pola Deteksi Aksi yang terdiri dari Fungsi-fungsi Operasional : 1)
Deteksi (intelijen), 2) Preemtif (Penangkalan), 3) Preventif ( Pencegahan), 4)
Represif (Penindakan) dan 5) Rehabilitasi (Pemulihan). Selanjutnya
fungsi-fungsi operasional kepolisian diwadahi dalam : 1) Fungsi Intelijen
Keamanan, 2) Fungsi Bimbingan Masyarakat, 3) Fungsi Samapta Bhayangkara, 4)
Fungsi Brigade Mobil, 5) Fungsi Polairud, 6) Fungsi Lalu lintas, 7) Fungsi
Reserse, dan fungsi-fungsi lain Pendukung Operasional Kepolisian yang apabila
dikhususkan menjadi masing-masing kecabangan ilmu-ilmu tersebut tentunya
pengemban fungsi-fungsi operasional tersebut akan lebih profesional dengan
keahlian khusus yang mereka mereka miliki, hal ini juga dapat diterapkan kepada
fungsi pembinaan misalnya sarana dan prasana kepolisian, sumber daya manusia
kepolisian, maupun psikologi kepolisian.
e.
SDM Kepolisian yaitu Sumber Daya manusia Kepolsian merupakan suatu ilmu yang pada
dasaranya menginduk dari ilmu manajemen kepolisian namun sesuai dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan organisasi kepolsian sangat diperlukan
pengkhususan ilmu SDM kepolisian dikarenekan banyaknya sorotan masayarakat dan
isu-isu yang menerpa kepolisian dari segi sumber daya manusianya, maka sangat
diperlukan untuk mempelajari bagaimana ilmu sumber daya manusia yang baik dan
diterpakan dalam organisasi kepolisian itu sendiri. Sehingga kedepan menjadikan
perubahan yang signifikan dalam SDM kepolisian menjadi lebih
professional,transparan,kredibilitas dan akuntabel.
Salah
satu upaya lain dalam rangka memperbaiki sistem birokrasi pada kepolisian
yaitu dengan menerapkan sistem pendekatan polisi dengan masyarakat atau dengan
istilah lain Polmas (pemolisian masyarakat) atau community policing. Community
policing diyakini memiliki nilai sosial kultural bangsa, sejalan dengan
perkembangan masyarakat modern dan masyarakat madani yang menjunjung tinggi
nilai demokrasi dan pluralisme, egaliterisme dan partnership, mengatasi
kekerasan tanpa kekerasan, dan sebagainya. Seperti dikatakan Suparlan (2004)
gagasan membangun konsepsi (concept) bersama tentang community policing tidak
dapat dilepaskan dari munculnya kesadaran bersama adanya “keanekaragaman
sukubangsa dan keyakinan keagamaan”. Dan kesadaran kita (termasuk kepolisian)
akan adanya keanekaragaman tersebut, yang bukan sekedar masyarakat majemuk
(plural society), tetapi multikulturalisme sebagai ideologi kesederajatan,
memerlukan kemampuan pemahaman secara benar (Chrysnanda dalam Suparlan 2004:
95).
Pembangunan
pemolisian masyarakat, harus dibarengi dengan mendirikan forum-forum komunikasi
antara kepolisian dan masyarakat (police-community liaison committees). Dengan
komunikasi tersebut akan melahirkan beberapa konsensus tindakan yang diterima
dan dilaksanakan oleh warga. Pertimbangan utama dalam community policing adalah
warga memberi definisi masalah yang harus dipecahkan, warga terlibat dalam
perencanaan dan pengimplementasian kegiatan pemecahan masalah. Jadi tercipta
suatu hubungan yang erat dan saling menguntungkan antara polisi dengan anggota
masyarakat (Lihawa 2005: 18). Meskipun Polmas mengemban misi penerapan hukum
positif pada masyarakat, namun tidak lupa untuk memperhatikan norma-norma
sosial pada masyarakat itu sendiri. Memanfaatkan adat istiadat masyarakat
setempat juga merupakan indikator keberhasilan polisi dalam berinteraksi dalam
masyarakat. Ini menandakan polisi juga mempertimbangkan aspek-aspek pendekatan
secara kewilayahan ketimbang murni pendekatan hukum. Karena proses menyelesaikan
suatu masalah sosial di masyarakat tidak melulu melalui pendekatan hukum, namun
adakalanya adat istiadat setempat turut mempengaruhi penyelesaian masalah.
