KAJIAN ILMU KEPOLISIAN 21
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Senin, 27 Februari 2017
ILMU KEPOLISIAN INDONESIA
ILMU KEPOLISIAN
1). Ilmu Kepolisian merupakan suatu ilmu pengetahuan ( menggunakan pemahaman tentang Ontologi, Epistemologi, Axiologi )
Kepolisian merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan maka Ilmu Kepolisian mempunyai paradigma atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup ontologi, epistemologi dan axiologi yang mempersatukan berbagai unsur-unsur yang tercakup di dalamnnya sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh. Paradigma dalam ilmu kepolisian adalah antar-bidang (interdisipliner). Dengan memperhatikan fase – fase perkembangan masyarakat dan proses timbulnya tugas Kepolisian dan fungsi Kepolisian dalam Masyarakat, ilmu Kepolisian merupakan ilmu terapan yang menggunakan metode pendekatan sebagaimana yang digunakan dalam ilmu terapan dengan kajian pokok sebagai berikut :
a. Ontologi Ilmu Kepolisian Objek pembahasan ilmu Kepolisian terdiri dari objek material dan objek forma. Dimana objek material ilmu Kepolisian adalah hal yang diselidiki, dipandang dan atau dibahas oleh ilmu Kepolisian baik hal – hal yang kongkret maupun hal – hal yang abstrak, yang berdasar pada tiga bahan objek penelitian yang terkait dengan masyarakat, Negara, dan manusia/penduduk secara individual yang disimpulkan dari perkembangan tugas dan organ Polisi dalam masyarakat dan Negara. Sebenarnya Polisi berasal dari masyarakat yang bertugas mengawasi masyarakat lainnya. Mereka membentuk kelompok atau badan tertentu untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran, menindak pelakunya dan menegakkan norma kehidupan bersama seperti yang telah disepakati sebelumnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa kegiatan polisi melekat pada masyarakatnya dan secara alami masyarakat dapat diindikasikan sebagai pokok bahasan (objek material ) ilmu Kepolisian. Seperti yang terjadi dalam konteks Negara, pengemban fungsi Kepolisian sebagai fungsi pemerintahan dan yang ditunjuk oleh Negara. Dimana Negara merupakan objek material ilmu Kepolisian dan penduduk serta manusia sebagai individunya sebagai pokok bahasan Ilmu Kepolisian. Sedangkan objek formal dari suatu ilmu yang khas yang memberikan keutuhan suatu ilmu dan pada saat yang sama membedakannya dari bidang lain. Dalam membahas masyarakat sebagai objek material, ilmu Kepolisian memfokuskan pandangannya dengan 3 fokus pandangan, yaitu :
a) Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka kepentingan masyarakat, objek performanya adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat ;
b) Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka menjamin dan mempertahankan kepentingan dan kewibawaan Negara yang secara resmi dinyatakan dalam hukum Negara, objek performanya adalah penegakan hukum Negara ;
c) Fokus pandangan ilmu Kepolisian dalam rangka kewajiban Polisi dalam melindungi serta melayani hak – hak asasi dan hak – hak politik rakyat/warga Negara/penduduk secara individual, objek performanya adalah perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
b. Epistemologi Ilmu Kepolisian. Epistemologi ilmu Kepolisian membahas tentang kajian filsafat dan/atau kajian ilmu Kepolisian itu sendiri, yaitu sebuah teori mengenai hakekat ilmu Kepolisian dari sesuatu bidang ilmu pengetahuan melalui proses sistematik dan pengujian / pembuktian tentang kebenarannya sehingga diperoleh pengakuan yang benar dan diterima oleh umum. Pengembangan konsep awal yang sederhana yang berasal dari dinamika proses kegiatan Kepolisian yang sistematis, kemudian fakta dari fenomena realitas yang lazim dicatat dan diberi lambang dengan menggunakan bahasa sehari-hari selanjutnya disosialisasikan dan akhirnya menggunakan istilah tertentu yang baku, diberikan penjelasan yang spesifik dalam bentuk definisi.
c. Axiologi Ilmu Kepolisian Aksiologi Ilmu Kepolisian merupakan penjelasan mengenai hakekat nilai - nilai ilmu Kepolisian dan penilaian mengenai kegunaan ilmu Kepolisian sebagai bidang ilmu pengetahuan. Kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
a) Untuk apa pengetahuan berupa ilmu Kepolisian itu dipergunakan ?
b) Bagaimana kaitan penggunaan ilmu Kepolisian dengan kaidah – kaidah moral ?
c) Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan – pilihan moral ?
d) Bagaimana operasionalisasi metode ilmiah yang berupa teknik dan prosedur dengan norma –norma moral dan profesi ?
2). Definisi Ilmu Kepolisian oleh Para ahli
1. Menurut Prof. Harsya Bachtiar
Menurut Prof. Harsya Bachtiar dalam buku beliau yang berjudul Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru. Beliau mengatakan bahwa perkembangan kepolisian sebagai suatu profesi terkait erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkenaan dengan masalah-masalah kepolisian, sedangkan cara masalah-masalah kepolisian ini dikaji, diteliti, mengalami perkembangan dari ketidakpedulian terhadap masalah-masalah ini sebagai kenyataan-kenyataan yang perlu dipelajari secara serius menjadi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penelitian yang dirancang dan dilaksanakan atas dasar pemikiran rasional dan dengan memperhatikan ilmu pengetahuan yang sudah dikembangkan. usaha untuk menguraikan secara ilmiah keberadaan ilmu kepolisian ini sebagai suatu disiplin tersendiri, baru dilakukan dalam tahun 1994 dalam buku Harsja Bachtiar, Ilmu Kepolisian. Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. Dalam hal. 16 Harsja Bachtiar berpendapat bahwa “Ilmu Kepolisian ... yang baru, terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama ...”. Dikatakan selanjutnya bahwa “Ilmu Kepolisian lambat laun menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline) yang baru dan yang mempunyai identitas tersendiri...”. Pada bagian pertama kutipan di atas, memang ilmu kepolisian (yang baru) dilihat sebagai pengetahuan dengan pendekatan “multi-bidang”, namun dalam bagian kedua dari kutipan di atas, kita dapat menafsirkan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, ilmu kepolisian akan “menjelma” dengan “identitas tersendiri”, sehingga menjadi suatu pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin).