Dengan demikian polisi telah mencoba menginternalisasikan falsafah pemolisian
kedalam lingkungan adat masyarakat setempat. Peran polmas sangat membantu
kepolisian dalam mewujudkan birokrasi kepolisian yang baik, dengan polmas
masyarakat akan percaya serta membantu tugas-tugas yang diemban oleh kepolisian
sehingga dalam perjalanannya tugas kepolisian akan semakin ringan dan system
birokrasi akan berjalan cepat.
Di
era digital saat ini, e-Policing merupakan kebutuhan bagi institusi kepolisian
untuk dapat terus hidup tumbuh dan berkembang dalam memberikan pelayanan prima
kepada masyarakat yang modern dan demokratis dalam rangka mewujudkan dan
memelihara keteraturan social serta sebagai perwujudan percepatan system
birokrasi di tubuh kepolisian itu sendiri. Penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi akan menjadi tools bagi pemolisian yang mendasari perubahan paradigma
dan nilai-nilai hakiki bagi polisi dan pemolisianya. Dengan membangun sistem
akan menjadi suatu harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang
cepat, tepat, akurat, transparan dan akuntabel, informatif serta mudah di
akses. Ide-ide kreatif bagi para petugas polisipun dapat disalurkan tanpa
terhambat/terbentur dari sistem-sistem birokrasi yang feodal dan konvensional.
Sistem-sistem dengan IT akan menunjukan adanya kemauan dan kerelaan para
pejabat dan pemimpinnya untuk kehilangan previlegenya dan dengan suara lantang
berani mengatakan sebagai inisiatif antikorupsi, reformasi birokrasi sekaligus
creative breakthrough.
Untuk
mempercepat system birokrasi pada kepolisian bisa menggunakan e-Policing,
e-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai
pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat
bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan
waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi.
Bisa juga dipahami membawa community policing pada sistem online. Dengan
demikian e-Policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya
menerobos sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian
dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel
informatf dan mudah diakses.
e-Policing
bisa menjadi strategi inisiatif antikorupsi, reformasi birokrasi dan creative
break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena meminimalisir
bertemunya person to person dalam pelayanan-pelayanan kepolisian di bidang
administrasi karena sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking,
atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification) dan sebagai
reformasi birokrasi karena dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit
yang mampu menembus ruang dan waktu misalnya tentang pelayanan informasi dan
komunikasi melalui internet, dan hubungan tata cara kerja dalam birokrasi dapat
diselenggarakan secara langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang
dibuat melalui intranet/ internet juga sehingga menjadi less paper dan
sebagainya. Dikatakan sebagai bagian creative break through, melalui e-Policing
banyak program dan berbagai inovasi dan kreasi dalam pemolisian yang dapat di
kembangkan misalnya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat, atau juga dalam
TMC baik melalui media elektronik, cetak maupun media sosial bahkan secara
langsung sekaligus.
e-Policing
bukan berarti menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam
menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang
dillayaninya. e-Policing menyempurnakannya, meningkatkannya sehingga polisi
benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai
penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan sekaligus.
e-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang
berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu,
terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/
bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.
Pemolisian
tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: cepat,
tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Pelayanan
prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin
yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program
yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai
dengan penegakkan hukumnya. Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam
konteks : 1. Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity
Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).
Unsur-unsur
pendukung dalam membangun E-Policing:
a.
Komitmen moral
b.
Kepemimpinan yang transformative
c.
Infrastruktur (hardware dan software) sebagai pusat data, informasi,
komunikasi, kontrol, koordinasi, komando dan pengendalian.
d.
Jaringan untuk komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi (K3i)
melalui IT dan untuk kontrol situasi.
e.
Petugas-petugas polisi yang berkarakter (yang mempunyai kompetensi, komitmen
dan unggulan) untuk mengawaki untuk yang berbasis wilayah, menangani
kepentingan dan dan dampak masalah.
f.
Program-program unggulan untuk dioperasionalkan baik yang bersifat rutin,
khusus maupun kontijensi, (tingkat manajemen maupun operasionalnya).
g.
Tim transformasi sebagai tim kendalli mutu, tim backup yang menampung ide-ide
dari bawah (bottom up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran kebijakan-kebijakan
dari atas (top down). Tim ini sebagai dirigen untuk terwujudnya harmonisasi
dalam dan di luar birokrasi. Dan melakukan monitoring dan evaluasi atas
program-program yang diimplementasikan maupun menghasikan program-program baru.
h.
Selalu ada produk-produk kreatif sebagai wujud dari pengembangan untuk update,
upgrade dan mengantisipasi dinamika perubahan sosial yang begitu cepat.
Model
pemolisian dapat dibuat 3 kategori: 1. Berbasis wilayah, 2. Berbasis
kepentingan dan 3. Berbasis dampak masalah. Ketiga kategori tersebut memiliki
pendekatan yang berbeda namun ada benang merahnya yang menunjukan adanya saling
keterkaitan satu dengan lainya. Model pemolisian ini dapat digunakan sebagai
acuan dasar/pedoman dalam mengimplementasikanya, (chrisnanda dalam artikel
http://news.detik.com/kolom/2670876).
DAFTAR PUSTAKA
1. Bachtiar, Harsya W,
1994, Ilmu Kepolisian, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
2. Bailey, Kathleen M.
and Savage, L. 1994. New Ways in Teaching speaking. Cambridge :
Cambridge University Press.
3. Chrysnanda DL.
2004. Pemolisian Komuniti dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat. Dalam Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Parsudi Suparlan (ed.).
Jakarta: YPKIK.
4. Chrysnanda DL .
2009. Polisi Penjaga Kehidupan . Jakarta : YPKIK.
5. Chrysnanda DL dan
Yulizar Syafri (Editor),2008,Ilmu Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi
Suparlan,PhD,
6. Dahniel, Rycko
Amelza, 2008, Birokrasi di Kepolisian Resor Kota Sukabumi,
Disertasi Doktor Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Jakarta.
7. Djamin, Awaloedin,
2002, Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Jurnal Polisi Indonesia Tahun IV/September 2002, KIK
Press, Jakarta.
8. Djamin,Awaloeddin.2007. Kedudukan
Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta:PTIK
Press.
9. Djamin,Awaloeddin.2011. Sistem
Administrasi Kepolisian. Jakarta: YPKIK.
10. ___________, 2007,
Tantangan dan Kendala Menuju Polri Yang Profesional dan Mandiri, PTIK Press,
Jakarta
11. Gellner. Ernest. (1995). Nationalism,
London : Phoenix
12. Ilmu Kepolisian,
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, PTIK Press.2015
13. Jalaluddin,
2013, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
14. Kunarto . 1998. Police for the
future = polisi masa depan . Jakarta : Cipta Manunggal
15. Lihawa, Ronny. 2005. Memahami
Community Policing. Jakarta: YPKIK.
16. Mabes
Polri,1999. Sejarah Kepolisian Di Indonesia. Bandung:Pustaka.
17. Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu
Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka
Sewindu KIK-UI)
18. Muhammad, Farouk. “Menuju
Reformasi Polri”. Restu Agung. 2005
19. Savirani, Amalinda. 2004, Local
Strongmen in New Regional Politics in Indonesia, thesis.
20. Suparlan, Parsudi. 1999. Polisi
Indonesia dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah Seminar Hukum Nasional VII
Departemen Kehakiman, tidak diterbitkan.
21. Suparlan, Parsudi.
2004. “Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia”. Yayasan Pengembangan
Kajian Ilmu Kepolisian.
22. Suparlan, Parsudi. 2009. “Ilmu
Kepolisian”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
23. Toha, Miftah.2003. Birokrasi
dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
24. Thoha, Miftah. 2004. “Birokrasi dan
Politik di Indonesia”. Cetakan ke 3. Jakarta:
Casino.com - JeRhub.com
BalasHapusWelcome to Casino.com. 통영 출장안마 Casino.com. is one of the most 울산광역 출장안마 trusted and trusted 구리 출장샵 sites in the gaming 하남 출장안마 industry. We have developed over 광주 출장샵 2,600 slots games,