Harsja Bachtiar (hal. 36) juga menginginkan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia ini akan “... berakar pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang dihadapi anggota-anggota kepolisian di Indonesia ...”. Pada akhirnya beliau meminta agar ilmu pengetahuan ini juga berusaha “... untuk mengembangkan suatu kerangka teori yang sesuai dengan tata keteraturan berpikir logika dan juga sesuai dengan kenyataan-kenyataan ... di Indonesia, sebagai pengatur fakta-fakta, konsep-konsep, serta generalisasi-generalisasi...” yang nantinya akan merupakan wujud ilmu kepolisian Indonesia. Usaha untuk meneliti gejala-gejala sosial di Indonesia dan menggambarkan kenyataan di masyarakat, kebudayaan, dan alam lingkungan Indonesia, yang relevan dengan pelaksanaan tugas Polri, telah dilakukan di Program Magister KIK melalui sejumlah penelitian untuk tesis para mahasiswa. Juga melalui Jurnal Polisi Indonesia yang mulai diterbitkan oleh program studi KIK tiga tahun yang lalu, para dosen dan mahasiswa mendapat kesempatan menyebarluaskan penemuan penelitian dan kesimpulan mereka.
2. Menurut Parsudi Suparlan
Menurut Prof. Parsudi Suparlan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan antar bidang (interdisplinary). Dikatakan interdisciplinary apabila suatu masalah sudah ada dalam bingkai penyelesaiannya, dalam artian macam metode ataupun teori sudah menjadi satu bingkai untuk memecahkan masalah tersebut.
Ilmu Kepolisian adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.
Sebuah bidang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan maka Ilmu Kepolisian mempunyai paradigma atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi yang mempersatukan berbagai unsur-unsur yang tercakup di dalamnnya sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh. Paradigma dalam ilmu kepolisian adalah antar-bidang (interdisipliner).
Jadi ilmu kepolisian tidak seharusnya mempunyai paradigma yang multi-bidang (multidisipliner) sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof Harsja Bachtiar. Sebab kalau pendekatannya adalah multi-bidang, maka ilmu kepolisian hanya merupakan penggabungan berbagai bidang ilmu pengetahuan melalui berbagai bidang pengajaran dalam sebuah kurikulum yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada kaitan antara satu dengan yang lainnya. Karena itu apabila Ilmu Kepolisian adalah multi-bidang maka Ilmu Kepolisian tidak mempunyai paradigma, dan juga tidak memerlukan adanya epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi yang mencirikannya sebagai sebuah Ilmu Kepolisian.
Sebagai sebuah ilmu yang antar-bidang, maka Ilmu Kepolisian tidak mengenal adanya ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dalam ruang lingkup bidangnya. Jadi dalam ilmu kepolisian seharusnya tidak mungkin harus ada antropologi, sosiologi, psikologi atau ilmu-ilmu hukum dan sebagainya.
Karena sebagai sebuah bidang ilmu yang antar-bidang maka coraknya adalah eklektik. Sehingga, berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mendukung dan menjadikannya sebagai Ilmu Kepolisian terserap menjadi bagian dari Ilmu Kepolisian dan tidak seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bidang ilmu yang berbeda dari Ilmu Kepolisian, tetapi ada dalam cakupan bidang Ilmu Kepolisian. Misalnya, mata kuliah yang berisikan teori-teori mengenai “kebudayaan polisi” yang ada dalam Ilmu Kepolisian bukan lagi dan tidak seharusnya disebut sebagai mata kuliah “antropologi kepolisian” atau “sosiologi pengetahuan tentang kepolisian” atau “administrasi kepolisian” dan bukan “ilmu administrasi untuk polisi” atau “hukum kepolisian” bukan pula “Ilmu hukum kepolisian”, dan sebagainya. ( Buku Bunga Rampai Ilmu Kepolisian , 2011 : 12)
Corak antar bidang (interdisiplinar) yang didisain tersebut harus terfokus pada seperangkat pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan sebagai acuan dalam penerapan tugas-tugas profesinya. Untuk itu, sebuah program pendidikan tinggi ilmu kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah seharusnya mendisain sebuah kurikulum yang coraknya antar bidang (interdisiplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK UI saat ini. Di mana kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah antara satu sama lain saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang bulat, dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta kondisi lingkungan setempat.
3. Menurut Dr. Rycko Amelza Dahniel
Ilmu kepolisian sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi dan lembaga kepolisian. Pengertian ilmu kepolisian, selain yang dijelaskan oleh Prof. Harsya Bachtiar dan Prof. Parsudi Suparlan, saya juga ingin memperkaya pemahaman ilmu kepolisian dan melihatnya sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi dan lembaga kepolisian.
Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan, maka disamping harus memiliki paradigma sendiri yang dibentuk secara epistemology yang becorak akumulatif dan eklektis, secara filsafat keilmuan juga harus mampu menjelaskan ontology (fokus telaah), aksiologi (kemanfaatan bagi umat manusia) dan metodologi (prosedur pengujian) keilmuannya. Ontology dengan berbagai teori memberikan seperangkat kerangka kerja (framework), sedangkan epistemology memberikan seperangkat pertanyaan, dan metodologi dengan analisisnya memberikan seperangkat cara untuk melakukan pengujian.
Sebagai ilmu yang mempelajari fungsi kepolisian, maka ilmu kepolisian mempelajari upaya-upaya pembinaan masyarakat dalam memelihara keamanan dan ketertiban (pre-emtif), berbagai upaya dalam melakukan pencegahan terjadinya kejahatan (preventif), dan upaya-upaya penegakan hukum (represif), termasuk upaya-upaya penyelidikan dalam rangka pengumpulan data dan informasi (investigatif). Fungsi kepolisian adalah fungsional dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara, oleh karena itu fungsi kepolisian harus dilihat sebagai bagian dari sistem masyarakat dan negara yang secara keseluruhan menunjuk kepada sebuah proses dari berbagai aktivitas operasional yang saling berhubungan dan menghidupi satu dengan lainnya yaitu memproses masukan berupa pembangunan nasional menjadi keluaran berupa keamanan, ketertiban dan kesejahteraan. Fungsi kepolisian yang tidak saja menjadi tanggung jawab lembaga kepolisian, namun juga masyarakat, baik secara perorangan maupun terorganisir.
Upaya-upaya pembinaan masyarakat merupakan pelaksanaan dari fungsi pre-emtif disebut juga indirect prevention atau parallel dengan public health dalam dunia kesehatan, merupakan segala usaha dan kegiatan dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memelihara dan membina keamanan dan ketertiban, menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, serta meningkatkan ketaatan warga terhadap berbagai peraturan perundangan yang berlaku. Upaya pembinaan masyarakat juga termasuk berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh berbagai masukan dari masyarakat mengenai isu-isu sosial yang berkembang, berbagai konvensi sosial dan nilai-nilai budaya yang disepakati dan dijadikan acuan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dalam rangka menciptakan keteraturan sosial. Produk dari upaya pembinaan masyarakat adalah terwujudnya pemetaaan (mapping) berbagai faktor-faktor yang dapat menimbulkan berbagai gangguan dan potensi konflik, meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan sosialnya, serta meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat.
Upaya-upaya pencegahan merupakan pelaksanaan dari fungsi preventive atau direct prevention parallel dengan preventive medicine dalam dunia kesehatan, merupakan segala usaha dan kegiatan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan, khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum dilakukan dengan mereduksi lahirnya niat dan kesempatan melakukan kejahatan melalui perbaikan infrastruktur perkotaan dan kehadiran petugas keamanan secara fisik. Produk dari upaya ini adalah terbangunnya pemetaan tempat-tempat dan kegiatan-kegiatan masyarakat yang memerlukan kehadiran petugas keamanan (police hazard), kebutuhan infrastruktur perkotaan dalam bentuk berbagai fasilitas umum yang diperlukan guna mereduksi terjadinya kejahatan dan pemetaan kebutuhan kehadiran petugas keamanan pada tempat-tempat dan kegiatan-kegiatan masyarakat yang memerlukan kehadiran petugas keamanan secara fisik. Upaya-upaya pencegahan tidak saja dilakukan oleh lembaga kepolisian yang berwenang sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku, akan tetapi juga oleh instansi terkait sesuai dengan kewenangannya, masyarakat secara individu maupun terorganisir perlu memiliki pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan tanggung jawab tentang pentingnya untuk melakukan berbagai upaya dan cara-cara yang efektif untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum, seperti siskamling, satpam, polisi pamong praja dan tramtib, dalam keadaan tertentu, Polri dibantu oleh TNI, termasuk pemerintah daerah dan pekerjaan umum untuk menyediakan berbagai fasilitas umum, antara lain lampu penerang jalan, halte angkutan umum, pagar pembatas jalan, jembatan penyeberangan, dan lain sebagainya.
Upaya-upaya penegakan hukum merupakan pelaksanaan dari fungsi represif atau parallel dengan currative medicine dalam kesehatan. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak akan terlepas tujuan dari diadakan hukum dan nilai-nilai dasar pembentuk hukum itu sendiri. Tujuan hukum akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum yaitu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum, sehingga akan menghasilkan suatu keadilan (Makarim, 2003 dalam Prasetyo dan Barkatullah, 2007). Sementara itu menurut Gustav Radbruch (1961 dalam Nitibaskara, 2006) setidaknya terdapat tiga nilai dasar hukum yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian hukum. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun antara mereka terdapat suatu spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu dengan lainnya yang memiliki potensi saling bertentangan, satu diantara mereka dikedepankan, maka akan menggeser dua nilai yang lain kesamping. Hal ini disebabkan karena masing-masing nilai tersebut memiliki tuntutan yang berlainan satu dengan lainnya dan mengandung potensi saling berhadapan. Apabila nilai kepastian hukum dikedepankan, maka akan segera menggeser nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang paling utama dari nilai kepastian hukum adalah kepastian penegakan atas peraturan itu sendiri, mengenai apakah peraturan itu harus adil atau bermanfaat untuk masyarakat merupakan di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.
Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum dapat berlainan tergantung nilai mana yang akan dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum. Ketika orang mulai berlomba-lomba untuk bermain-main hanya dalam kawasan kepastian hukum, maka hukum akan benar-benar menjadi alat untuk membenarkan berbagai kepentingan. Hukum dapat digunakan sebagai alat kejahatan (law as tool of crime). Disinilah hukum bisa diseret ke dalam wilayah yang berbahaya, yakni membenarkan kepentingan yang melawan keadilan masyarakat, termasuk berbagai hal yang kurang berguna bagi rakyat (Nitibaskara, 2006).
Keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum yang menghasilkan keadilan, hampir dapat dipastikan tergantung dari para aparat yang menegakkan hukum itu. Oleh karena itu ‘tangan-tangan hukum’ atau para penegak hukum idealnya adalah ‘manusia super’ yang tidak saja memiliki kekuatan otot dan otak akan tetapi lebih dari itu harus memiliki hati nurani atau O2H (otak, otot dan hati nurani, lihat Satjipto Raharjo, 2000). Pertimbangan hati nurani penegak hukum, misalnya anggota Polri sebagai hukum yang hidup di tengah masyarakat diatur dalam kaidah yang disebut dengan diskresi kepolisian.
Ilmu kepolisian sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi kepolisian juga berkaitan dengan berbagai upaya penyelidikan dalam rangka pengumpulan data dan informasi (investigatif), cara-cara mendapatkan data dengan berbagai metoda, melakukan deskripsi data, memilah berbagai data sesuai dengan kebutuhan dan melakukan kategorisasi, sampai dengan menyediakan data secara tepat dan akurat. Data dan informasi yang dikumpulkan berkaitan dengan isu-isu penting yang sedang berkembang didalam organisasi, lingkungan dan masyarakatnya dan berbagai masalah sosial dalam aspek kehidupan masyarakat.
Dan sebagai ilmu yang mempelajari lembaga kepolisian, maka ilmu kepolisian mempelajari mengenai struktur hubungan antar peranan dan norma-norma dari sebuah lembaga yang dirasakan penting dan diperlukan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam mempelajari lembaga kepolisian, maka kaidah dalam ilmu kepolisian akan mencakup kegiatan-kegiatan penataan administrasi, manajemen dan organisasi kepolisian. Administrasi merupakan seperangkat metode, instruksi-instruksi, arahan dan pelayanan agar setiap orang bekerja sesuai arah yang telah ditentukan (Wilson, 1887; Dunsire, 1973; Shafritz & Hyde, 1992; Stilman II, 1992; Hughes, 1994). The object of administrative study is to rescue executive methods from the confusion and costliness of empirical experiment and set the upon foundations laid deep in stable principle (Wilson, 1887). Sehingga menurut Woodrow Wilson (1887), organisasi dapat diibaratkan sebagai anatomi administrasi dan manajemen adalah fisiologinya (Djamin, 1995 dan lihat juga 2007). Organisasi sebagai anatomi menunjukkan sebagai struktur formal yang bersifat statis dan manajemen sebagai fisiologi yang bersifat dinamis.
Alasan utama dari pengertian ilmu kepolisian diatas, karena ruang lingkup bahasan mengenai kepolisian selalu berkaitan dengan fungsi dan lembaga kepolisian. Kepolisian sebagai fungsi menunjuk kepada kegiatan-kegiatan operasional yang dilakukan oleh kepolisian. Sementara itu, kepolisian sebagai lembaga menunjuk kepada kegiatan-kegiatan yang penataan administrasi melalui dua pilar utamanya yaitu manajemen sebagai pilar fisiologi dan organisasi sebagai pilar anatomi .
4. Menurut Mardjono Reksodiputro
Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA yang menyatakan bahwa Ilmu Kepolisian adalah: ilmu yang mempelajari penegakan hukum dan pemecahan masalah sosial melalui pendekatan teori, konsep-konsep yang jelas, dengan mengembalikan pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ilmu Kepolisian secara garis awalnya memang multidisiplinari tetapi perlahan-lahan sudah mulai menjadi interdisiplinari sesuai harapan Prof. Parsudi Suparlan walaupun Prof. Harsja W. Bachtiar masih menganggapnya sebagai multidisciplinary. Corak antarbidang (interdisciplinary) yang didesain tersebut harus terfokus pada seperangkat pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan sebagai acuan dalam penerapan tugas tugas profesinya. Untuk itu sebuah program pendidikan tinggi Ilmu Kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah seharusnya mendesain sebuah kurikulum yang coraknya antarbidang (interdisciplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK (Kajian Ilmu Kepolisian ) UI. Saat ini kurikulum yang coraknya antarbidang (interdisciplinary) terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah antara satu sama lainnya saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang bulat dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta lingkungan setempat.
5. Menurut Menurut Dr Chrysnanda DL
Ilmu Kepolisian adalah Ilmu yang mempelajari tentang :
A. UPAYA-UPAYA PENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN.
Tercakup dalam ilmu kepolisian adalah pengetahuan mengenai hukum dan upaya-upaya penegakannya demi keadilan yang harus dipunyai oleh setiap perwira polisi. Sehingga polisi dihargai dan dihormati serta dijadikan panutan yang mengayomi oleh warga masyarakat setempat dan dijadikan sandaran yang terpercaya oleh negara, dan sebagai tempat bagi mereka mcmperoleh bantuan dalam upaya mencari keadilan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang mereka hadapi sehari-hari. Dengan demikian hukum yang harus dipelajari mencakup berbagai permasalahan sosial, bisnis dan ekonomi, politik, dan teknologi; dalam konteks-konteks lokal atau adat, nasional, dan hubungan internasional. Para perwira polisi tidak dididik untuk menjadi ahli hukum tetapi mengetahui hukum-hukum yang relevan dengan tugas-tugasnya dan mempunyai kemampuan untuk menggunakannya dalam menegakkan sesuatu ketentuan hukum dalam sesuatu peristiwa hukum sehingga keadilan dapat ditegakkan.
B. TEKNIK-TEKNIK PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN BERBAGAI TINDAK KEJAHATAN SERTA CARA-CARA PENCEGAHANNYA.
Tercakup dalam ilmu kepolisian adalah pengetahuan yang harus dipunyai polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan. Keahlian dalam menyelidiki dan menyidik sesuatu tindak kejahatan, yang mencakup kejahatan sosial, ekonomi, politik, dan kejahatan terhadap perorangan atau individu. Keahlian menyelidiki dan menyidik hanya mungkin dapat terwujud kalau perwira polisi mempunyai cukup pengetahuan teori dan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sehingga dia mampu memperoleh informasi dan menyaringnya, membuat hipotesa untuk dijadikan pedoman kerja untuk mengumpulkan bukti-bukti yang relevan sehingga sesuatu tindak kejahatan itu dapat dibuktikan kebenarannya. Dan berbagai prosedur yang harus diikuti dalam mengidentifikasi tindak kejahatan dan penjahatnya, menangkap penjahatnya, dan melaporkan sesuatu tindak kejahatan sehingga dapat disampaikan kepada pihak kejaksaan untuk dapat dibawa ke pengadilan.
6. Menurut Firman Fadillah & Tety
Ilmu Kepolisian adalah Ilmu Pengetahuan untuk mewujudkan suatu keamanan. Ilmu kepolisian ini bersifat transdisipliner artinya adalah ilmu pengetahuan yang melayani, mengayomi dan melindungi ilmu pengetahuan lainnya, untuk dapat bekerja pada hal-hal yang dikelola kepolisian. Ilmu kepolisian tidak terikat pada sedikit ilmu pengetahuan, atau banyak ilmu pengetahuan lain, dan ilmu kepolisian tidak terpengaruh oleh berkembang atau tidaknya ilmu pengetahuan lain tersebut. Namun di sisi lain, ilmu kepolisian juga terbuka terhadap ilmu pengetahuan apa saja yang bisa bekerja pada waktu yang tepat, tempat yang tepat, dan hal yang tepat yang dikelola oleh kepolisian itu sendiri. ( Buku Lex Spesialis Ilmu Kepolisian , 2015)
7. Menurut Bakharudin Muhammad Syah
Dr. Bakharudin Muhammad Syah, M.Si. (alumni KIK-UI, 2008, Dosen KIK-UI, 2008, dan Dosen utama PTIK, 2015). Ilmu Kepolisian merupakan ilmu terapan. Sebagai sebuah ilmu terapan (profesi) Ilmu Kepolisian mementingkan kajiannya pada identifikasi masalah-masalah dan pemecahan secara profesional. Secara lebih luas Ilmu Kepolisian dapat didefenisikan sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, serta mempelajari tehnik-teknik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.
Dan, oleh karena itu pendekatan metodologi yang digunakan adalah pendekatan antarbidang (interdisciplinary approach), meskipun pendekatan mono-bidang maupun yang multi-bidang juga digunakan. Bidang ilmu pengetahuan ini berangkat dari suatu paradigma, yang pada hakekatnya berupa sudut pandang dan keyakinan-keyakinan ilmiah. Tercakup dalam paradigma tersebut adalah metodologi dan metode-metodenya, sasaran kajiannya, konsep- konsep serta teori-teori yang digunakan, dihasilkan, maupun yang dipinjam (ekletik) dari bidang/kajian ilmu pengetahuan lainnya. Dan, yang sebenarnya ditujukan guna memperkuat pengembangan Ilmu Kepolisian sebagai applied science (ilmu pengetahuan terapan). Berdasarkan pemahaman tentang Ilmu Kepolisian terurai di atas maka sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan terapan, bukan hanya pendekatannya yang mempengaruhi perkembangan Ilmu Kepolisian sebagai ilmu pengetahuan, melainkan juga masalah-masalah dan isu-isu sosial dimana polisi itu berfungsi. Tepatnya, konteks masayarakat dan kebudayaan yang multikultural dimana polisi itu berfungsi merupakan isu kritikal dalam menilai berfungsi atau tidaknya polisi sebagai sebuah pranata otonom dan sebagai organisasi pengayom masyarakat serta penegak hukum. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menghargai perbedaan dalam kesederajatan. Fenomena yang menonjol yang tampak dalam multikulturalisme antara lain: (a) pengakuan atas adanya perbedaan dalam kehidupan manusia, terutama perbedaan askriptif: (b) pengakuan serta penghormatan terhadap kesedarajatan dan perbedaan-perbedaan tersebut.
8. Menurut Momo Kelana
Seperti yang sudah disampaikan pada pendahuluan, maka ilmu kepolisian mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disintegrasi berupa gangguan yang terjadi pada masyarakat serta faktor-faktor yang memperkuat keteraturan yang ada (faktor integratif). Banyaknya aspek ilmu kepolisian itu menegaskan kembali bahwa ilmu kepolisian tidak berdiri sendiri, namun membutuhkan kontribusi dari disiplin ilmu lain. Oleh sebab itu, dikaitkan dengan “keamanan” merupakan konsep yang berkembang menjadi istilah teknis dalam ilmu kepolisian itu sendiri. Konsep mengenai istilah dan metode dalam pengelolaan keamanan yang pre-emtif, preventif dan represif bertolak dari asas kewajiban umum kepolisian (Kelana, 2009: 49).
Ilmu kepolisian juga membahas mengenai perbuatan yang dapat dihukum, siapa yang dihukum, dan jenis hukuman yang dijatuhkan, serta prosedur melaksanakan hukum substantif yang harus dilaksanakan oleh polisi sebagai aparat penegak hukum. Untuk menguatkan peran polisi sebagai penegak hukum dibutuhkan peranan ilmu lain untuk menunjang penyelidikan dan penyidikan seperti ilmu kedokteran forensik, psikologi forensik, identifikasi, teknologi informatika, serta cabang ilmu untuk teknis pembuktian seperti kriminologi dan viktimologi. Bukan itu saja, semakin spesifiknya kejahatan berdimensi tinggi seperti people smuggling (penyelundupan manusia), narkoba, terorisme, cybercrime, perbankan, maupun kejahatan-kejahatan transnasional membutuhkan keahlian dan kemampuan khusus dalam penanganannya baik secara hukum maupun teknis kepolisian (Kelana, 2009: 49).
9. Menurut Farouk Muhammad
Inspektur Jenderal Polisi Prof. Dr. Farouk Muhammad (mantan Gubernur STIK- PTIK, Guru Besar Ilmu Kepolisian dan Sistem Peradilan Pidana pada STIK-PTIK). Upaya pengembangan ilmu kepolisian seperti yang dilakukan rekan-rekan kita di Amerika Serikat seyogyanya ditiru dan hasil-hasil risetnya perlu diuji di negeri kita. Kita harus mulai dengan meneliti fenomena-fenomena kepolisian guna menemukan generalisasi-generalisasi dalam bentuk pernyataan-pernyataan ilmiah yang sudah barang tentu dikaitkan dengan teori-teori yang valid dari disiplin ilmu yang terkait. Perangkat pengetahuan demikianlah yang kita butuhkan untuk memahami polisi dan kepolisian, dan untuk mengambil langkah-langkah perbaikan guna peningkatan kinerja kepolisian, sehingga keberadaan ilmu kepolisian sesuai tujuan ilmu pengetahuan, benar-benar dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Bagi beliau, ilmu kepolisian adalah bidang studi terapan yang mempelajari fenomena sosial yang berkenaan dengan masalah kepolisian dan memadukannya dengan teori dan hasil studi disiplin ilmu terkait (sosiologi/kriminologi, hukum, ekonomi/manajemen, administrasi negara serta ilmu-ilmu lain seperti psikologi, antropologi dan lain-lain). Dalam perkembangannya hingga dewasa ini, aspek-aspek beberapa disiplin ilmiah yang telah turut menggarap permasalahannya belum mampu untuk meleburkan diri secara sempurna ke dalam satu pengertian ilmiah yang disebut ilmu kepolisian. Seperti halnya diibaratkan kendaraan, maka sebagian suku cadangnya masih memakai merk dari pabriknya yang asli, belum meleburkan diri sehingga merupakan bagian yang utuh dari kendaraan baru.
Ilmu kepolisian sebagai ilmu terapan memang membutuhkan teori-teori dari ilmu-ilmu yang mendukungnya tetapi teori-teori tersebut perlu lebih dahulu melalui proses ilmiah, proses penelitian ilmiah. Kelemahan dalam bidang inilah terutama yang dihadapi oleh ilmu kepolisian di Indonesia.
10. Menurut Supardi Hamid
Dr. Supardi Hamid, M.Si (doktor ilmu kriminologi, Dosen STIK-PTIK sejak 2003). Dalam masyarakat yang bercirikan solidaritas mekanis, mekanisme kontrol sosial dijalankan oleh kolektif masyarakat dan diaktivasi pada saat terjadinya penyimpangan. Dalam masyarakat modern yang dicirikan oleh solidaritas yang bersifat organis, mekanisme kontrol sosial sepenuhnya dijalankan oleh lembaga atau organ masyarakat yang bersifat khusus. Bentuk nyata lembaga semacam ini diantaranya adalah lembaga kepolisian.
Kepolisian sebagai sebuah organ dalam masyarakat yang menjalankan fungsi kontrol sosial dijalankan melalui pranata kepolisian yang kompleksitasnya mengikuti kompleksitas sistem sosial masyarakat tersebut. Sebagai sebuah pranata yang kompleks, yang dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi tertentu dan diberikan atribut kewenangan untuk menciptakan keteraturan (order) dalam kehidupan masyarakat, kepolisian kemudian menjadi perangkat pengetahuan dan praktik yang kompleks. Sebagai bentuk respons terhadap situasi yang mengancam keteraturan, kepolisian juga bersifat dinamis, adaptif, dan responsif selaras dengan dinamika masyarakat. Hal ini menyebabkan kepolisian membutuhkan kajian yang terus menerus dan menjadi pengetahuan yang bersifat akumulatif. Kepolisian menjadi sebuah cabang ilmu pengetahuan tersendiri.
Ilmu Kepolisian (police science) merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari segala bentuk ancaman terhadap keteraturan (order) dalam kehidupan masyarakat serta cara-cara menciptakan keteraturan sosial yang dilakukan oleh pengemban fungsi kepolisian, pengorganisasian dan pengelolaan lembaga kepolisian dalam kehidupan masyarakat.
3). Ilmu Kepolisian ( Kepolisian sebagai Organisasi, Kepolisian sebagai Kegiatan dan Kepolisian sebagai Masalah – Masalah yang Ditangani Kepolisian )
Ilmu Kepolisian adalah ilmu yang mempelajari masalah-masalah sosial dan penanganannya. Masalah sosial adalah sesuatu yang dianggap mengganggu, merugikan atau merusak kehidupan pelaku (warga), kelompok atau komuniti, pranata dan masyarakat sebagaimana dilihat dan dirasakan oleh yang bersangkutan atau oleh pranata-pranata yang mengemban terwujudnya keteraturan dan ketertiban sosial. Masalah sosial bisa berupa kejahatan dan masalah sosial yang lainnya.
Penanganan masalah sosial mencakup :
1. Proses pengidentifikasian masalah sosial dan kejahatan yg merugikan.
2. Organisasi dan pengorganisasian pranata atau institusi (Polisi).
3. Kebijakan dan Program-program Ilmu Kepolisian Modern untuk mewujudkan Rasa aman masyarakat.
4. Organisasi Kepolisian sebagai sebuah Satuan Administrasi & birokrasi.
5. Ilmu kepolisian memiliki ciri-ciri universal dan kontekstual.
A. KEPOLISIAN SEBAGAI ORGANISASI
Pada bagian ini, kami mencoba menguraikan mengenai pengertian-pengertian dasar yang terkait dengan Kepolisian sebagai sebuah sistem organisasi yang ditinjau dari aspek historisnya. Dalam berbagai literatur, kata “polisi” memiliki substansi dasar sebagai sebuah usaha/kegiatan/tugas dan badan/organ/lembaga yang menjalankan kegiatan tersebut (Kelana,2007:13). Menurut Chalres Reith (1912), ‘police’ diartikan sebagai tugas. Sedangkan menurut Bill Drews dan Gerhard Wacke (1961:11) mengemukakan bahwa ‘polizei’ dapat dipergunakan baik dalam arti formal maupun dalam arti material. Pengertian ‘polizei’ dalam arti formal mencangkup penjelasan tentang organisasi dan kedudukan dari instansi Kepolisian, sedangkan dalam arti material memberikan jawaban terhadap persoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya gangguan keamanan dan ketertiban, baik dalam rangka kewenangan Kepolisian umum maupun melalui ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan / undang-undang tentang Kepolisian secara khusus.
Pemakaian istilah Polisi sebagai tugas, organ, dan pejabat didapatkan pula pada kamus Kramers dan Poerwadarminta, hanya pada Kramers ada tambahan satu lagi yaitu istilah Polisi dipakai untuk menyebutkan “ Ilmu Pengetahuan Kepolisian “ (Kelana,2007:14). Istilah tugas ini juga berkaitan erat dengan permasalahan keamanan, dimana pengertian keamanan ini menjadi salah satu bagian dari hal ikhwal mengenai Polisi. Istilah keamanan dalam bahasa Indonesia sendiri merupakan salah satu istilah yang merupakan bentuk semantic confusion, yakni istilah yang menimbulkan kerancuan arti. Istilah ini lebih memiliki makna ketika digabungkan dengan padanan kata lain seperti keamanan negara, pertahanan-keamanan, keamanan dalam negeri, keamanan nasional dan lain sebagainya. Tidak ubahnya dengan tata bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris penggunaan kata security sendiri lebih sering dipadankan dengan kata lain menjadi sebuah kosa kata sendiri seperti security council, national security, world security, international security dan sebagainya. Penggunaan kata keamanan di Indonesia khususnya dalam aturan perundangan mengenai Kepolisian bermula ketika periode 60-an dimana saat itu Mabes Polri terdapat Badan Pembinaan Keamanan Rakyat (BABIN KAMRA), yang sekarang dibakukan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi istilah keamanan swakarsa (Djamin,2007:66). Keamanan itu sendiri sangat erat dengan bidang tugas dari polisi, hal ini dikarenakan secara historis keberadaan polisi memang diperuntukan dalam memberikan jaminan keamanan dan ketentraman bagi masyarakat.
Kepolisian sebagai badan (organisasi) pemerintah yang diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian arti polisi tetap ditonjolkan sebagai badan atau lembaga yang harus menjalankan fungsi pemerintahan, dan sebagai sebutan anggota dari lembaga Kepolisan sebagai lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tetap tunduk dan patuh pada tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
3. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
8. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
10. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
11. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
12. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
1. menerima laporan dan/atau pengaduan;
2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9. mencari keterangan dan barang bukti;
10. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
13. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang :
1. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
2. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
3. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
4. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
5. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
6. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
7. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
8. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
9. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
10. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
11. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan. Organisasi Polri tingkat pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri); sedang organisasi Polri tingkat kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) di tingkat provinsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres) di tingkat kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor (Polsek) di wilayah kecamatan.
B. KEPOLISIAN SEBAGAI KEGIATAN
Kegiatan Kepolisian secara empirik dapat kita kelompokkan kedalam 4 (empat) golongan besar yang satu sama lain saling mengisi dalam proses pengelolaan-nya memiliki kekhasan masing – masing yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan pemolisian. Kegiatan tersebut terdiri dari Kegiatan operasional, kegiatan pembinaan, kegiatan perencanaan umum dan anggaran serta kegiatan pengawasan. Dalam proses penbgelolaannya dikenal dengan istilah manajemen operasional kepolisian (MOP), manajemen perencanaan umum dan anggaran, manajemen pembinaan dan manajemen pengawasan. Kegiatan ini dijabarkan oleh kesatuan fungsi dan kesatuan kewilayahan secara serentak, berjenjang dan berkesinambungan oleh setiap petugas sesuai bidangnya. Manajemen Operasional dijabarkan kedalam MOP Fungsional dan MOP Terpadu, manajemen pembinaan dijabarkan ke dalam manajemen SDM, manajemen pendidikan kepolisian, manajemen logistik / materiil dan manajemen keuangan Polri). Manajemen perencanaan diterjemahkan dalam manajemen perencanaan umum dan manajemen perencanaan anggaran, sedangkan manajemen pengawasan diterjemahkan kedalam manajemen penga-wasan dan pemeriksaan umum (wasrikum) dan manajemen pengawasan &pemeriksaan khusus. (wasriksus).
Kegiatan Kepolisian secara empirik dapat kita amati terdiri dari 4 (empat) macam kegiatan besar yaitu :
a) Kegiatan Operasional yang dikelompokkan kedalam fuingsi-fungsi deteksi, preemtif, preventif, represif dan rehabilitasi. Kegiatan operasional menjadi core business kepolisian, untuk menyukseskan kegiatan ini perlu ditunjang oleh 3 (tiga) kegiatan lainnya.
b) Kegiatan Pembinaan, yang bertugas menyiapkan sumberdaya yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan operasional Polri yang terdiri dari sumberdaya manusia didalam-nya termasuk pendidikan, sumber daya logistik/materiil/sarana/peralatan termasuk teknologi dan dukungan dana / keuangan.
c) Kegiatan Perencanaan umum dan anggaran yang menghitung penyiapan sumberdatya dengan kebutuhan operasional untuk mengantisipasi perkembangan tantangan yang dihadapi dan perkembangan masyarakat disamping penyesuaian pengorganisasian Polri dengan kebutuhan tuntutan tugas di lapangan.
d) Kegiatan Pengawasan yang menjaga kesinambungan rencana dengan tujuan organisasi yang diukur dengan prosedur kerja (SOP), pencapaian target serta penerapan kode etik profesi kepolisian, dengan mendeteksi penyimpangan yang terjadi dalam perjalanan pelaksanaan tugas untuk diluruskan kembali serta menindak yang melanggar ketentuan yang berlaku, serta memperbaiki kekurangan yang ada.
Fungsi-fungsi operasional kepolisian pada prinsipnya diemban oleh seluruh Kesatuan Fungsi Operasional Kepolisian hanya porsinya yang berbeda, demikian juga para pengemban fungsi kepolisian lainnya (polsus dan kamswakarsa fo-kus pada preventif sedangkan PPNS fokus pada represif di bidangnya). Fungsi pembinaan dilakukan oleh Kesatuan Fungsi Pembinaan yang terdiri dari SDM, Pendidikan, Logistik dan Keuangan.
C. KEPOLISIAN SEBAGAI MASALAH YANG DITANGANI
Hakekat permasalahan tugas Polri adalah terbentuknya rasa aman atau terwujudnya keamanan. Keamanan berasal dari kata "aman" yang dalam terminologi kepolisian mengandung pengertian cukup komprehensif meliputi:
1. Security = aman dari ganguan atau ancaman yang dapat membahayakan;
2. Safety = selamat dari kecelakaan, bcncana (bencana alam, bencana akibat ulah manusia, bencana social.dsb) atau marabahaya yang dapat mengancam keselamatan kehidupan individu, masyarakat, termasuk hana benda.
3. Surety = jaminan adanya kepastian/keyakinan suatu kegiatan dapat berlangsung lancar, aman dan tenib, Termasuk jaminan adanya kepastian hukum (certency).
4. Peace = suasana damai dan tentram jiwa.
Dari penjelasan tentang konsep keamanan tersebut, maka wujud ancaman yang menjadi sasaran strategi dan yang harus diantisipasi melalui konsepsi penyelenggaraan keamanan negara dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Ancaman Faktual (Nyata):
a. Tindak kejahatan/tindak pidana: kejahatan konvensional, kejahatan dimensi baru. kejahatan transnasional, kejahatan terorganisir, kejahatan politik, kejahatan ekonomi, dsb
b. Pelanggaran aturan ketertiban: aturan ketertiban sosiai. lain lintas.(darat, laut, udara perdagangan, kesehatan. pendidikan, kependudukan, dan semua aspek kehidupan lainnya.
c. Kecelakaan manusia, kecelakaan mekanik (kebocoran nukiir), kecelakaan akibat ulah manusia seperti tanah longsor, pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan hidup, dsb
d. Bencana alam: banjir, gempa bumi, tsunami, badai iaut. angin puyuh, gunung meletus, tanah longsor, semburan gas berbahaya, dsb.
e. Bencana sosiai: krisis pangan, kemiskinan dan kelaparan, koflik sosiai konflik primordialis, epidemi clan pandemi, dsb.
2. Potensi kerawanan (Police Hazard)
a. Aspek lokasi: lokasi rawan kejahatan tertentu, lokasi rawan kecelakaan lain lintas, lokasi rawan bencana dsb.
b. Aspek waktu: vvaktu rawan kejahatan tertentu, waktu rawan kecelakaan lalu lintas, bencana alam dsb.
c. Aspek kegiatan masyarakat: ritual keagamaan, even pemerintah, dsb.
3. Faktor Korelatif Kriminogen (FKK)
a. Ideoiogi: perbedaan ideologi, faham ekstrem.
b. Politik: Proses ketegangan politik, penyalahgunaan kewenangan, kesalahan kebijakan politik, ketegangan antar elit, dsb.
c. Ekonomi: kemiskinan, kekeliruan kebijakan ekonomi, dsb.
d. Sosial budaya: kesenjangan, kebodohan, potensi konflik, primordialis, dsb.
e. Agama: fanatisme sempit, ajaran agama sesat, dsb.
f. Pertahanan: dampak sengketa tapal batas, dampak pulau-pulau terdepan/kosong, dsb.
g. Geografi: potensi kerawanan akibat posisi silang, bentuk negara kepulauan, wilayah tak berpenghuni, dsb.
h. Demografi: migrasi tak terkendali, ekses urbanisasi, sistem kependudukan, kemiskinan, pengangguran, dsb.
i. Sumber Daya Alam: salah pengelolaan SDA, sengketa pengelolaan hasil SDA, dsb.
Masalah-masalah yang ditangani oleh polisi sering dilihat seperti puncak gunung es yang dibawahnya terdapat masalah dan akar masalah. Selama ini polisi cenderung menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi. Konsep ini menyarankan agar dilakukan analisa atas kejahatan yang terjadi agar dapat mengungkapkan akar masalah penyebab kejahatan. Menanggulangi akar masalah akan dapat menghilangkan berbagai kasus kejahatan yang terjadi berulang-ulang. Metode ini merubah cara penanganan kejahatan yang semula reaktif menangani kasus menjadi proaktif dengan menangani akar masalah kasus-kasus tersebut.
Mendasari pada pengertian keamanan negara yang mencakup 4 (empat) aspek tersebut, konstruksi ancaman dapat digambarkan dari aspek spektrum ancaman terhadap keamanan negara, mulai dari yang paling nyata (terlihat dalam bentuk gangguan) ataupun pada tataran kerawanan, dan bahkan pada tataran sumber-sumber/potensi yang dapat mengakibatkan timbulnya gangguan keamanan. Untuk menerangkan spektrum ancaman terhadap keamanan negara dapat digambarkan sebagai gunung es. yang tampaknya kecil di atas permukaan laut, namun justru yang lebih membahayakan adalah bagian di bawah permukaan laut yang jauh lebih luas dan lebih berbahaya, tetapi tidak tampak di permukaan:
1. Bagian es yang tampak di atas permukaan merupakan gambaran dari ancaman/gangguan keamanan yang nyata atau disebut Ancaman Faktual (AF) yang wujudnya dapat berbentuk tindak kejahatan, pelanggaran hukum, kecelakaan manusia, bencana alam, bencana sosial ataupun pelanggaran ketertiban sebagaimana diuraikan di atas.
2. Bagian gunung es di bawah permukaan air merupakan gambaran situasi atau kondisi yang mengandung kerawanan yang disebut police hazard (PH), yang meiiputi kerawanan dari aspek lokasi, waktu, ataupun kegiatan masyarakat/ pemerintah.
3. Bagian gunung es paling bawah yang jauh lebih besar dan lebih luas, menggambarkan sumber-sumber, potensi, atau akar permasalahan timbulnya gangguan keamanan atau yang disebut Faktor Korelatif Kriminogen (FKK). FKK terdiri dari faktor negatif yang mengendap dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi aspek-aspek ideologi, politik, ekonomi, sosiai, budaya, agama, pertahanan dan keamanan. Contoh-contoh FKK misalnya pertentangan atau perbedaan ideologi, kemiskinan, pengangguran, potensi konflik primordialis (etnik, hubungan darah, asal daerah, agama). Meskipun umumnya bukan merupakan faktor yang secara langsung menjadi penyebab timbulnya gangguan keamanan, tetapi FKK dapat berkembang baik secara langsung atau gradual (niulai dari FKK menjadi PH dan kemudian menjadi penyebab timbulnya gangguan keamanan.
Mendasari analisis ancaman keamanan yang dapat dikelompokan menjadi AF, PH dan FKK, maka penanggulangan gangguan keamanan dalam garis besarnya mencakup tiga strategi dasar yaitu :
1. Represif/penindakan : berupa penindkan yang utamanya ditujukan kepada gangguan yang telah terjadi (AF) meialui kegiatan penegakan hukum ataupun bentuk-bentuk penindakan lainnya di bidang keamanan.
2. Preventif/pencegahan : berupa tindakan pencegahan yang diutamakan untuk sasaran potensi kerawanan guna menghiiangkan "faktor Kesempatan" agar tidak sampai terjadi gangguan kamtibnas.
Penjelas Teori "niat dan kesempatan singkatnya sebagai berikut: suatu tindak pidana atau gangguan keamanan bisa terjadi bila kedua faktor bertemu (yaitu factor niat dan pelaku untuk melakukan kejahatan tindakan dan faktor kesempatan yang memberikan peluang diiakukannya tindakan), bila kedua faktor itu tidak bertemu maka tidak akan terjadi tindak kejahatan atau gangguan. Daiam konteks yang lebih luas, suatu ganguan keamanan dapat terjadi biia sumber/potensi gangguan bertemu dengan pemicu timbulnya kejadian karena meskipun terdapat sumber atau potensi yang dapat menimbulkan gangguan.namun bila tidak ada pemicunya maka tidak akan terjadi gangguan keamanan.
3. Preemtif/eliminasi sumber-sumber gangguan atau akar permasalahan : meliputi kegiatan yang diarahkan untuk mengeiliminir FKK atau akar permasalahan, yaitu faktor-faktor yang dapat menumbuhkan "mat" untuk melakukan kejahatan, atau potensi yang dapat mengakibatkan timbulnya gangguan.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin, 2013, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Bachtiar, Harsya W, 1994, Ilmu Kepolisian, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Dahniel, Rycko Amelza, 2008, Birokrasi di Kepolisian Resor Kota Sukabumi, Disertasi Doktor Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Jakarta.
Suparlan, Parsudi. 2004. “Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Suparlan, Parsudi. 2009. “Ilmu Kepolisian”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI)
Djamin, Awaloedin, 2002, Penyempurnaan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jurnal Polisi Indonesia Tahun IV/September 2002, KIK Press, Jakarta.
___________, 2007, Tantangan dan Kendala Menuju Polri Yang Profesional dan Mandiri, PTIK Press, Jakarta
Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor),2008,Ilmu Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,
Muhammad, Farouk. “Menuju Reformasi Polri”. Restu Agung. 2005
Djamin,Awaloeddin.2007. Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan : Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta:PTIK Press.
Djamin,Awaloeddin.2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta: YPKIK.
Mabes Polri,1999. Sejarah Kepolisian Di Indonesia. Bandung:Pustaka.
Ilmu Kepolisian, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, PTIK Press.2015
https://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia tanggal 19 Oktober 2016